Bandung Menjelang Akhir Tahun 2025: Membaca Cara Pandang Mobilitas dari Kacamata Sosio-Teknis
Bandung masih mempraktikkan mobilitas yang hierarkis: ruang terbaik untuk kendaraan paling merusak, dan ruang paling buruk untuk para pengguna paling rentan.

Mochamad Andi Nurfauzi
Ketua Bike to Work Bandung sambil menempuh pendidikan Studi Pembangunan ITB
10 Desember 2025
BandungBergerak.id – Kota Bandung kerap disebut kota kreatif, kota humanis, kota dengan inisiatif transportasi yang progresif. Namun ketika kita berdiri di Simpang Dago pada pukul enam sore, atau menyusuri Jalan Jakarta—dengan knalpot bising, motor yang merayap ke segala arah, dan pesepeda yang terimpit antara mobil dan parkir liar—narasi itu tampak seperti mitos yang terlalu sering diulang. Kota ini, dengan segala potensinya, pada kenyataannya masih terjebak dalam pola mobilitas yang saling meniadakan, sehingga apa yang tampak sebagai “kesemrawutan” bukan sekadar masalah teknis, melainkan hasil dari jejaring ruang, teknologi, kebijakan, dan budaya yang tidak pernah bekerja bersama.
Untuk memahami persoalan ini secara lebih jernih, teori mobilitas dari sosiolog John Urry dan Mimi Sheller di bawah New Mobilities Paradigm membuka cara pandang baru. Mereka menolak memahami mobilitas sebagai urusan lalu lintas semata, melainkan sebagai ekosistem sosial-teknis yang melibatkan hubungan manusia, kendaraan, aturan, budaya, teknologi navigasi, ruang fisik kota, hingga emosi pengguna jalan. Mobilitas, bagi mereka, adalah jaringan (assemblage) yang hanya dapat berfungsi jika seluruh aktornya terhubung dan saling mendukung. Ketika jaringan itu timpang, maka kota bergerak dalam kondisi “semi-rusak”: mengalir tetapi tersendat, ada sistem tetapi tidak bekerja, tampak hidup namun sesak.
Bandung hari ini adalah contoh nyata dari jejaring mobilitas yang gagal sinkron. Situasi ini paling mudah terbaca dari sudut pandang pesepeda–kelompok pengguna jalan yang menjadi cermin bagi kualitas ruang kota karena bergerak pelan, rentan, dan merasakan tekstur kota secara langsung. Dalam tubuh mereka, pengalaman mobilitas yang kacau menjadi pengalaman tubuh yang terancam.
Baca Juga: Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Bandung Heurin Ku Tangtung, Kemacetan Tanpa Solusi?
Mengurai Perkara Parah Kemacetan Bandung di Mata Orang-orang Muda
Automobility: Rezim yang Menguasai Ruang Kota
Sheller dan Urry memperkenalkan konsep automobility, sebuah rezim sosial-teknis yang memosisikan kendaraan bermotor sebagai pusat dari seluruh sistem transportasi. Rezim ini tidak hanya mengatur bagaimana orang bergerak, tetapi bagaimana kota dibangun, bagaimana kebijakan dirumuskan, dan bagaimana identitas sosial warga terbentuk. Mobil dan motor bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi penentu struktur sosial.
Di Bandung, rezim automobility tampak hampir total. Sebagian besar belanja infrastruktur kota masih diarahkan untuk mendukung kelancaran kendaraan pribadi. Jalan diperlebar untuk menambah kapasitas mobil, bukan memperkokoh jalur sepeda. Trotoar dibangun bagus di satu titik, tetapi tetap dipotong oleh parkir atau akses bangunan komersial. Simpang-simpang besar mengutamakan lampu hijau panjang untuk kendaraan bermotor, sementara penyeberang jalan dipaksa menunggu hingga 120 detik.
Ketika jalur sepeda hadir, ia tidak hadir sebagai bagian dari ekosistem, tetapi sebagai “proyek”–produk yang muncul, difoto, lalu dibiarkan tanpa perlindungan yang memadai. Ia menjadi ornamen, bagian dari panggung kota. Dalam kerangka automobility, pesepeda dilihat sebagai “pengemis ruang” yang memohon jatah kecil pada dominasi kendaraan bermotor, bukan sebagai bagian setara dari sistem mobilitas kota.
