Keberpihakan Pers di Gelombang Demonstrasi Melahirkan Narasi Warga Jaga Media
CMCI Unpad melalui temuan risetnya menegaskan bahwa media bagian dari warga dan berkontribusi pada gerakan sosial.
Penulis Retna Gemilang11 Desember 2025
BandungBergerak - Keberpihakan media selama gelombang unjuk rasa Agustus-September, dan gerakan sosial lain sebelumnya, dipertanyakan dan diteliti. Apakah industri para kuli tinta ini condong membela penguasa atau suara rakyat? Riset terbaru oleh Pusat Studi Komunikasi, Media, Budaya, dan Sistem Informasi (CMCI) Universitas Padjadjaran mengungkap temuan menarik.
Saat liputannya yang menyoroti identitas gerakan—bukan sekadar aksi demonstrasi—media justru memperlihatkan tingkat simpati yang lebih tinggi daripada yang diasumsikan publik selama ini. Hasil temuan ini dipaparkan dalam forum "Peran Media dalam Rangkaian Gerakan Sosial di Indonesia" dengan bekerja sama bersama Actant Initiative dan BandungBergerak di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Rabu, 10 Desember 2025.
Detta Rahmawan, peneliti CMCI Unpad memaparkan hasil risetnya bahwa terdapat dinamika pemberitaan terkait tiga gelombang aksi terbesar di Indonesia sepanjang 2024-2025, yakni "Peringatan Darurat", "Indonesia Gelap", dan rangkaian "Aksi-Agustus-September". Ketiga aksi tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk rantai pembelajaran kolektif dalam demokrasi jalanan, ruang tempat publik mempertajam taktik, jaringan, dan narasi gerakan.
Selama ini, media kerap dipersepsikan menggunakan "paradigma protes", yaitu pola liputan yang lebih menonjolkan kericuhan, konflik, atau aspek sensasional. Akan tetapi, analisis CMCI pada berbagai media nasional justru menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Melalui fokus analisis pada bingkai diagnostik, prognostik, dan motivasional, CMCI menemukan bahwa pemberitaan media yang menampilkan tuntutan, motif aksi, identitas, dan karakter gaerakan cenderung menghadirkan sudut pandang yang lebih manusiawi dan simpatik. Demonstrasi banyak digambarkan sebagai ekspresi aspirasi publik, bukan ancaman keamanan.
"Klaim bahwa jurnalis memberitakan negatif mengenai aksi justru bisa dibantah," ujar Detta.
"Karena pada kenyataannya media arus utama tetap memberitakan aksi secara positif jika gerakan mempunyai identitas dan bisa menjelaskan tuntutan dari kegiatan aksi unjuk rasa dan gerakan sosial."
Dalam beberapa kasus, banyak media menggunakan diksi positif, seperti "menyerukan", "mendesak", “mengapresiasi", atau "mengawal". Liputan juga banyak menyoroti substansi tuntutan, bukan sekadar menampilkan visual massa. Mulai dari revisi regulasi, transparan, anggaran, isu energi, hingga 17+8 tuntutan rakyat.
Temuan ini menjadi bukti bahwa media arus utama masih berfungsi sebaga kanal legitimasi moral yang penting bagi gerakan sosial, terutama ketika narasi identitas gerakan lebih menonjol daripada insiden di lapangan.
Temuan peta narasumber utama yang dipakai media pun memperlihatkan variasi menarik. Narasumber utama dalam pemberitaan aksi "Peringatan Darurat" dan "Aksi Agustus-September" didominasi oleh anggota legislatif. Akan tetapi, dalam liputan "Indonesia Gelap", suara mahasiswa dan massa aksi lebih sering dipakai menjadi narasumber utama. Perbedaan ini, menurut riset menunjukkan kontur relasi kekuasaan dan dinamika isu yang membentuk cara media dalam memilih sumber berita.
Pada akhirnya, media masih menjadi bagian dari gerakan publik dalam keberlanjutan jurnalisme mendatang. Karena menurut Detta, jurnalis juga bagian dari warga. Sehingga, dengan istilah "Warga Jaga Warga", maka penting adanya "Warga Jaga Media". Media berperan sebagai bagian dari upaya membangun "kantong-kantong politik" milik warga dan memberikan penekanan bahwa media memiliki agensi.
"Kita bisa saling membantu, saling menjaga publik, sebagai bagian dari publik. Makanya agensi itu menjadi penting dan harus disadari bahwa media adalah bagian dari publik," paparnya.

Media tidak Pernah Netral
Abie Besman, dosen Jurnalistik Fikom Unpad sekaligus Chief of Digital Transformation Koran Gala memberi tanggapan tegas bahwa media tidak pernah netral. Peran media bukan hanya mengamati gerakan sosial, tapi juga bagian dari ekosistem publik itu sendiri. Abie mengingatkan pentingnya relasi timbal balik antara warga dan media, terutama di tengah menyempitnya pergerakan ruang sipil dan tekanan politik yang terus meningkat.
