• Berita
  • Ketika Wisata Menjadi Ancaman: Sisi Gelap Lembang dan Kawasan Bandung Utara

Ketika Wisata Menjadi Ancaman: Sisi Gelap Lembang dan Kawasan Bandung Utara

Di balik kafe estetik dan glamping yang memikat wisatawan, alih fungsi lahan di KBU memicu risiko longsor dan banjir yang kian mengancam warga.

Suasana Patahan Lembang yang menunjukkan pemandangan Lembang dari ketinggian 1.515 m dpl, Kabupaten Bandung, Sabtu (18/3/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Retna Gemilang10 Desember 2025


BandungBergerakSuatu sore, Ernawatie Sutarna pulang dari Bandung menuju rumahnya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Hujan turun deras. Ia menumpang ojek, namun baru beberapa kilometer berjalan, air dari arah Lembang atas mengalir kuat menuruni jalan. Arus tidak hanya membawa lumpur, tetapi juga batu-batu yang ikut terseret.

Motor yang ditumpanginya sempat terdorong arus. Jalan berubah jadi aliran air deras yang menutup permukaan aspal, membuat pengendara sulit mengendalikan motor. Situasinya membuat Erna merasa seolah tidak lagi berada di jalan raya.

“Kayak kita (berkendara) di sungai aja, karena banyak batu-batu yang kebawa air,” ujar perempuan yang akrab disapa Teh Erna, di diskusi publik berte "Membongkar Sisi Gelap Industri Pariwisata di Bandung Utara" di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Senin, 8 Desember 2025.

Pengalaman Erna menjadi sisi lain dari Kawasan Bandung Utara (KBU) itu. Bagi warga perkotaan, Lembang maupun Kawasan Bandung Utara umumnya menjadi surga destinasi wisata. Kafe estetik, glamping, dan wisata alam menjamur demi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk kota. Namun, nyatanya masifnya "wisata alam" telah memicu alih fungsi lahan yang berpotensi mengundang bencana ekologis: longsor dan banjir.

Selain banjir, hampir setiap hari Lembang dilanda kemacetan lalu lintas. Terlebih saat libur panjang seperti libur tahun baru atau Lebaran. Begitu banyaknya kendaraan dari luar Lembang yang masuk dengan tujuan tempat wisata.

Erna yang tinggal di Kampung Andir dekat Farm House, butuh waktu dua jam untuk pergi ke Pasar Panorama dengan motor pribadi. Apalagi jalan masuk kampungnya sering dijadikan tempat buka tutup yang menyulitkan bepergian.

Selain macet, banjir juga jadi hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengingat Lembang berada di dataran tinggi dibandingkan daerah Kota Bandung lainnya.

Masalah lainnya, Lembang tidak lagi sejuk karena mengalami perubahan suhu yang signifikan, overpopulasi dengan pendatang baru, hingga perilaku wisatawan yang tidak bertanggung jawab.

"Ada banyak hal selain meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat, juga ada banyak hal yang terampas dari kami," ujarnya. "Antara lain keleluasaan, kenyamanan berlalu lintas, juga udara."

Maraknya pembangunan tempat wisata di Lembang dikhawatirkan berdampak pada menipisnya cadangan air bersih dan meningkatnya polusi, selain berbagai bencana ekologis. Erna menceritakan, di jalan masuk menuju kampungnya pun dalam beberapa waktu ke belakang telah mengalami tiga kali longsor hingga menutup akses jalan masuk.

"Jadi berapa kali saya tinggal di sana aja, saya sudah mengalami ada tiga kali longsor yang menutup jalan akses masuk ke tempat kami gitu, jadi sempat was-was juga," jelasnya.

Baca Juga: Para Perempuan Merawat Kawasan Bandung Utara, Bermula dari Pertanyaan Anak pada Ibunya
Perempuan Penghayat Penjaga Mata Air di Lembah Ciputri
Menghalau Bencana, Menggugat Wisata Eksploitatif di Bandung Utara

Industri Pariwisata yang Tidak Bertanggung Jawab

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Banung (KPGB) sekaligus pelaku ekowisata Geowana, Gan Gan Jatnika menyampaikan, banyak pariwisata yang seolah-olah menjual nama wisata alam. Tapi dalam praktiknya tidak mendukung kelestarian alam di KBU. Bandung Utara sendiri membentang dari pegunungan Manglayang hingga ke Burangrang dengan ratusan gunung. Hingga saat ini, banyak kawasan pegunungan ini beralih fungsi lahan.

Gan Gan menjelaskan, Gunung Putri yang dulunya berupa hutan dan kebun, kini sudah banyak dijadikan tempat wisata. Selain itu Jayagiri yang tahun 1998 masih berupa hutan tropis. Seiring berjalannya waktu sudah berubah menjadi hutan kebun kopi dan kandang kuda.

Pengalihfungsian lahan dari hutan tropis menjadi kebun kopi, ujar Gan Gan, bisa menyebabkan tidak adanya daerah resapan air. Karena sampah organik dari daun yang berserakan bisa berfungsi sebagai penampung air hujan sementarara sebelum diserap. Akan tetapi, ketika hutan sudah diganti menjadi kebun kopi, dedaunan yang berserakan dapat mengganggu pertumbuhan kopi sehingga perlu dibersihkan. Dampaknya, air hujan tidak dapat tertampung sementara oleh sampah organik dan langsung hanyut.

"Itu salah satu efek negatif dari maraknya perambahan hutan atau perubahan hutan fungsinya menjadi kebun kopi," paparnya.