Dominasi ini menciptakan ilusi bahwa kendaraan pribadi adalah moda yang paling rasional, paling efisien, dan paling aman. Padahal, seperti diingatkan Urry, rezim ini adalah jebakan yang melimpahkan semua biaya sosial–polusi, kemacetan, penurunan kualitas kesehatan publik, ketimpangan ruang–kepada kota dan warga, tetapi memberikan keuntungan kenyamanan hanya kepada sebagian kecil populasi yang bisa terus menggunakan mobil.
Mobilitas sebagai Assemblage: Ketika Jaringan Tidak Pernah Sinkron
Paradigma mobilitas menekankan bahwa mobilitas bukan semata aktivitas individu, melainkan hasil dari kerja bersama banyak aktor. Jalan, marka, atap pepohonan, lampu, budaya berkendara, aplikasi Google Maps, cuaca, hingga aturan tak tertulis di antara pengendara adalah bagian dari jaringan yang membuat mobilitas berhasil atau gagal.
Masalahnya, dalam banyak titik di Bandung, jaringan itu tidak pernah terhubung.
Jalur sepeda dibangun, tetapi kendaraan bermotor masih bebas melintas di atasnya.
Rambu dipasang, tetapi jarang penegakan hukum dari polisi atau Dishub.
Trotoar diperbaiki, tetapi pedagang dan parkir liar menempatinya tanpa pengaturan.
Ruang publik dibuka, tetapi jalur menuju ke sana tetap panjang dan berbahaya bagi pesepeda. “Gowes” dimeriahkan sebagai kegiatan komunitas, tetapi tidak diinstitusikan dalam perencanaan kota.
Dalam istilah Sheller & Urry, Bandung menciptakan “disjointed mobilities”–mobilitas yang tidak terkoordinasi, di mana aktor-aktor kota bergerak dengan logika masing-masing. Setiap pengguna jalan merasa paling benar, paling berhak, paling perlu diprioritaskan. Akibatnya, alih-alih menciptakan aliran yang harmonis, mobilitas di Bandung berubah menjadi kompetisi ruang. Semua berebut, semua ingin cepat, tetapi semua terjebak dalam kemacetan yang sama.
Pesepeda berada di lapis paling rentan dari kompetisi ini. Setiap kayuhan adalah negosiasi yang melelahkan dengan motor yang menyerobot, mobil yang menutup jalur, dan pedestrian yang tidak memiliki ruang memadai. Pengalaman mobilitas menjadi pengalaman ketakutan, waspada, dan kewaspadaan ekstrem yang menguras energi.
Ketiadaan Network Capital: Mengapa Bersepeda Tidak Menjadi Pilihan Rasional
Urry memperkenalkan konsep network capital, modal jaringan yang menentukan apakah seseorang mampu bergerak dengan aman dan nyaman. Modal ini mencakup infrastruktur, pengetahuan, teknologi, kemampuan ekonomi, hingga dukungan sosial dan budaya.
Pesepeda di Bandung hampir tidak memiliki network capital ini.
Modal infrastruktur: jalur sepeda pendek, terputus, dan hanya ada di tempat-tempat yang “kota ingin dilihat bagus”.
Modal keamanan: pengendara motor sangat dominan, agresif, dan sering tidak menghormati hak pengguna jalan lain.
Modal regulasi: penegakan hukum hampir tidak ada; pelanggaran dianggap biasa.
Modal budaya: narasi populer menyalahkan pesepeda karena “menghalangi arus kendaraan”.
Modal ruang: kota dipenuhi bottleneck, parkir liar, dan simpang sempit.
Modal emosional: rasa takut dan waspada konstan membuat pengalaman bersepeda melelahkan.
Dengan modal jaringan yang sangat minim, bersepeda di Bandung bukan hanya sulit, tetapi tidak rasional secara sistemik. Kota mendorong orang untuk menggunakan moda yang paling boros energi, paling memakan ruang, dan paling mencemari udara–karena seluruh ekosistem mendukung moda itu, bukan moda yang lebih ramah.
Bandung Sebagai Kota Tanpa Aliran: Ketika Mobilitas Kehilangan Fluiditas
Salah satu indikator penting kota sehat menurut mobilities studies adalah fluiditas–kemampuan berbagai arus (orang, barang, udara, informasi) mengalir secara harmonis.
Bandung kehilangan fluiditasnya.
Arus kendaraan stagnan. Arus sepeda terhambat di setiap simpang. Arus pedestrian terpotong oleh parkir motor. Arus udara terperangkap polusi karena lembah topografi kota. Arus informasi navigasi tidak selalu akurat karena banyaknya jalan tikus atau titik sempit. Arus emosi warga dipenuhi frustrasi, kelelahan, dan agresivitas.
