• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bayangkan Saja NKK/BKK Berlaku Kembali

MAHASISWA BERSUARA: Bayangkan Saja NKK/BKK Berlaku Kembali

Rezim punya sihir abrakadabra mengubah kebijakan. Penggembosan dilakukan dengan berbagai cara. Bisa lewat luar, dalam kampus, atau angkringan nasi kucing kesukaan.

Ucok Sagara

Orang Kalah yang Gemar Menulis dan Mengantuk

Ilustrasi. Gerakan mahasiswa menghadapi tantangan di era yang dikuasai kapital. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)

11 Desember 2025


BandungBergerak.id – Bukan menakut-nakuti. Pengandaian ini hadir dari serangkaian spektakel yang ditunjukkan oleh pemerintah kepada publik. Mulai dari pengesahan RUU TNI. Terakhir, ketuk palu sahnya RKUHAP. Lanjut, ada upaya untuk menggasak-gasak RUU Polri jadi sah. Semuanya, tanpa partisipasi bermakna yang serius dan jujur. Seterusnya, akan ada apa?

Kebijakan NKK/BKK mungkin tidak asing bagi kita yang membaca sejarah kediktatoran Soeharto. Lahirnya NKK/BKK atau yang disebut lebih lengkap Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, dipicu oleh gerakan mahasiswa tahun 1974 yang tidak senang dengan kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta. Sentimen itu lahir di para mahasiswa, yang disebabkan oleh sikap anti-Jepang atau negara kolonial penjajahan Indonesia. Kemelut itu pecah dan kita kenal sebagai Peristiwa Malari.

Mendikbud Kabinet Pembangunan III, Daoed Joesoef (1978–1983) yang mencetak warisan kelam terhadap kebebasan berekspresi di ruang akademik. Ia yang membuat mahasiswa masa itu, harus bergelut tiap saat dengan keadaan tidak aman. Ancamannya jelas: skorsing dan drop out. Dalih kebijakannya, mengembalikan muruah kampus sebagai lembaga ilmiah.

Padahal, Daoed Joesoef, lebih jelasnya Soeharto, ingin mendepolitisasi kesadaran politik mahasiswa melalui kebijakan NKK/BKK. Bahkan, aktivitas turba (turun ke basis) menjadi aktivitas yang membahayakan untuk dilakukan–jadi jalannya sembunyi-sembunyi.

Tak patah arang. Kekangan kencang ini dilawan dengan aksi demonstrasi di kampus masing-masing. Meskipun akhirnya, para mahasiswa terkena skorsing hingga pencabutan status organisasi yang mereka ikuti sebagai wadah menyikapi pelucutan gerakan mahasiswa tersebut.

Semenjak aturan itu dibuat, aktivitas gerakan mahasiswa cukup teredam. Sepanjang tahun gerakan mahasiswa terpenjara, beserta pula pembredelan terhadap media arus utama.

Bangunan struktur yang saling terhubung seharusnya berfungsi timbal balik. Namun, pada kenyataannya, masa-masa Orde Baru justru menciptakan ketimpangan atau keterputusan simpul hubungan sosial.

Produksi kebijakan dari rezim yang diktator melahirkan kerusakan sosial. Bukan suatu hal yang muskil kebijakan NKK/BKK kembali diberlakukan, melihat penyakit tirani, yang mengekang kebebasan berekspresi jelas tampak oleh mata kepala kita. Terakhir, banyak mahasiswa di antaranya tunggang-langgang lintang pukang menghadapi kekuasaan Prabowo.

Ribuan orang masih merasakan dinginnya jeruji, bukan hanya memenjarakan orang-orang. Tetapi, itulah simbol terjunnya demokrasi ke liang lahat. Demokrasi telah mati. Kitalah korban-korbannya. Banyak di antara ribuan itulah mahasiswa-mahasiswa, lokomotif yang me-leading basis kampus untuk berperan terhadap mereka yang ditindas oleh kebijakan struktural.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara Hanya Menonton Saat Hak Pekerja Rumah Tangga Terkoyak
MAHASISWA BERSUARA: Antara Aku yang Nyata dan Aku di Dunia Maya
MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum Pengadaan Kesempatan Kerja untuk Penyandang Disabilitas

Kampus Tempat Pembasisan

Sebelum terlambat. Okupasi ruang-ruang di kampus harus jadi kedisiplinan taktis. Pasalnya, imajinasi jeratan yang lebih kencang dari hari ini, mungkin saja berimbas besar pada lingkungan kampus.

