• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketika Solidaritas Digital Mengalahkan Birokrasi Negara

MAHASISWA BERSUARA: Ketika Solidaritas Digital Mengalahkan Birokrasi Negara

Indonesia kembali membuktikan bahwa kekuatannya bukan pada struktur kekuasaan, melainkan pada solidaritas warganya.

Mila Aulia

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sejumlah mahasiswa dari komunitas Literatur melakukan aksi solidaritas untuk korban bencana banjir dan longsor Sumatra di depan Gedung Sate, Bandung, 8 Desember 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

12 Desember 2025


BandungBergerak.id – Tragedi banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 25 November lalu menyisakan luka yang tak mudah sembuh. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 883 orang meninggal dunia, 520 hilang, dan lebih dari 4.200 luka-luka. Sebanyak 121 ribu rumah rusak, 270 fasilitas kesehatan lumpuh, ratusan sekolah hancur, dan 405 jembatan terputus. Di banyak daerah, warga bertahan hidup di tenda darurat dengan keterbatasan makanan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan medis.

Namun di tengah duka yang begitu dalam, publik justru dihadapkan pada ironi komunikasi bencana yang membingungkan. Ketika gubernur di tiga provinsi menetapkan status tanggap darurat daerah, pemerintah pusat belum juga menentukan status bencana nasional. Inkonsistensi pesan ini menciptakan ruang kosong informasi, yang segera dipenuhi kritik dan spekulasi. Di media sosial, sentimen publik terbelah: sekitar 48 persen percakapan bernada positif terkait upaya pemerintah, sementara 35 persen mempertanyakan lambannya respons dan dugaan pencitraan.

Kesimpangsiuran narasi birokrasi kontras dengan kenyataan lapangan. Investigasi media menunjukkan masih banyak desa yang belum tersentuh bantuan bahkan seminggu setelah bencana. Di saat pemerintah berbicara tentang “respons cepat”, warga di lapangan menunggu dengan tangan kosong. Kontradiksi antara klaim dan realitas ini meruntuhkan kredibilitas komunikasi resmi negara di mata publik.

Sementara itu, di luar jalur formal, ada gerakan kemanusiaan yang berlari jauh lebih cepat daripada struktur negara yaitu solidaritas warga Indonesia. Tanpa komando, masyarakat menggalang aksi bantuan dari berbagai arah baik kampus, komunitas, pengajian, organisasi sosial, hingga donasi digital. Penggalangan dana oleh Simpul Setara telah mencapai Rp5,7 miliar dari lebih dari 70 ribu donatur; Relawan Nusantara mengumpulkan Rp1,75 miliar dari 17 ribu donatur; dan LazisMu mengalokasikan bantuan pendidikan serta paket keluarga bagi pengungsian.

Salah satu aksi yang paling mencuri perhatian adalah donasi publik oleh Ferry Irwandi dalam 24 jam yang mencapai Rp10,3 miliar dari lebih 87.500 donatur dan telah menyalurkan 5,2 ton bantuan ke wilayah terisolasi seperti Aceh Tamiang dan Langkat menggunakan helikopter dan jalur air. Banyak warga memilih menitipkan kepercayaan kepada para influencer, konten kreator, dan publik figur karena bantuan mereka dianggap ringkas, transparan, dan tepat sasaran.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Antara Aku yang Nyata dan Aku di Dunia Maya
MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum Pengadaan Kesempatan Kerja untuk Penyandang Disabilitas
MAHASISWA BERSUARA: Bayangkan Saja NKK/BKK Berlaku Kembali

Donasi Publik Seharusnya Melengkapi

Fenomena ini menunjukkan satu hal penting yang menjadi bukti nyata bahwa ketika birokrasi berjalan lambat, kemanusiaan bergerak cepat. Masyarakat tidak menunggu instruksi untuk peduli, karena rasa empati tidak membutuhkan tanda tangan pejabat atau protokol administratif. Kesediaan publik untuk turun langsung menjadi bukti bahwa kepercayaan sosial jauh lebih kuat daripada formalitas politik.

Namun, solidaritas publik sebesar ini bukan hanya ekspresi welas asih. Ia juga bentuk kritik sosial yang halus tetapi tegas, karena rakyat menuntut kehadiran negara yang nyata, bukan sekedar narasi konferensi pers. Bencana bukan panggung pencitraan, melainkan ujian moral bagi keberpihakan pemerintah.

Negara tidak boleh lepas tangan dengan dalih masyarakat bisa bergerak sendiri. Donasi publik seharusnya melengkapi, bukan menggantikan tugas negara dalam penyelamatan, pemulihan, dan mitigasi. Komunikasi bencana yang efektif membutuhkan kejujuran, kecepatan, dan koordinasi lintas lembaga bukan sekadar slogan “pemerintah hadir”.

Tragedi di Sumatra memberikan pelajaran penting bahwa kepercayaan publik lebih rapuh daripada jembatan yang hilang di tengah arus sungai. Jika komunikasi bencana tetap setengah hati, krisis kepercayaan bisa menjadi bencana baru yang lebih berbahaya daripada banjir itu sendiri.

Di tengah puing dan lumpur, Indonesia kembali membuktikan bahwa kekuatannya bukan pada struktur kekuasaan, melainkan pada solidaritas warganya. Dan mungkin saja, di situlah Indonesia yang paling asli ditemukan. Karena bangsa ini selalu bangkit bukan karena siapa yang memimpin, tetapi karena siapa yang saling menggenggam tangan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//