Cara Masyarakat Jepang Senantiasa Siaga Menghadapi Bencana
Jepang sangat giat melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap risiko bencana secara berkelanjutan untuk menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami.

Johan Iskandar
Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)
12 Desember 2025
BandungBergerak.id – Dalam beberapa dasawasa terkahir ini berbagai bencana kian kerap terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Pada kasus terbaru, misalnya, telah terjadi bencana banjir dan longsor menerpa kawasan Sumatra. Bencana tersebut ditenggarai diakibatkan oleh kombinasi faktor alam dan akibat ulah manusia. Faktor alam yakni curah hujan yang tinggi di kawasan Sumatra Utara akibat siklon tropis. Sementara faktor ulah manusia antara lain karena terjadinya degradasi lahan hutan, dan kerusakan lingkungan yang sangat marak.
Imbas dari bencana banjir dan longsor di Sumatra hingga 30 November 2025, tercatat total 442 jiwa tewas dan 402 orang hilang. Rinciannya yaitu di Sumatra Utara 217 orang tewas, dan 209 orang hilang. Di Aceh 96 orang tewas dan 75 orang hilang. Sementara di Sumatra Barat 129 orang tewas dan 118 orang hilang.
Dilitik dari kian seringnya terjadi bencana di berbagai wilayah di Indonesia pada setiap tahunnya, maka sangat penting selain dilakukan upaya tanggap darurat bencana. Namun, penting pula dilakukan berbagai kegiatan preventif dan mitigasi risiko bencana sebelum terjadinya bencana secara berkesinambungan yang diintegrasikan dengan berbagai program pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut mengingat sejatinya berbagai wilayah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa Barat, merupakan wilayah yang sangat rawan terhadap berbagai risiko bencana. Baik itu akibat bencana alam murni seperti gempa bumi, gunung api, dan tsunami; maupun bencana akibat ulah manusia dan fenomena alam misalnya banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan. Pada umumnya, bencana akibat fenomena alam tidak dapat dihindari manusia, tetapi upaya yang bisa dilakukan dengan meminimalkan dampaknya antara lain dengan melakukan mitigasi. Sementara bencana akibat ulah manusia dan/atau faktor fenomena alam sesungguhnya bisa dihindari atau diminimalkan. Terutama apabila manusianya berperilaku bijakasana terhadap lingkungan dan perlunya juga upaya mitigasi bencana secara seksama.
Berbagai negara memiliki pengalaman pengelolaan risiko bencana. Jepang di antaranya, sangat maju dalam melakukan pengelolaan risiko bencana. Pemerintah Jepang tidak hanya melakukan upaya tanggap darurat ketika ada bencana. Tetapi, juga sangat giat melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap risiko bencana secara berkelanjutan sebelum terjadinya bencana.
Baca Juga: Memahami Gempa Bumi sebagai Bencana Alam Geologi
Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan
Bencana Sumatra: Dari Pahlawan ke Titik Nol
Jepang dan Bencana Alam
Pada umumnya masyarakat Jepang sepertinya sudah tidak asing lagi dengan masalah bencana alam. Pasalnya, Jepang sangat sering dilanda bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami. Akibat bencana telah menyebabkan berbagai kerugian harta benda dan korban jiwa. Misalnya pada tahun 1948, gempa bumi telah menimpa kawasan Fukui. Kerugiannya ditaksir mencapai 46.000 juta yen dan ratusan orang meninggal dunia. Pada tahun 1964, terjadi pula gempa bumi di Kota Niigata, dengan total kerugian ditakasir sekitar 17.000 yen. Selang empat tahun kemudian, pada tahun 1968, bencana alam gempa bumi menimpa kota Tokachi-oki dengan kerugian 4.368 juta yen. Lantas, setelah itu hingga 2004 tercatat tak kurang dari 15 gempa bumi dahsyat menimpa Jepang. Contohnya pada tahun 1995 terjadi gempa bumi sangat dahsyat di Kobe dan tahun 2011 di Tohoku Pacific Ocean, dengan korban jiwa masing-masing 6.443 orang dan 20.000 orang.
Tidak hanya gempa bumi, beberapa bencana tsunami dahsyat juga telah menimpa Jepang. Contohnya bencana tsunami pada tahun 2011 telah menimpa beberapa kawasan Prefecture Iwate di bagian timur Jepang, seperti Kota Miyako, Kamishi, dan Rikuzentaka. Bencana tersebut ditaksir telah menyebabkan kerugian total sekitar 200 juta dolar AS.