Para mahasiswa perlu menyadari risiko ke depan dari kekuasaan. Misalnya, Damar Setyaji Pamungkas, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Ia dikenakan skorsing dan dituduh melakukan tindakan politik praktis di kampus. Untuk kultur akademis kampus, penyebabnya cacat: merefleksikan urgensi Soeharto jadi pahlawan. Parahnya lagi, tempat yang akan dilangsungkan diskusi tersebut dikunci rapat akses masuknya oleh aparat.

Sama halnya terjadi di Semarang, April 2025 lalu terdapat diskusi tentang "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik". Diskusi ini atas keresahan mahasiswa ketika akan disahkannya RUU TNI. Dalam ruang akademik, menganalisis kebijakan termasuk sah-sah saja dalam kacamata kebebasan akademik. Tapi, diskusi yang diadakan di UIN Walisongo ini secara cepat-cepat didatangi oleh intel tentara yang merasa terusik.

Oktober 2024 lalu terjadi di Salatiga, organisasi pers mahasiswa ingin coba dijebol oleh intelijen polres. Bukan tidak mungkin kalau NKK/BKK berlaku, aparat bertengger sesuka hatinya di kampus kita. Beberapa rentetan masalah barusan muncul pertanyaan penting: Apakah tindakan mahasiswa dianggap subversif?

Melihat politik nasional–khususnya Prabowo, mengatakan aksi-aksi demonstrasi adalah tindakan makar dan terorisme. Statement yang tentu saja keliru. Sebagai katalisator gerakan, ini ancaman. Kalau NKK/BKK diterapkan kembali. Behh, kampus berubah jadi kamp konsentrasi. 

Adapun kita perlu berhati-hati. Rezim punya sihir abrakadabra mengubah kebijakan. Penggembosan dilakukan dengan berbagai cara. Bisa lewat luar, dalam kampus, atau lewat angkringan nasi kucing kesukaan.

Sebelum terlambat, jalan utamanya: pembasisan. Perlu kembali direkatkan reruntuhan yang hancur pasca Agustus akhir yang lalu. Alih-alih konfrontatif dan sesumbar klise. Cobalah terhubung secara kecil-kecilan.

Persamuhan tidak perlu dipublikasikan. Tidak ada gagah-gagahan tulisan tegas "KONSOLIDASI". Tidak dengan atribut-atribut gerakan. Sebab yang penting adalah teori dan praktek. Bukan jargon, simbol, atau tetek bengeknya.

Bangunlah ruang-ruang kecil. Subsisten, tapi konsisten. Tidak dihitung secara kalkulasi angka dan formasi. Awali dari kelompok kecil yang terus menerus belajar dan mengasah nalar.

Saya teringat dengan James C. Scott dalam bukunya berjudul Seeing Like a State (1998). Muncul sebutan Metis, atau bisa disebut dengan pengetahuan praktis yang bersumber dari praktik keseharian. Berafinitas secara organik dan terdesentralisasi.

Metis juga berarti upaya hidup dengan praktik sederhana. Tidak diburu-buru. Apalagi diartikan plek-ketiplek persis BEM-BEM kampus–yang megaphone (baca: gagasan) telah usang. Metis tidak hidup di ruang formalitas. Ia hidup di balik kelas-kelas kosong yang dibangun lewat obrolan tentang masyarakat miskin kota.

Misalnya, bagaimana mengurangi tensi rivalitas (khususnya tindakan kekerasan sesama suporter) antara Persija dengan Persib (kekerasan negara lebih krusial untuk dibahas); bagaimana membuka ruang baca untuk anak-anak tunawisma; bagaimana bertukar bahan bacaan dengan sesama kawan; dst.

