Eksepsi Ditampik, Sidang Terdakwa Demonstrasi Agustus–September Berlanjut ke Pembuktian
Lanjut ke Pembuktian Putusan hakim membuka jalan bagi pemeriksaan saksi-saksi dan pengujian alat bukti terhadap delapan terdakwa demonstrasi Agustus–September.
Penulis Awla Rajul10 Desember 2025
BandungBergerak – Sidang delapan orang terdakwa terkait gelombang aksi Agustus-September lalu mesti berlanjut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan menolak nota keberatan (eksepsi) yang dilayangkan oleh para terdakwa. Hakim memutuskan untuk melanjutkan perkara sidang selanjutnya dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti.
“Surat dakwaan penuntut umum telah disusun cermat, jelas, dan lengkap dan karenanya bisa jadi dasar perkara a quo. Perkara dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti,” demikian ungkap Ketua Majelis Hakim saat membacakan putusan sela, Selasa, 9 Desember 2025.
Perkara nomor 986/Pid.B/2025/PN Bdg ini merupakan proses peradilan terhadap delapan orang dari 42 orang tahanan politik yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam gelombang aksi Agustus-September lalu. Setelah ditangkap dan menjalankan pemeriksaan oleh kepolisian, mereka ditahan sejak 1 September 2025.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut, dakwaan penuntut umum sudah menjelaskan dengan detail waktu dan tempat tindak pidana para terdakwa. Penuntut umum juga menjelaskan secara rinci tindakan yang dilakukan, serta peran dari masing-masing terdakwa. Majelis hakim juga mempertimbangkan sejauh mana keterkaitan satu terdakwa dengan yang lain dan kerugian yang ditimbulkan. Makanya proses persidangan perlu dilanjutkan untuk menghadirkan alat bukti.
Kedelapan orang terdakwa tersebut didakwa oleh penuntut umum dengan pasal berlapis, yaitu 170, 214, dan 406 KUHP. Mereka dituduh melakukan pelemparan batu ke arah petugas kepolisian yang dinilai menimbulkan kerugian sebesar dua miliar rupiah.
Baca Juga: Tersisa dari Demonstrasi di Bandung, Pesan Agar Suara Rakyat Didengar
Peran Media di Pusaran Aksi Demonstrasi di Indonesia
Kecewa dengan Putusan Sela
Putusan serupa juga berlaku bagi Very Kurnia Kusuma dengan kuasa hukum dari Tim Advokasi Bandung Melawan dan terdakwa M. Vanza Alfarizy, M. Jalaluddin Mukhlis, dan Joy Erlando Pandiangan, kuasa hukum dari LBH Bandung. Dua pekan lalu, melalui tim advokasi hukumnya, mereka melayangkan eksepsi.
“Kalau kalian terbukti, dihukum. Kalau tidak terbukti kami bebaskan. Kalau pun terbukti kami akan pertimbangkan. Masih muda-muda ini (terdakwa),” kata Ketua Majelis Hakim usai mengetok palu setelah membacakan putusan sela.
Sementara itu, terdakwa Very Kurnia Kusumah mengaku kecewa dengan putusan sela dari majelis hakim. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah korban salah tangkap. Sebab di hari berjalannya aksi, ia tidak ikut berunjuk rasa dan hendak pergi nongkrong bersama teman-temannya.
“Itu benar (korban salah tangkap). Pertama, saya sebenarnya tidak ikut aksi demo nasional, mau nongkrong aja sama teman. Cuma pas saya diam di TKP, ada aksi unjuk rasa, saya lihat, terus saya dibawa sama pihak kepolisian dan diseret,” kata Very setelah sidang pembacaan putusan sela.
Tim Advokasi Bandung Melawan, Riefqi Zulfikar juga kecewa atas putusan sela. Namun begitu, pihaknya masih punya kesempatan untuk membuktikan dan memberikan pembelaan bahwa Very tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduh oleh jaksa.
“Ini bukanlah akhir. Kita masih ada tahap pembuktian, kita masih ada tahap pembelaan. Very masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak pidana,” kata Zul.
Ia menyayangkan majelis hakim tidak mempertimbangkan keberatan yang disampaikan oleh tim kuasa hukum Very. Mestinya majelis hakim bisa memperdalam mengenai kompetensi absolut PN Bandung untuk mengadili perkara ini.
Tim hukum dari LBH Bandung Rafi juga berpendapat, majelis hakim masih terjebak pada batasan-batasan formil di hukum acara. Padahal faktanya, terdapat kecacatan prosedur bahkan pelanggaran hak asasi yang didapatkan oleh delapan orang terdakwa. Salah satunya, mereka tidak mendapatkan hak mereka untuk didampingi pengacara ketika pemeriksaan.
“Seharusnya hakim melihat suasana batin dan suasana pada saat pemeriksaan tersebut. Di mana tidak memungkinkan terdakwa yang buta hukum, yang tidak mengerti hukum, bagaimana tau hak-haknya terkait kewajiban jika tidak didampingi oleh pengacara,” ungkapnya.
Di samping itu, Rafi juga memberi catatan kritis. Ia menilai majelis hakim hanya memberi fokus lebih pada prosedur hukum acara formil. Padahal seharusnya majelis hakim juga melihat dan mempertimbangkan nilai-nilai hak asasi manusia yang berjalan di persidangan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