Mobilitas yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan kota modern–yang memungkinkan pertukaran gagasan, interaksi sosial, dan keberlanjutan–malah berubah menjadi urutan panjang stres dan ketidakpastian. Semrawut bukan hanya fenomena visual, tetapi pengalaman sensorik yang merasuk dalam tubuh. Bagi pesepeda yang bergerak pelan dan dekat tanah, kesemrawutan itu terasa lebih jelas. Setiap lubang jalan, setiap knalpot, setiap pelanggaran rambu, dan setiap tatapan agresif adalah bukti bahwa kota tidak diciptakan untuk mereka.
Keadilan Mobilitas: Ketika Kota Memprioritaskan yang Bising dan Berbahaya
Paradigma mobilitas menekankan pentingnya mobility justice–keadilan dalam akses, keselamatan, dan ruang bagi setiap pengguna jalan. Namun Bandung masih mempraktikkan mobilitas yang hierarkis: ruang terbaik untuk kendaraan paling merusak, dan ruang paling buruk untuk para pengguna paling rentan.
Ruang publik yang mestinya menjadi ruang demokratis berubah menjadi arena kompetisi. Mobil dan motor memperoleh kecepatan, kenyamanan, dan legitimasi. Sementara pesepeda, pejalan kaki, anak-anak, lansia, dan difabel harus mengalah. Ini bukan semata persoalan teknis, tetapi persoalan moral dan politik: siapa yang dianggap penting oleh kota, dan siapa yang dianggap bisa dipinggirkan.
Kesemrawutan Bandung adalah bentuk ketidakadilan ruang yang dilembagakan. Dan ketika ketidakadilan telah dilembagakan, ia sulit berubah tanpa perubahan cara pandang mendasar.
Bandung Butuh Pergeseran Paradigma, Bukan Sekadar Proyek Infrastruktur
Bandung telah berusaha memperbaiki mobilitas melalui proyek-proyek: jalur sepeda, trotoar, pedestrianisasi tertentu, festival gowes, dan berbagai kegiatan seremonial lainnya. Namun proyek tidak akan pernah cukup ketika persoalannya adalah paradigma.
Kota ini memerlukan perubahan cara pandang yang melihat mobilitas sebagai jaringan, bukan sekadar alur lalu lintas. Dibutuhkan keberanian untuk melepas ketergantungan pada automobility dan memprioritaskan bentuk mobilitas yang lebih adil: berjalan kaki, bersepeda, dan transportasi publik.
Kota yang sehat tidak diukur dari seberapa cepat mobil melaju, tetapi seberapa aman dan nyaman warganya bergerak tanpa mesin. Dalam bahasa lain: “kota yang tidak memberi ruang bagi mobilitas lambat, adalah kota yang kehilangan keberlanjutannya.”
Bandung, dengan sejarah kreativitas dan komunitasnya yang kuat, sesungguhnya memiliki modal sosial untuk melakukan perubahan itu. Komunitas pesepeda, pejalan kaki, dan pemerhati ruang publik telah lama menanamkan benihnya. Tinggal bagaimana pemerintah kota mampu melihat mobilitas bukan sebagai persoalan teknis, tetapi sebagai pertanyaan etika: ruang siapa yang ingin mereka perjuangkan?
Penutup: Bersepeda Sebagai Barometer Kehidupan Kota
Pada akhirnya, bersepeda adalah cara paling jujur untuk membaca kualitas sebuah kota. Jika pesepeda dapat bergerak lancar, aman, dan dihormati, artinya kota itu telah berhasil membangun ruang publik yang adil dan manusiawi. Tetapi jika pesepeda harus terus bernegosiasi dengan bahaya, maka kota tersebut belum selesai membangun peradaban urban yang sehat.
Bandung hari ini, dalam kacamata mobilitas, sedang tersumbat–bukan hanya oleh kemacetan, tetapi oleh cara pandang yang membiarkan kendaraan pribadi mendominasi ruang dan pikiran. Sudah saatnya kota ini menggeser fokusnya: dari melayani arus kendaraan, menjadi melayani kehidupan.
Dan perubahan itu, seperti segala gerakan sejarah, dimulai dari langkah kecil. Dari mengayuh, dari berjalan, dari memberi ruang bagi yang lambat untuk hidup
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

