Kekerasan di Sukahaji, Agenda 16 HAKTP, dan Makna Perlindungan di Hari HAM Internasional
Momentum 16 HAKTP dan Hari HAM Internasional seharusnya tidak hanya menjadi interval mengingat, tetapi interval memperbaiki sistem proteksi warga.

Foggy FF
Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.
10 Desember 2025
BandungBergerak.id – Setiap tahun, kita semua memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dengan cara yang berbeda pada setiap lini kehidupan–yang seharusnya makin teredukasi dengan kasus kekerasan terhadap perempuan: kampanye, diskusi publik, dan deklarasi moral. Ada beberapa konsistensi yang perlu diakui sebagai kemajuan. Namun, pada saat bersamaan, statistik kekerasan juga naik tajam–sebuah ironi yang faktanya terpantau berseliweran di lini masa, bahkan pada pemberitaan media.
Jika kampanye 16 HAKTP bertujuan memperkuat ruang aman dan perlindungan perempuan, maka indikator efektivitasnya harus dibaca sampai tanggal 10 Desember, dan kemudian diuji lagi ketika dunia memperingati Human Rights Day.
Kampanye 16 HAKTP dimulai setiap 25 November dan ditutup pada 10 Desember. Tepat setelahnya, kita memasuki momentum hari hak asasi manusia secara universal, atau tenarnya disebut Human Rights Day. Namun apakah kesadaran HAM di Indonesia sudah berjalan dalam format yang berkembang lebih baik dari implementasinya? Bisa iya, tapi juga nyatanya tidak begitu.
Seremoni HAM hadir secara global di ruang publik yang bisa kita tonton, tetapi sayangnya perlindungan bagi korban kekerasan–khususnya pada kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak–belum sepenuhnya dieliminir atau bahkan terentaskan. Ini bukan soal minimnya niat negara–yang paling berkepentingan dalam melindungi masyarakatnya, akibat minimnya kemampuan sistem untuk menuntaskan niat tersebut menjadi perlindungan yang efektif dan cepat.
Kasus penyerangan komunal di wilayah sengketa lahan Sukahaji, Bandung, pada 3 Desember 2025, memberi kita contoh nyata bagaimana kekerasan sosial masih menyasar ruang hidup warga yang dianggap berada di rantai paling dasar hierarki kuasa. Kasus ini masuk ke dalam dalam bingkai kekerasan yang berlapis, komunal, dan berdampak luas pada keluarga dan komunitas pemukim, termasuk perempuan dan anak di dalamnya. Yang ironisnya, terjadi ketika kita sama-sama sedang mengampanyekan Agenda 16 HAKTP.
Pada tanggal 3 Desember 2025, akun @sukahajimelawan melalui laporan publik di Instagram, mendokumentasikan bentrokan yang terjadi di wilayah sengketa lahan Sukahaji, Bandung. Bentrokan tersebut tidak berdiri sebagai kejadian baru, melainkan bagian dari konflik agraria berkepanjangan yang melibatkan banyak aktor dan minimnya mediasi legal ruang secara awal. Laporan yang beredar di Instagram @sukahajimelawan mendokumentasikan bahwa: bentrokan dimulai pada siang hari dan berlanjut hingga sore, sekelompok ormas menyerang warga setempat, serangan berlangsung dalam bentuk pemukulan, pelemparan batu ke arah permukiman, penggunaan senjata tajam, serta pelemparan petasan dan kembang api eksplosif, kekerasan ini menyasar ruang permukiman, jalan kampung, dan area warga berkumpul.
Laporan tersebut tidak menyebutkan korban perempuan atau anak sebagai kategori secara eksplisit. Namun secara rasional dalam konflik lahan, ketika yang diserang adalah ruang keluarga dan permukiman, maka korban yang terdampak adalah seluruh lapisan komunitas yang tinggal di atas dan di sekitarnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka terdampak bukan hanya pada saat kekerasan terjadi, tetapi pada masa setelahnya ketika keamanan pendidikan anak, keberlangsungan ekonomi keluarga, dan legitimasi ruang hidup mereka teruji.
