MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum Pengadaan Kesempatan Kerja untuk Penyandang Disabilitas
Mayoritas penyandang disabilitas terpaksa memilih berwirausaha karena kesulitan masuk ke pasar kerja formal

Ridwan Malik Al Ghifar
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
9 Desember 2025
BandungBergerak.id – Selain pengadaan fasilitas umum untuk penyandang disabilitas, pengadaan lapangan kerja terhadap penyandang disabilitas tidak kalah penting untuk dilindungi. Pemerintah dan pelaku usaha harus segera memperkuat kerangka hukum yang menjamin akses bagi penyandang disabilitas dalam pengadaan lapangan kerja. Dilihat dari adanya UU Cipta kerja yang telah terbit 2023 lalu, kita bisa melihat bahwa pada pasal 67 ayat 1 perlindungan terhadap pengadaan kerja bagi penyandang disabilitas semakin diakui dan inklusif di sektor pekerjaan formal. Tanpa perlindungan-perlindungan hukum yang memadai, penyandang disabilitas akan terus menghadapi hambatan. Namun, dalam praktiknya pemerintah dan pelaku usaha kerap memberi standar kemampuan teknis yang menghambat penerimaan lapangan kerja penyandang disabilitas. Hal ini sering terjadi karena adanya syarat pengalaman dan tes kesehatan sering dirumuskan tanpa mempertimbangkan penyandang disabilitas. Menurut Miles. M (2000) seorang peneliti dari Brazil, stereotip negatif terhadap para penyandang disabilitas ini berjalan bersamaan dengan rendahnya pemahaman pemberi kerja dan pemerintah dengan apa yang menjadi hambatan para penyandang disabilitas. Indonesia sudah melakukan beberapa upaya dalam melindungi hak-hak para pekerja disabilitas dalam perlindungan Hukum Indonesia dan juga sudah berupaya dalam mendorong pengadaan lapangan kerja dengan memberikan beberapa produk hukumnya. Salah satu peraturan yang mendasar adalah Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak.
Hak setiap warga negara penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan yang layak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU tersebut menetapkan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuannya, berhak atas pekerjaan yang layak. Selain itu, UU tersebut menjamin hak setiap orang untuk memilih pekerjaan dengan syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil dan hak untuk menerima upah setara untuk pekerjaan yang sama tanpa membedakan jenis kelamin. Setiap orang, baik pria maupun wanita, berhak atas pembagian upah yang adil sesuai dengan pekerjaan mereka. Peraturan yang melindungi pekerja disabilitas juga tertuang dalam pasal 67 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini menetapkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan pekerja tersebut. Pekerjaan juga harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mencakup penyediaan aksesibilitas, pemberian fasilitas yang mudah diakses. Pengusaha juga memiliki tanggung jawab hukum untuk membuat lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan mudah diakses bagi penyandang disabilitas.
Peraturan lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses rekrutmen, pelatihan kerja, penempatan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi. Pemberi kerja dapat melakukan mekanisme seperti ujian penempatan selama proses rekrutmen untuk mengetahui minat, bakat, dan kemampuan para penyandang disabilitas. Pemberi kerja juga dapat membantu penyandang disabilitas untuk memberikan formulir dan menyediakan alat tes yang sesuai dengan kondisi mereka. Penyandang disabilitas juga diberikan kemudahan dalam fleksibilitas untuk waktu pengerjaan tes sesuai dengan kondisi yang diperlukan.
Peraturan yang lebih spesifik lagi telah diterbitkan oleh pemerintahan Indonesia, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 39 Tahun 2016 juga mengatur penempatan dan perlindungan tenaga kerja penyandang disabilitas. Peraturan Menteri tersebut memastikan proses perekrutan yang inklusif, objektif, dan mencegah penolakan karena status disabilitas. Dalam konvensi-konvensi internasional, Indonesia juga terlibat aktif dalam meningkatkan kualitas produk-produk hukum yang ada di Indonesia. Salah satunya yaitu The United Nation Convention on the Rights of People with Disabilities (CRPD) yang sudah diratifikasi oleh indonesia pada tahun 2011. Menurut Albin. E, konvensi tersebut mendukung, melindungi, dan menjamin hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, dan kebebasan yang mendasar untuk penyandang disabilitas.Selain itu, meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1999. Kerangka hukum ini menunjukkan adanya komitmen Indonesia untuk memberikan perlindungan dan mencegah diskriminasi dalam setiap aspek ketenagakerjaan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara Hanya Menonton Saat Hak Pekerja Rumah Tangga Terkoyak
MAHASISWA BERSUARA: Antara Aku yang Nyata dan Aku di Dunia Maya
Praktik Pengadaan Kerja untuk Penyandang Disabilitas
Walaupun Perlindungan Hukum terhadap penyandang disabilitas di Indonesia cukup memadai, kenyataannya tidak berjalan dengan mulus. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja dengan disabilitas di Indonesia justru menurun dari 7,67 juta orang (5,98 persen) pada 2020 menjadi 7,04 juta orang (5,37 persen) pada 2021. Dalam perkembangannya, data tersebut membaik Sebagaimana dilaporkan oleh BPS. Jumlah pekerja disabilitas di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 932.435 orang. Hal ini menandakan adanya kenaikan 22 persen dari tahun 2023. Namun, jumlah ini hanya merupakan 0,64 persen dari total pekerja Indonesia, yang mencapai 144,64 juta orang.