Hal-hal barusan, tempuhlah tanpa dipublikasikan luas. Rutinkan pertemuan, dari orang terdekat, lalu menjalar–rhizomatik. Tapi ingat, semua itu harus dikerjakan secara disiplin. Refleksikan apa yang sudah berjalan.

Gerakan Mahasiswa Bukan Panggung

Kerap terjadi, mahasiswa bergerak tidak lepas dari kepentingan ngawur-nya. Apalagi mereka yang di organisasi ekstra kampus (baca: ormek), yang sarat relasi kuasa (baca: senioritas). Gagasannya usang, problematik pula.

Meminjam istilah Hegel, tentang zeitgeist atau semangat zaman. Dekadennya gerakan mahasiswa, semangat zamannya bukan lagi panjat-panjat sosial di publik.. Bukan juga membebek dengan individu berpunya hingga naik di deretan pucuk kekuasaan.

Gerakan mahasiswa tidak mencetak orang bermental heroik. Pameo satu rasa sama rata jauh lebih berharga untuk dilakukan. Setiap orang memiliki peran. Semua dapat di satukan dalam ruang egaliter. Dibangun dari perkumpulan kecil. Meski hanya ditemani kopi pahit, gorengan bekas pagi dan rokok mengeteng, ruang tetap bisa hidup.

Memang saya tidak dapat memastikan kapan perubahan itu datang jika dibangunnya lewat gerakan yang kecil. Akan tetapi, makna perubahan jangan ditafsirkan sebagai satu keadaan yang tiba-tiba berganti (sekalipun sudah diukur). Butuh keuletan, butuh ketekunan. Kesabaran revolusioner itu penting.

Kita tidak bisa cepat-cepat. Mahasiswa mungkin ambisius selama kuliah mendengar istilah revolusi, reformasi, perubahan struktural, dll. Namun, warga tidak bisa dipaksa memahami itu.

Apalagi kalau disuguhi jargon-jargon klise itu. Kesannya kalian tidak berbeda jauh dengan jargon-jargon pada baliho kontestasi politik. Mahasiswa-mahasiswa lain pun, yang selalu dianggap apatis perlu diajak. Berikan peran yang sesuai dengan kemampuannya.

Gerakan mahasiswa tidak menciptakan panggung personal, justru menciptakan ruang bersama. Membaca zine tafsiran Herry "Ucok" Sutresna pada gagasan sejarah Walter Benjamin, saya sepakat bila sejarah dianggap sebagai pola mesianistik. Bukan sebagai individu perorangan. Bukan Ratu Adil yang menyelamatkan. Tapi, kulit sejarah yang dikelupas oleh orang-orang sebagai subjek sejarah. Banyak orang secara bersama-sama.

Jika NKK/BKK berlaku kembali, menciptakan panggung menjadi satu hal yang muskil. Rentan direpresi. Sebaliknya, kalau yang dibentuk adalah ruang bersama, tanpa publikasi, ia tidak akan dicurigai subversif. Dibangunnya lewat celah-celah waktu. Pintar-pintarlah melihat peluang.

Kalau NKK/BKK benar-benar berlaku, mungkin urusan mahasiswa lebih banyak bergulat di urusan administratif. Mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dapat dipelintir sebagai omong kosong belaka.

Namun, bukan berarti semua itu tanpa celah. Tetap ada celah yang bisa dikerjakan. Itulah mengapa penting kiranya membentuk afinitas, yang tercipta melalui rasa trust persekawanan.

Sekali lagi, kalau memang sampai akhirnya NKK/BKK berlaku dalam bentuk lain. Bersiap-siaplah. Tapi ingat, seharusnya semua itu sudah dipersiapkan dari sekarang. Budaya lama harus diganti. Budaya baru tampak mengganti. Bangunlah ruang kecil untuk kebersamaan. Tidak ada panggung. Tidak juga bergantung.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//