Karena seringnya dilanda bencana gempa bumi dan tsunami, warga Jepang umumnya telah menyadari sepenuhnya bahwa mereka tinggal di kawasan rawan bencana. Mereka pun sangat menyadari bahwa setiap saat bencana alam tersebut akan datang menimpa mereka kembali. Tidaklah heran bahwa kini masyarakat dan pemerintah Jepang secara umum sangat siap dalam menghadapi bencana alam. Bukan saja merespons setelah kejadian (pasca) bencana, tetapi juga melakukan berbagai upaya sebelum terjadi bencana (prabencana) seperti upaya mitigasi risiko bencana dan persiapan mengadapi bencana. Misalnya, di Jepang telah dibangun Pusat Edukasi Tsunami di Wakayama dan Museum Kewaspadaan Menghadapi Bencana dan Institusi Renovasi Masyarakat di Kobe. Pusat edukasi itu telah berperan penting untuk mendokumentasikan berbagai bencana di masa lalu dan sekaligus untuk upaya edukasi, sosialiasi, mitigasi, serta membanguan kesiagaan masyarakat luas dalam menghadapi bencana.
Edukasi Tsunami
Perjalanan dengan bis dari Kota Kyoto ke Pusat Edukasi Tsunami di Hiro Hirogawa-cho, Arida-gun, Wakayama, dapat ditempuh sekitar 2 jam. Jarak Kyoto-Wakayama sekitar 121 km. Pusat Edukasi Tsunami Wakayama (PETW) didirikan pada bulan April 2007. Selain sebagai pusat edukasi dan sosialisasi tentang bencana, PETW juga telah menjadi obyek wisata di Jepang yang sungguh menarik bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. PETW biasanya buka pada hari Rabu-Minggu dari jam 10.00-17.00 dan tutup setiap Senin–Selasa serta pada liburan tahunan 29 Desember-4 Januari. Untuk masuk PETW, para pengunjung harus membayar tiket masuk dengan harga bervariasi. Misalnya, pada tahun 2013 tiket masuk orang dewasa 500 yen (sekitar Rp 50.000), murid setingkat SLTA 200 yen (Rp 20.000), dan untuk murid setingkat SD dan SMP membayar tiket masuk 100 yen (Rp 10.000). Sementara bagi siswa SD dan SMP di Jepang yang berkunjung untuk kegiatan ekstrakulikuler sekolah hanya dikenakan bayar tiket masuk dengan setengah harga.
Proses edukasi bencana juga bisa diperoleh dari lokasi PETW, tepatnya di Hirogawa yang seringkali dilanda tsunami khususnya di antara tahun 1605 dan 1854. Dikisahkan, ada seorang pahlawan–tokoh pejuang yang gigih dalam upaya penanggulangan bencana tsunami–bernama Haemaguchi Goryo. Menurut kisahnya, pada tahun 1854 ketika Goryo sedang tinggal di rumahnya di Hiro-mura, mendadak terjadi gempa yang sangat dahsyat disertai dengan kejadian tsunami menghantam Kii Peninsula. Pada saat itu, Goryo secara heroik menyalakan api dengan membakar jerami-jerami padi sawah. Pengaruh dari kilauan nyala api tersebut telah menjadi suatu pertanda bagi segenap warga yang sedang dilanda tsunami untuk segera bergegas pergi ke daerah-daerah aman di perbukitan. Akibat upayanya tersebut, banyak warga selamat dari bencana tsunami. Selain itu, Goryo juga dikenal telah berpartisipasi dalam berbagai upaya pemulihan daerah Hiro-mura pasca bencana tsunami dengan sangat gigih dan menakjubkan. Misalnya, dia menyumbangkan dana dengan menggunakan uang pribadi guna mengupah buruh para pekerja penduduk desa dalam membangun benteng tanggul dan dinding pantai (sewall) sebagai penahan bencana air pasang di pantai. Pada pembangunan tersebut, dikisahkan bahwa pada bulan Februari 1854, Hamaguchi Goryo berkonsultasi dengan Hamaguchi Kichiuemon untuk memulai membangun tanggul sepanjang 20 meter dengan tinggi 5 meter di bagian daerah lembah, serta 600 meter dinding pantai. Dinding pantai tersebut baru selesai dibangun pada Desember 1858. Pada pembangunan tersebut, Goryo menggunakan uangnya sendiri dan mengupah buruh warga desa sejumlah 56.736 orang demi mencegah hilangnya desa di kotapraja akibat bencana tsunami.