Terlebih yang lebih membahayakan saat di Gunung Batu Lembang dibangun destinasi wisata air waterboom. Padahal Gunung Batu berada di kawasan patahan Lembang yang tentunya membahayakan wisatawan, terlebih anak-anak. Kawasan ini sangat berpotensi berjatuhannya batu-batu dari kawasan gunung. Sehingga meskipun sudah disetujui pembangunannya oleh pemerintah, tapi dibatalkan karena faktor keamanan.

Gan Gan menyayangkan, pembangunan waterboom ini malah digantikan menjadi tempat wisata dan tidak ada upaya pengembalian menjadi area hijau.

"Izinnya juga harus dipertanyakan, kenapa di kawasan yang benar-benar zona konservasi dibikin waterboom, walaupun di-cancel tapi sekarang jadi tetap tempat wisata, harusnya kalau sudah di-cancel balikin lagi lah ke area hijau," jelas Gan Gan.

Mengusung Wisata yang Berkelanjutan

Dalam menyikapi berbagai aktivitas wisata yang tidak bertanggung jawab, Gan Gan memberikan etika sederhana saat berwisata adalah dengan tidak meninggalkan sesuatu, kecuali jejak. Tidak mengambil sesuatu, kecuali gambar. Terakhir, tidak membawa sesuatu, kecuali kenangan.

Gan Gan yang juga aktif sebagai pemandu geowisata di Geowana, menjelaskan wisata tidak harus pergi ke tempat-tempat viral. Mengunjungi destinasi wisata sekitar Bandung yang sering terlupakan melalui konsep walking tour juga bisa menjadi opsi wisata berkelanjutan.

Di setiap aktivitas wisatanya, Gan Gan bersama Geowana mulai menerapkan wisata berkelanjutan melalui prinsip OACS, akronim dari observation, awareness, caring, and steward.

Observation diberlakukan Geowana saat mendatangi tempat wisata dengan memperlihatkan beragam kerusakan, potensi, dan keadaan alam yang sebenarnya kepada wisatawan. Awareness dengan upaya membangkitkan empati dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat setempat setelah melihat keadaan alam terkini. Caring berupa aksi peduli yang bisa dilakukan wisatawan. Terakhir, Steward di mana selain berwisata, wisatawan juga diharapkan berperan menjadi penjaga lingkungan alam setelah wisata berakhir.

"Secara keempat alur itu, kalau dilakukan maka akan mengarah ke wisata sustainable atau berkelanjutan," ujarnya.

Omnibus Law

Peserta diskusi lain datang dari komunitas Geourban, Deni Sugandi. Ia menjelaskan persoalan KBU bukan hanya berkaitan dengan kondisi lingkungan saja, melainkan lalainya kebijakan pemerintah dalam menjaga kawasan konservasi. Terlebih munculnya Omnibus Law yang merugikan banyak pihak.

Deni menilai pembangunan Eiger Camp di lereng barat Gunung Tangkuban Parahu adalah pelanggaran berat yang berkaitan dengan etika lingkungan, meskipun dalam legalitas berdasarkan Omnibus Law tetap sah secara hukum.

Salah satu bencana terjadi di Kampung Condong, Wargaluyu, Kabupaten Bandung. Kampung ini mengalami longsor, Jumat, 5 Desember 2025. Menurut Deni, penyebabnya bukan hanya curah hujan ekstrem, tetapi juga alih fungsi lahan. Ia menegaskan bahwa praktik alih fungsi lahan yang tidak bertanggung jawab di Bandung Selatan dan Bandung Utara memicu dampak ekologis yang luas, termasuk bagi Kota Bandung yang kini berada dalam kondisi darurat bencana ekologis.

Ia menyebut banyak pelaku industri pariwisata mengabaikan prinsip keberlanjutan dan hanya mengejar keuntungan.

“(Pelaku wisata) tidak melihat sebuah wisata yang berkelanjutan, selama ada cuan, sikat aja,” tegas Deni.

Menurutnya, wisata berkelanjutan harus berpegang pada tiga prinsip: pemberdayaan sumber daya lokal, tidak menambah dampak lingkungan, dan memastikan seluruh aktivitas pariwisata tetap berjalan secara berkelanjutan.

Asosiasi Pariwisata di Jabar

Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pariwisata (Asita) Jawa Barat, Nuning Widya Sutrisno menjelaskan Asita sendiri berdiri sebagai agensi pengguna dan juga mempromosikan destinasi pariwisata di Jawa Barat. Menurutnya, bila destinasi wisata dapat mengorbankan ekologis, keberlangsungan industri wisata juga dapat terdampak.

Nuning bersama Asita mengklaim berupaya mendorong pemerintah, masyarakat lokal, dan industri untuk bertanggung jawab terhadap pariwisata yang sedang berjalan. Mendengar hasil diskusi berupa industri wisata yang merusak lingkungan, Nuning sendiri mengamini menjadi bahan evaluasi ke depannya.

Asita menurutnya mendorong model-model pariwisata yang berbasis konservasi. Ia memaparkan pelaku usaha wisata wajib berpegang pada prinsip-prinsip legalitas usaha, etika lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan wajib tersertifikat. Bila ditemukan tempat wisata yang merusak ekologis, Asita memberikan pedoman, pembinaan, dan bekerja sama dengan regulator.

"Kritik yang ada adalah masukan berharga untuk memastikan Kawasan Bandung Utara sendiri nanti lestari, kemudian untuk pariwisata yang nyaman untuk generasi yang akan datang," jelasnya.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//