Karena pada realitanya, media massa di Indonesia lebih sering mempraktikkan dragging by action, di mana media memproduksi berita yang menjual berdasarkan pemberitaan yang dimakan dengan cepat oleh audiens. Bukan dragging by issue, melalui pemberitaan berdasarkan isu-isu utama.
Menurut Abie, banyak media massa Indonesia yang mempraktikkan snacking dengan berita fast journalism. Kuantitas berita dan algoritma yang tinggi menjadi parameter suksesor media, dibandingkan dengan kualitas berita yang bisa dipraktikkan dalam slow journalism.
"Media massa tidak hanya soal harus berbicara, tapi siapa yang diberikan ruang untuk berbicara, siapa yang harusnya berbicara," pungkasnya.
Pendapat mengenai media tidak pernah netral diamini oleh Ristia Kusnady atau biasa dipanggil Teh Ayang, perwakilan dari Forum Dago Melawan. Karena menurutnya, menjadi netral berarti tidak berani dalam berpihak pada kebenaran. Ia mengamini sikap media alternatif yang menegaskan diri bahwa media harus memihak kepada kebenaran.
"Media itu sudah saatnya memihak dan membantu suara rakyat. Warga di Indonesia, baik dari khalayak makro maupun mikro, membutuhkan berbagai bentuk support, terutama dari media yang selalu mendampingi kami," paparnya.
Teh Ayang kemudian mengulas siatuasi yang dialami warga Dago Elos dalam menghadapi konflik tanah. Ia bersama teman-teman Forum Dago Melawan menyuarakan dan melakukan aksi nyata merebut ruang hidup dari ancaman penggusuran. Mulai dari menjalin relasi baik dengan media hingga mereduksi aksi yang sering berstigma negatif menjadi lebih positif.
Salah satu gerakan positif yang dilakukan warga Dago Elos adalah menggunakan pita pink dan baju pink yang sering kali diinisiasi oleh ibu-ibu dalam gerakan aksinya. Teh Ayang menilai, fenomena aksi yang dilakukan ibu-ibu ini lebih tenang dalam menghadapi aparat, sehingga berpeluang tidak adanya tindakan kekerasan yang merusuh.
Ibu-ibu Dago Elos selalu mendapatkan edukasi dan mengikuti komandan serta ketua forum secara teratur dalam menyuarakan haknya. Dari aksi damai ini, banyak akhirnya inisiatif kolaborasi berdatangan dari berbagai pihak.
"Mereka pada datang berbondong-bondong banyak sekali. Kita sangat welcome siapapun yang datang ke Dago," jelasnya. "Mereka ikut beraksi dan salah satunya adalah aksi memakai pita pink."
Dalam aksi memperjuangkan hak tempat tinggal inilah lahir juga suara-suara dari media yang selalu mendampingi perjuangan Dago Elos. Sehingga akhirnya, terdapat pergeseran perspektif terhadap jurnalis dan media. Pada awal mulanya, banyak warga Dago Elos yang takut berbicara kepada media. Tapi dengan keberpihakan media yang jelas, membuat warga Dago Elos berani menyuarakan haknya.
“Sebenarnya saya bukan orang yang berapi-api, tapi sebagai bentuk pertahanan. Kalau hak Anda diganggu, ya harus melawan. Apa pun itu, tetap harus melawan. So what? Untuk identitas (kita) sebagai manusia,” ungkap Teh Ayang.
Baca Juga: Peran Media di Pusaran Aksi Demonstrasi di Indonesia
UU Pers Dinilai Sudah Kuat, yang Lemah Justru Penegakan Hukumnya
Jurnalisme Eksplanasi dalam Gerakan Sosial
Riset CMCI menyoroti peran penting jurnalisme penjelas (explanatory journalism) atau jurnalisme eksplanasi di era digital. Berita tidak hanya berhenti pada laman portal, tangkapan layar, potongan video, dan tautan liputan yang kerap menjadi bahan percakapan publik di media sosial, memicu reaksi cepat, dan membentuk persepsi kolektif. Artinya dampak media jauh melampaui ukuran klik atau traffic, dan lebih terkait pada bagaimana informasi tersebut diproses publik secara luas.
Diskusi yang dihadiri jurnalis, aktivis organisasi, masyarakat sipil, pers mahasiswa, dan akademisi ini menjadi ruang refleksi bersama untuk memahami pergeseran pola liputan media dan implikasinya pada demokrasi. Dengan dukungan BandungBergerak sebagai mitra pelaksana, acara ini sekaligus menegaskan pentingnya kolaborasi antara institusi riset, media, dan publik dalam mengawal ruang demokrasi.
Melalui hasil penelitiannya, CMCI Unpad menekankan bahwa media dan gerakan sosial bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan sistem yang saling berinteraksi. Ketika media memberi ruang bagi identitas gerakan, publik memiliki kesempatan lebih besar untuk memahami konteks, substansi, dan alasan kritis di balik aksi warga. Lalu, ketika publik memahami cara kerja media, gerakan sosial dapat membangun strategi komunikasi yang lebih efektif dan demokratis.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