Mengingat berbagai jasanyadalam penanggulangan tsunami, tidaklah heran jika pusara Hamaguchi Goryo dan seawall tersebut dicatat sebagai salah satu monumen nasional penting di Jepang. Kisah Goryo atau “Inamura-no-Hi” membakar jerami padi saat terjadi bencana tsunami dan telah menyelamatkan banyak warga dari korban tsunami telah banyak dipublikasikan secara global. Misalnya, dipublikasikan di Amerika oleh Sara Cone Bryant pada tahun 1963. Selanjutnya, kisah kepahlawanan tersebut dipublikasikan dengan cara ditulis dalam buku-buku pelajaran di Jepang.
Berbagai dokumentasi kisah Hamaguchi Goryo dan bagaimana komunitas lokal melindungi dirinya dari bencana tsunami dapat disaksikan di Pusat Edukasi Tsunami. Selain itu, ada pula beberapa ruang eksebisi. Misalnya, galeri pertunjukkan yang dirancang khusus untuk presentasi riset atau up-date informasi tentang tsunami. Tidak hanya itu, ruangan tersebut juga dapat digunakan untuk tempat singgahan pengungsian (temporary shelter) apabila kota dinyatakan dalam kondisi darurat siaga bencana. Ruang lainnya berupa ruang orientasi. Ruang ini digunakan untuk sajian informasi penting bagi pengunjung sebelum menonton video tentang sejarah kejadian tsunami di ruangan khusus pertunjukan film. Ruangan orientasi ini juga biasa digunakan untuk kegiatan-kegiatan khusus, seperti kuliah dan presentasi pendidikan mengenai mitigasi tsunami. Selain itu, seperti halnya galeri pertunjukkan, ruangan tersebut juga dapat diperuntukkan bagi tempat singgahan darurat para pengungsian sementara segenap warga apabila terjadi bencana tsunami. Bukan hanya itu, di tempat ini juga dijadikan gudang penyimpanan barang-barang untuk kepentingan darurat pengungsi, seperti kasur, selimut dan lainnya. Ruangan berikutnya disebut geleri “Inamura-no-Hi”, berupa ruang pameran yang berkaitan dengan sejarah bencana tsunami Hirogawa sejak 1855 dan spirit dari Hamaguchi Goryo dalam menanggulangi bencana tsunami. Pusat edukasi ini juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan buku-buku tsunami. Setiap pengunjung dapat membaca buku-buku yang berhubungan dengan bencana tsunami, seperti sistem deteksi tentang cuaca, kejadian gempa dan tsunami, termasuk sejarah “Inamura-no-Hi” dalam berbagai bahasa. Sementara untuk pembelajaran menghadapi bencana tsunami, pengunjung juga diajak untuk bermain secara interaktif. Permainan tersebut sangat ideal untuk generasi muda belajar tatacara yang harus dilakukan apabila terjadi suatu bencana tsunami.
Proses edukasi di PETW yang tak kalah menariknya, yaitu adanya ruang khusus untuk pertujukkan film. Film tiga dimensi dengan sistem video sangat canggih, khusus nonton film dibekali dengan kacamata gelap. Usai menyaksikan film, para pengunjung juga dapat menyaksikan langsung sistem mitigasi bencana tsunami di kawasan pantai. Misalnya, sistem peringatan dini bencana berupa jaringan serine, bangunan tanggul tinggi 5 meter sepanjang 20 meter, serta dinding pantai sepanjang 600 meter yang membentang di kawasan pantai bekas ditimpa bencana di masa lalu. Berdasarkan pengalaman berkunjung ke PETW, para pengunjung memperoleh berbagai informasi tetang peristiwa kejadian tsunami di masa lalu, berikut upaya-upaya mitigasi dan persiapan guna menghadapi bencana tsunami di masa datang.