Kompleksitas ini bukan semata sebuah hipotesis selayang pandang, melainkan fakta yang terpolarisasi dalam skala nasional dan terus berulang. Laporan monitoring 2024 dari KontraS dan kajian digital-ketenagakerjaan dari BPS memperlihatkan bahwa ruang hidup warga urban semakin rentan ketika relasi kuasa sosial, legalitas lahan, dan aktor pengusaha di balik kejadian tidak memiliki hubungan yang setara. Ketimpangan ini melahirkan tindak kekerasan. Dalam berbagai kasus konflik lahan, kadang responnya masih berfokus pada memutus bentrokan fisik, tetapi tidak memutus lapis stigma sosial pada korban, rasa aman keluarga korban. Membuat penyelesaian konfliknya kadang lebih banyak bersandar pada kemampuan warga menceritakan kronologi dibanding kemampuan negara menyelesaikan kronologi tersebut menjadi keadilan dan proteksi yang egaliter dan merata.
Baca Juga: Negara Membiarkan Kekerasan, Warga Sukahaji Bertahan Melawan Pengosongan Lahan
Trauma Perempuan dan Anak-anak di Sukahaji Setelah Pecah Konflik Tanah
16 HAKTP dan Hari HAM Internasional Bukan Cuma Mengingat dan Merayakan, tetapi Harus Melindungi
16 HAKTP dan Hari HAM Internasional bukan dua momentum yang berdiri terpisah; keduanya adalah penanda komitmen negara dan dunia internasional terhadap penghapusan kekerasan berbasis gender dan perlindungan hak asasi manusia semua warga. Namun, untuk memastikan komitmen ini tidak berhenti pada 16 hari saja, logika yang harus dibangun adalah: Kekerasan lahan tidak akan berkurang hanya karena kita mendiskusikan agenda 16 HAKTP. Kekerasan lahan berkurang hanya jika negara hadir, dan masyarakat secara luas peduli pada setiap konflik agraria yang terjadi dan mengedukasi diri tentang masalah agraria.
Perempuan dan anak mungkin tidak disebut sebagai kategori eksplisit dalam insiden Sukahaji 3 Desember 2025. Tetapi ketika yang diserang adalah ruang keluarga dan pemukimannya, maka Indonesia–Bandung termasuk di dalamnya–tidak cuma membutuhkan retorika.
Menagih Proteksi Bukan Retorika
Kasus Sukahaji menegaskan bahwa kekerasan agraria berdampak pada komunitas, keluarga, dan ruang hidup, meskipun laporan publik tidak selalu memecah data korban berdasarkan usia atau gender secara spesifik. Data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2024 merekam 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan (naik 9,77 persen), sementara KPAI mencatat 45 persen dari 3.547 laporan kekerasan seksual anak terjadi di ranah digital, menunjukkan bagaimana kelompok rentan menanggung risiko di ruang yang belum sepenuhnya terlindungi oleh sistem pencegahan maupun respons cepat.
Momentum 16 HAKTP dan International Human Rights Day seharusnya tidak hanya menjadi interval mengingat, tetapi interval memperbaiki sistem proteksi warga. Perlindungan tidak dapat terus-terusan menunggu seminar para ahli lalu menunggu kebijakannya dirumuskan; ia membutuhkan prosedur penanganan yang cepat, menyeluruh da egaliter. Koordinasi keamanan yang jelas, dan keberlanjutan pemulihan bagi warga terdampak. Karena hak atas ruang aman adalah hak warga negara–yang ukuran keberhasilannya bukan lagi pada jumlah pernyataan di ruang publik, tetapi pada jumlah korban yang tidak harus bertahan sendirian, karena kita semua semakin teredukasi dan semakin punya nurani.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

