• Berita
  • Solidaritas untuk Laras Faizati di Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Bandung

Solidaritas untuk Laras Faizati di Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Bandung

Laras Faizati membuka sisi kerentantan perempuan yang kritis dan berani bersiara di tengah menyempitnya ruang demokrasi di Indonesia.

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang diselenggarakan oleh mahasiswa Unpad, Kamis, 27 November 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id9 Desember 2025


BandungBergerakLaras Faizati, yang menjadi tahanan polisi di Jakarta, mendapat solidaritas dari Bandung. Laras ditangkap aparat setelah mengunggah konten di media sosial terkait demonstrasi besar akhir Agustus lalu. Polisi menjeratnya dengan pasal hasutan.

Sementara itu, di Bandung LBH Bandung menyatakan demonstrasi ataupun protes merupakan bagian dari hak warga negara untuk berpartisipasi dalam iklim demokrasi. Namun sejak demonstrasi Agustus lalu, LBH Bandung mencatat sejumlah penangkapan terhadap para demonstrans.

Penangkapan tersebut dilatarbelakangi gelombang aksi unjuk rasa Agustus lalu yang mendesak pembatalan kenaikan penghasilan DPR RI. Protes ini memuncak ketika terjadi tragedi ojol dilindas mobil rantis polisi.

Selama dan pasca aksi beruntun yang digelar mahasiswa dan ojol di depan Gedung DPRD Jawa Barat, LBH Bandung mencatat kepolisian telah menangkap hingga 1.000 orang massa atas protes yang dilakukan Agustus-September lalu. Dari keseluruhan angka itu, 42 orang ditetapkan sebagai tersangka.

Solidaritas untuk Laras di Peringatan 16 HAKTP Bandung

Laras menjadi salah satu nama yang mencuat dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang diselenggarakan oleh mahasiswa Unpad, Kamis, 27 November 2025. Peserta aksi peringatan ini meyakini Laras sebagai korban kriminalisasi.

LBH Apik dalam keterangan resmimenyatakan, tanggal 5 November 2025 Laras Faizati menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nomor: PDM-138/JKT.SLT/Eku/10/2025.

Dalam persidangan tersebut, JPU membacakan empat dakwaan terhadap Laras, yaitu: perbuatan melanggar Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024; Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 32 ayat (2) UU ITE sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2024; Pasal 160 KUHP tentang penghasutan; Pasal 161 ayat (1) KUHP tentang penghasutan.

“Laras Faizati merupakan salah satu perempuan, bagian dari masyarakat sipil, yang dikriminalisasi karena menyuarakan kekhawatiran melalui akun sosial media pribadinya terhadap kondisi Indonesia,” demikian keterangan resmi LBH Apik.

Sementara itu di peringatan HAKTP Unpad, Nasywa Silmi Kaaffah, salah seorang peserta aksi, mengatakan kasus Laras menunjukkan bahwa perempuan yang berani bersuara kerap dibarengi dengan risiko yang besar.

“Suara perempuan itu akan pada dasarnya selalu dibungkam,” tegas Silmi.

Hal yang sama diungkapkan oleh Ezra Al Barra yang melihat kasus yang menimpa Laras memiliki nuansa bias gender.

“Ada aspek gendernya di sana. Ada aspek patriarkisnya, budaya misoginisnya yang kental,” katanya.

Mendorong Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender

Peringatan 16 HAKTP ini mengangkat isu Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender. Adinda Shafiyah, ketua pelaksana HAKBG, menerangkan aksi ini untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. HAKBG ini diselenggarakan selama 16 hari penuh dari mulai 25 November hingga 10 Desember.

Adinda menjelaskan, kekerasan bisa menimpa siapa pun termasuk kelompok gender minoritas.

“Karena kita sadar bahwa kekerasan itu ada karena sifatnya struktural baik bagi perempuan dan semua gender lainnya. Mereka termasuk kelompok-kelompok marginal dan bisa menjadi korban,” ujarnya.