Data yang dikumpulkan oleh ILO menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam upah antara pekerja penyandang disabilitas dan pekerja non-disabilitas di Indonesia. Menurut laporan tersebut, 86,4 persen pekerja dengan disabilitas berat dan 82,7 persen pekerja dengan disabilitas ringan mendapatkan gaji di bawah 2 juta rupiah per bulan. Gaji tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja non-disabilitas, di mana hanya 69,1 persen dari orang yang mendapatkan gaji di bawah 2 juta rupiah per bulan. Menurut laporan tersebut, upah pekerja penyandang disabilitas, baik berat maupun ringan, menerima kompensasi yang lebih rendah dan signifikan dibandingkan rekan kerja non-disabilitas pada posisi yang sama.
Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2020, menemukan angka yang mengkhawatirkan tentang penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas di Indonesia. Hanya 9 persen atau sekitar 720 ribu dari 8 juta pekerja penyandang disabilitas, berhasil mendapatkan pekerjaan. Angka yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa 91 persen dari mereka masih belum mendapatkan pekerjaan dan menganggur atau bahkan telah meninggalkan pasar kerja sebelum mencoba di sektor formal. Data tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kesediaan untuk pengadaan pekerjaan. Lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas penyandang disabilitas terpaksa memilih berwirausaha karena kesulitan masuk ke pasar kerja formal. Salah satu kasus diskriminasi terparah yaitu, pembatalan kelulusan CPNS Muhammad Baihaqi di Provinsi Jawa Tengah yang sebelumnya dinyatakan lulus seleksi.
Solusi, Kritik, dan saran
Melihat dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa produk-produk hukum di Indonesia cukup memadai. Namun, dalam penerapannya masih belum maksimal dan cenderung masih mendiskriminasi penyandang disabilitas. Kita juga dapat menyimpulkan bahwa permasalahan tersebut bukan berasal dari produk hukum yang tidak memadai, melainkan penerapan dan penegakan yang kurang. Peraturan-peraturan saat ini belum diterapkan secara efektif dan nyata diukur dalam tingkat implementasinya. Karena tidak ada sistem sanksi yang tegas dan konsisten, banyak perusahaan mengabaikan kewajiban hukum tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap lembaga swasta dan lembaga pemerintahan yang tidak mematuhi kuota penempatan penyandang disabilitas minimal 1 persen untuk perusahaan swasta dan 2 persen untuk BUMN. Dalam hal pengawasan dan menegakkan kepatuhan terhadap peraturan, Kementerian Ketenagakerjaan kurang efektif, yang mengakibatkan tidak memenuhinya target
Solusi yang dapat diterapkan yaitu meningkatkan kapasitas dan efektivitas Unit Layanan Disabilitas (ULD) Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. Pembentukan dan pelaksanaan peran ULD harus dipantau secara ketat oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah daerah harus mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk memastikan ULD dapat menjalankan tugas-tugasnya secara optimal, termasuk perencanaan, pendampingan, dan penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas. Selain itu,Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDIS) harus terlibat secara aktif dalam setiap tahap implementasi ULD, bukan hanya sebagai pelopor pasif tetapi juga sebagai mitra aktif dalam merancang dan melaksanakan program ketenagakerjaan. Sistem data ketenagakerjaan penyandang disabilitas yang terintegrasi, lengkap, dan aktual harus segera dibuat oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan BPS. Informasi tentang angkatan kerja disabilitas, ketersediaan pekerjaan inklusif, tingkat penempatan, dan hasil pelatihan vokasi harus ada dalam sistem tersebut. Data harus terus diperbarui secara berkala dan semua pemangku kepentingan harus dapat mengaksesnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