Edukasi Gempa Bumi
Pusat edukasi bencana berikutnya adalah Museum Kewaspadaan Menghadapi Bencana dan Institusi Renovasi Masyarakat di Chuo-ku, Kota Kobe. Lokasinya sekitar 65 kilometer dari Kota Kyoto. Tempat tersebut dapat dikunjungi diantaranya dengan menggunakan bis sekitar 1,5 jam perjalanan dari Kyoto. Museum tersebut buka dari jam 9.30 hingga 17.30 serta tutup pada liburan tahunan pada 31 Desember–1 Januari. Harga tiket untuk masuk museum tersebut bervariasi. Pada tahun 2013, tiket bagi orang dewasa 600 yen (Rp 60.000), mahasiswa 450 yen (Rp 45.000), dan anak sekolah setingkat SMA 300 yen (Rp 30.000). Sementara untuk anak sekolah setingkat SD dan SMP tiketnya gratis. Selain itu, untuk bayar parkir mobil di sekitar museum, harus bayar 250 yen (Rp 25.000) untuk 1 jam, 400 yen (Rp 40.000) untuk 2 jam, serta 500 yen (Rp 50.000) untuk 3 jam. Sementara untuk parkir lebih dari 3 jam, pengunjung harus bayar 200 yen (Rp 20.000) setiap 30 menitnya.
Ditilik dari sejarah ekologi, Kota Kobe pernah dilanda gempa bumi sangat dahsyat. Misalnya, bencana gempa bumi pada tanggal 17 Januari 1995. Gempa bumi tersebut memiliki skala magtitude 6.8 moment magnitude scale (USGS) dengan lama goncangan selama 20 detik. Dampaknya 6.434 orang hilang dan meninggal dunia. Bencana gempa bumi tersebut termasuk kategori gempa bumi terburuk sejak gempa bumi Great Kanto pada tahun 1923. Berdasarkan kejadian bencana tersebut, di kota Kobe dibangun suatu museum tentang kewaspadaan dan institusi renovasi masyarakat. Museum tersebut telah menjadi salah satu pusat pencegahan bencana dan mitigasi bencana yang sangat penting di dunia. Dengan dibangun museum tersebut telah menjadi suatu pesan penting bagi dunia tentang kejadian gempa dahsyat di Kobe di masa lalu. Selain itu, dapat berfungsi untuk mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya kehidupan untuk generasi mendatang agar terhindar dari bencana gempa serta dapat mengurangi berbagai kerusakan akibat gempa bumi.
Para pengunjung ke museum bencana, biasanya diawali mereka dengan menonton pertujukkan film dokumentasi selama 7 menit tentang bencana gempa bumi yang melanda Kota Kobe. Pada film tersebut ditunjukkan berbagai kehancuran akibat gempa dahsyat di Kobe. Misalnya, kehancuran berbagai bangunan dan jalan raya. Tidak hanya itu, pada film tersebut juga didokumentasikan kondisi kota yang hancur serta kondisi penduduk di pengungsian sementara dengan berbagai permasalahannya. Ditujukkan pula tentang proses pemulihan dan rekonstruksi kota setelah bencana gempa bumi. Film tersebut disajikan dengan sistem suara dan gambar yang sangat menarik dalam layar besar. Para penonton film pada berdiri tak jauh jaraknya dari layar film.
Tidak kalah menariknya, di dalam museum tersebut juga disediakan ruangan khusus tentang pengalaman dan upaya proteksi untuk meminimalisasi kerusakan akibat bencana gempa bumi. Misalnya, di ruangan tersebut para pengunjung diajak untuk belajar tentang menghadapi bencana dan bagaimana penduduk dapat melindungi diri dari bencana dengan didemonstrasikan melalui anekaragam permainan menarik. Contohnya, ada suatu permainan yang menunjukkan tentang simulasi besarnya goncangan gempa di suatu tempat yang dipengaruhi oleh jaraknya dari pusat gempa. Informasi tersebut diberikan dalam ilustrasi berbentuk permainan interaktif mainan ikan lele. Di atas permukaan meja kaca diletakan mainan berbentuk ikan lele, diibiratkan sebagai gambaran pusat gempa. Lantas, ikan lele tersebut dapat digeser-geser posisinya dari permukaan meja kaca sampai bagian bawah jauh dari permukaan meja kaca. Posisi mainan ikan lele, merupakan suatu analogi gambaran pusat gempa di daerah dangkal atau jauh di dalam laut. Mainan ikan lele tersebut terhubung dengan kabel listrik yang dapat mengirim sinyal untuk menggerak-gerakkan boneka-boneka yang disimpan di atas meja. Misalnya, apabila mainan ikan lele ditempatkan di posisi tidak jauh dari permukaan meja, memicu getaran yang mengguncang boneka-boneka yang diletakkan di atas meja. Jika goncangan cukup keras, bisa saja membuat boneka terjungkal jatuh. Hal tersebut menjukkan dampak yang terjadi pada suatu wilayah yang sangat dekat dengan pusat gempa. Tetapi, sebaliknya ketika ikan lele digeser ditempatkan lebih jauh dari permukaan meja kaca, maka boneka-boneka di atasnya hanya mendapat goncangan tidak keras dan tidak menyebabkan terjungkalnya dari atas meja kaca. Hal ini menggambarkan dampak gempa disuatu kawasan yang letaknya jauh dari pusat gempa umumnya mendapatkan goncangan yang tidak terlalu dahsyat.