Demonstrasi adalah salah satu cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dilndungi oleh undang-undang. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)
Demonstrasi adalah salah satu cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dilndungi oleh undang-undang. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Kenapa Perempuan yang Menjadi Sorotan?

Perempuan kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender. Ketidaksetaraan gender dan kuatnya budaya patriarki menyebabkan perempuan dalam ketimpangan. Partiarki sendiri adalah sistem sosial di mana laki-laki dipandang layak untuk memegang kekuasaan dominan.

Natasya Dwi Nanda dkk dalam jurnal Pemicu Pelecehan Seksual pada perempuan menjelaskan bahwa bias gender antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi faktor penyebab tingginya tingkat pelecehan seksual terhadap perempuan.

“Keyakinan mengenai maskulinitas yang menekankan pada kekuatan, dominasi dan ketidakberanian untuk menunjukan emosi atau kerentanan, seringkali menjadi faktor pemicu perilaku yang mendukung kekerasan, terutama dalam hal kontrol dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap perempuan,” tulis Natasya, diakses Senin, 01 Desember 2025.

Data Kekerasan terhadap Perempuan

Data menunjukkan bahwa perempuan menjadi pihak paling rentan menjadi korban kekerasan seksual. Di Kota Bandung, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung mencatat terjadi peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam kurun 2019-2023. Sebanyak 250 kasus kekerasan pada perempuan terjadi di tahun 2019; jumlah yang sama terjadi di tahun 2020; kasus ini naik menjadi 262 di tahun 2021; lalu naik kembali menjadi 362 kasus di tahun 2022; dan 443 kasus di tahun 2023.

Dilihat dari bentuk kasus, kekerasan psikis menjadi satu jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan di tahun 2023. Kekerasan psikis dapat mencakup berbagai bentuk. Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023, kekerasan psikis adalah perbuatan nonfisik yang ditujukan kepada orang lain dengan maksud merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman.

Di lingkup nasional, catatan akhir tahun (catahu) 2024 Komnas Perempuah menunjukkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan mencapai 445.502 kasus, meningkat sebanyak 43.527 kasus (9,77 persen) dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 401.975 kasus.

Data ini memperlihatkan bahwa kekerasan seksual dan psikis merupakan bentuk kekerasan yang paling mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan yang komprehensif.

Baca Juga:PAYUNG HITAM #55: Budaya Tandingan dari Bekerja dan Cara Merealisasikannya
PAYUNG HITAM #56: Lawan Pembungkaman Karya Seni oleh Negara
PAYUNG HITAM #57: Anak Bukan Tentara Kecil, Kritik atas Program Barak Militer ala Dedi Mulyadi

Demonstrasi lanjutan terkait protes kenaikan pendapatan DPR dan solidaritas untuk Affan Kurniawan di Bandung, Senin, 1 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Demonstrasi lanjutan terkait protes kenaikan pendapatan DPR dan solidaritas untuk Affan Kurniawan di Bandung, Senin, 1 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Sejarah HAKTP di Indonesia?

Setiap tanggal 25 November dunia mempringati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Di Indonesia, HAKTP diperingati selama 16 hari penuh dari tanggal 25 November hingga 10 Desember. Tahun ini HAKTP mengusung tema Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman.

Menurut Komnas Perempuan, sejarah lahirnya hari anti kekerasan terhadap perempuan muncul pertama kali tahun 1991, digagas oleh Women’s Global Leadership Institute dan disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Peringatan HAKTP tahun ini juga dijadikan sebagai ruang reflektif atas tiga tahun implementasi Undang-Undang nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Saat ini dari tujuh peraturan pelaksana, sudah ada 6 peraturan turunan UU TPKS.

Sejak disahkannya UU TPKS, Komnas Perempuan mencatat laporan sejak disahkannya mencapai 6.315 kasus. Pada tahun 2024, laporan melonjak hingga 200 persen yang mencapai 20.958 kasus.

