• Kolom
  • PAYUNG HITAM #57: Anak Bukan Tentara Kecil, Kritik atas Program Barak Militer ala Dedi Mulyadi

PAYUNG HITAM #57: Anak Bukan Tentara Kecil, Kritik atas Program Barak Militer ala Dedi Mulyadi

Apakah kita sedang mendidik manusia merdeka, atau mencetak pasukan tunduk yang takut bertanya?

Chan

Pegiat Aksi Kamisan Bandung dan Buruh Pariwisata

Pendidikan bukan soal membuat anak patuh, tapi soal membentuk manusia yang mampu berpikir, merasakan, dan mengambil keputusan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

22 Mei 2025


BandungBergerak.id – Di tengah krisis kepercayaan terhadap generasi muda, muncul satu “solusi” yang tampak tegas namun menyimpan persoalan mendasar yaitu program barak militer bagi anak-anak atau remaja yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dengan dalih mendisiplinkan anak-anak yang dianggap nakal, program ini membawa mereka ke lingkungan semi-militer, lengkap dengan pelatihan fisik, pembatasan kebebasan, dan atmosfer komando.

Sekilas, ini terdengar tegas. Tapi mari kita bertanya lebih dalam apakah benar ini adalah solusi, atau sekadar pelarian dari kegagalan sistem pengasuhan dan pendidikan kita sendiri?

Ironis memang kalau menurut pandangan saya sendiri, di mana sejak kecil, anak dipaksa tunduk pada rasa takut, dibentuk oleh bayang-bayang otoritas yang mengaku tahu mana yang benar. Lalu ketika dewasa, orang tua akan mengeluh, “Kenapa anakku tak bisa berdiri sendiri?” Mereka lupa merekalah yang mencuri keberanian anak untuk menjadi dirinya sendiri.

Anak bukan cetakan tanah liat milik siapa pun. Ia adalah ego yang bebas, bukan proyek sosial. Ia tak butuh dibentuk, tapi diberi ruang untuk mengukir jalannya sendiri, tanpa rantai ketakutan yang diciptakan demi kepatuhan buta.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #54: 100 Hari Presiden Baru dan Aku Masih Merasakan Kelaparan
PAYUNG HITAM #55: Budaya Tandingan dari Bekerja dan Cara Merealisasikannya
PAYUNG HITAM #56: Lawan Pembungkaman Karya Seni oleh Negara

Menormalisasi Kekerasan

Program barak militer ini memperkuat narasi lama: bahwa anak-anak yang “bermasalah” butuh dihajar agar tahu batas. Mentalitas ini tidak hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya. Ia menormalisasi kekerasan emosional dan psikologis atas nama “pendidikan”. Ia menciptakan warga yang patuh, tapi tak kritis; teratur, tapi takut berpikir.

Pendidikan bukan soal membuat anak bisa baris-berbaris, dan patuh, tapi soal membentuk manusia yang mampu berpikir, merasakan, dan mengambil keputusan. Disiplin bukan berarti tunduk tanpa suara, melainkan kemampuan mengatur diri dengan kesadaran. Apa yang diajarkan lewat barak militer adalah imitasi kedewasaan: tampak tangguh di luar, rapuh dan kehilangan arah di dalam.

Mungkin yang kita butuhkan bukan lebih banyak hukuman, tapi lebih banyak ruang. Bukan lebih banyak kontrol, tapi lebih banyak kepercayaan. Anak-anak yang diperlakukan dengan hormat akan belajar menghargai dirinya dan orang lain. Sebaliknya, anak-anak yang dikekang dengan rasa takut hanya akan tumbuh menjadi dewasa yang terasing dari dirinya sendiri.

Masalah perilaku anak tak bisa diselesaikan dengan pendekatan satu arah. Itu butuh empati,

pendidikan kritis, dan lingkungan sosial yang sehat. Barak militer mungkin tampak efektif dalam jangka pendek anak jadi “diam” dan “patuh” tapi apakah itu benar-benar yang kita harapkan dari masa depan bangsa?

Apakah kita sedang mendidik manusia merdeka, atau mencetak pasukan tunduk yang takut bertanya?

 

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//