Bentuk permainan lainnya, berupa permainan yang menggambarkan tentang bahaya gempa di kawasan lahan basah (wetland). Caranya, yaitu disediakan suatu akuarium, di dalamnya diisi pasir dan sedikit air. Lantas, di atas pasir tersebut diletakan beberapa bangunan mini dengan dua model bangunan. Model pertama, bangunan tersebut dilengkapi dengan fondasi kaki-kaki pencakar pada pasir yang ditancapkan ke dalam hamparan pasir. Sementara model lainnya berupa bangunan tanpa fondasi pencakar dalam hamparan pasir. Kemudian, pada akuarium yang diisi pasir tersebut disambungkan dengan kabel listrik. Akibatnya, terjadi getaran-getaran yang menyebabkan goyangan pada bangunan mini di dalam akuarium. Getaran-getaran tenaga listrik tersebut seolah-olah menggambarkan terjadi bencana gempa bumi. Konsekuensinya, bangunan rumah-rumahan yang tanpa fondasi pencakar pasir dengan mudah roboh. Tetapi sebaliknya bangunan rumah-rumahan yang menggunakan fondasi pencakar kaki-kaki ke dalam pasir tidak roboh akibat adanya goncangan. Hal tersebut memberikan edukasi bahwa kalau membangun rumah di kawasan rawan bencana harus menggunakan fondasi dengan kaki-kaki bangunan coran yang sangat kokoh dalam tanah.
Pada permainan lainnya, hampir serupa dengan peramainan tadi, di dalam akuarium ditempatkan suatu rumah yang dindingnya menggunakan kerangka tulang berbentuk X dan rumah tanpa tulang. Lantas, ketika rumah-rumahan tersebut mendapat getaran dari tenaga listrik menujukkan bahwa bentuk rumah-rumahan tanpa tulang dinding dapat bergoncang sangat besar serta roboh. Tetapi, sebaliknya rumah-ruamahan yang dindingnya mengunakan tulangan berbentuk X, akan merasakan goncangan yang relatif ringan dan tidak menyebabkan bangunan roboh. Permainan sederhana memberikan informasi penting bagi para pengujung bahwa untuk membangun rumah di suatu kawasan rawan bencana bumi diperlukan mitigasi adaptasi bencana. Misalnya, bangunan rumah tersebut perlu dirancang bangun khusus anti gempa. Misalnya, dengan dibangunnya fondasi coran kaki-kaki yang kokoh atau pun pada dinding temboknya dilengkapi dengan tulang-tulang khusus anti gempa.
Acara berikutnya, sebelum para pengunjung ke luar museum, mereka diberi sajian suatu film singkat sekitar 16 menit tentang berbagai kehancuran harta benda, bangunan, dan fasilitas lainnya akibat bencana gempa dahsyat di kawasan timur Jepang. Di dalam museum tersebut, para pengunjung tidak bebas mengambil foto. Pasalnya, ada ruangan-rungan khusus yang tidak boleh diambil fotonya. Sementara makan dan minum hanya diizinkan di kantin yang khusus disediakan di dalam museum.
Ditilik dari pengalaman pengelolaan bencana, pemerintah Jepang bukan hanya melakukan upaya tanggap darurat saja. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah melakukan mitigasi bencana sebelum ada bencana. Oleh karena itu, sifat pengelolaan bencana tersebut bersifat daur atau siklus dan berkelanjutan. Upayanya sebelum ada bencana biasanya melakukan pencegahan serta mitigasi bencana. Sementara jika terjadi bencana, dilakukan tanggap darurat dan sekaligus dilakukan upaya preventif kemungkinan bakal terjadi lagi bencana di masa datang yang sekaligus berfungsi pula sebagai upaya mitigasi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