Meningkatnya jumlah laporan itu menunjukkan kepercayaan korban atas regulasi yang berlaku tentang tindak pidana kekerasan seksual.

Penangkapan Demonstrans

Peringatan HAKTP tahun ini bertepatan dengan menyempitnya ruang demokrasi pascaaksi besar Agustus lalu. Berdasarkan data LBH Bandung, terdapat 42 orang ditetapkan sebagai tersangka, beberapa di antaranya memasuki proses persidangan di Pengadilan Negeri Bandung.

Para tersangka dituduh dengan beragam pasal. LBH Bandung mengelompokkan mereka sesuai dengan pasal yang dituduhkan, yakni Pasal 187, Pasal 170, Pasal 406, dan/atau Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951. Kelompok kedua dituduh Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE 2024, Pasal 170, Pasal 406 KUHP, Pasal 66 UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.

Sementara kelompok ketiga, dikenakan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE 2024 dan 160 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 1 miliar. LBH Bandung memandang, 42 tersangka ini ditangkap dengan sewenang-wenang dan dijadikan tersangka menggunakan alat bukti yang “dipaksakan”.

“Alat bukti yang dijadikan alas naiknya perkara mereka terkesan mengada-ngada. Semua alat buktinya sama, berupa 2-3 buah batu. Di kemudian ada tambahan berupa tameng dan helm yang pecah,” demikian mengutip siaran pers LBH Bandung, Senin, 17 November 2025.

Kelompok lainnya dituduh dengan pasal UU ITE. Salah seorang tersangka ada yang ditangkap di Jawa Timur. Ia ditangkap karena membuat postingan seruan aksi. Polisi juga menuduhnya karena terdapat sebuah postingan yang menyebut “polisi pembunuh”.

LBH menegaskan, 42 orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka adalah masyarakat yang melakukan protes, justru karena ketidakadilan negara. Protes juga merupakan tindakan yang dilindungi undang-undang dan haknya melekat pada semua orang. LBH menilai aparat telah melakukan tindakan kesewenang-wenangan dalam melakukan pengamanan.

Melalui aparat kepolisian, negara telah melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

LBH Bandung mendesak PN Bandung untuk menghentikan proses kriminalisasi dan membebaskan tahanan politik Jawa Barat tanpa syarat. Mereka ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dengan proses hukum yang cacat serta diduga melanggar hak asasi manusia.

LBH Bandung menuntut negara untuk mengembalikan hak-hak korban, termasuk pemulihan atas penyiksaan, kehilangan harta benda, dan kerugian penahanan. LBH Bandung menuntut negara untuk menghentikan praktik penggunaan hukum pidana untuk membungkam protes warga. LBH Bandung juga mengajak seluruh masyarakat sipil untuk mengawal dan mendukung pembebasan seluruh massa aksi Agustus-September.

Sementara itu, koalisi advokasi masyarakat sipil The Bandung Method memisahkan jenis tersangka massa aksi Agustus-September menjadi tiga kelompok, yaitu salah tangkap, korban penyiksaan, penangkapan acak, dan penangkapan sewenang-wenang. Masing-masing tersangka punya kisah penangkapan berbeda-beda.

Ve, misalnya, The Bandung Method menyebutnya korban salah tangkap. Ia tidak mengikuti aksi waktu itu, namun ditangkap di kawasan Dukomsel ketika tengah membeli rokok. Bersama tujuh orang lainnya, Ve dituduh melempar batu ke arah petugas.

Kisah lain, Va, yang sedang melewati area aksi pada 30 Agustus 2025 bersama dua saudaranya. Ketika melintas, ia dipepet empat motor dan ditangkap. Dua saudaranya bebas. Namun Vanza tetap ditahan.

***

*Liputan ini dikerjakan reporter BandungBergerak Yopi Muharam dan Awla Rajul. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//