MAHASISWA BERSUARA: Hidup di antara Banyak Ekspektasi, Mengurai Letih yang Tak Terucap
Mengakui kelelahan adalah bentuk kejujuran terhadap diri sendiri, sebuah langkah penting untuk memulihkan energi dan menjaga kewarasan.

Felyanah Dessy Cinthya Putri
Pengurus UKM LPM Dinamika UIN Raden Mas Said Surakarta
13 Desember 2025
BandungBergerak.id – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, setiap individu seolah-olah hidup dalam pusaran ekspektasi yang tiada henti. Ekspektasi itu datang dari berbagai arah: keluarga, lingkungan sosial, tempat kerja, bahkan dari diri sendiri. Tanpa disadari, tuntutan-tuntutan tersebut membentuk lingkaran yang kadang terasa terlalu sempit, mengekang napas, dan menyisakan letih yang jarang diakui. “Hidup di antara banyak ekspektasi" dan "mengurai letih yang tak terucap” bukan sekadar rangkaian kata, tetapi cerminan dari kenyataan yang dialami banyak orang, terutama mereka yang belajar menjadi kuat di saat rapuh dan belajar tersenyum di balik rasa lelah.
Sejak kecil, banyak dari kita dibesarkan dengan standar tertentu tentang bagaimana seharusnya hidup dijalani. Orang tua menginginkan anaknya sukses, berprestasi, dan menjadi versi terbaik dari apa yang mereka bayangkan. Namun, ekspektasi itu tidak selalu selaras dengan kemampuan maupun keinginan anak. Ketika seorang anak tumbuh dengan tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik, ia belajar bahwa kegagalan bukanlah pilihan. Padahal, kegagalan adalah sesuatu yang manusiawi, bagian dari proses belajar yang justru membentuk ketangguhan. Namun demikian, tekanan untuk selalu tampil sempurna perlahan menanamkan rasa takut terhadap kesalahan, sehingga setiap langkah hidup terasa seperti ujian.
Memasuki usia dewasa, ekspektasi itu tidak lantas berkurang. Dunia kerja menghadirkan tuntutan baru berupa target, kompetisi, dan standar profesionalisme yang kadang mengabaikan batas kemampuan manusia. Banyak orang berusaha keras untuk terus produktif, sering kali mengorbankan kesehatan mental maupun fisik. Lembur dianggap normal, stres dianggap biasa, dan rasa lelah disamarkan agar tidak terlihat lemah. Lingkungan sekitar pun seakan-akan terbiasa melihat seseorang selalu dalam kondisi siap dan mampu, sehingga ketika letih datang, jarang ada ruang untuk mengakui bahwa diri sedang rapuh. Inilah letih yang tidak terucap, keadaan ketika seseorang dipaksa bertahan bahkan saat energinya hampir habis.
Di sisi lain, ekspektasi juga lahir dari media sosial yang menampilkan kehidupan “sempurna” orang lain. Setiap unggahan memicu perbandingan: mengapa hidup orang lain terlihat lebih mulus, lebih bahagia, lebih berhasil? Ketika standar kebahagiaan dibentuk oleh apa yang terlihat di layar, banyak orang merasa tertinggal. Mereka mengejar pencapaian yang tidak selalu mereka inginkan, hanya demi memenuhi standar sosial yang tidak nyata. Akibatnya, rasa lelah semakin menggunung, namun sulit diungkapkan karena takut dinilai tidak cukup berusaha.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum Pengadaan Kesempatan Kerja untuk Penyandang Disabilitas
MAHASISWA BERSUARA: Bayangkan Saja NKK/BKK Berlaku Kembali
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Solidaritas Digital Mengalahkan Birokrasi Negara
Tidak Semua Beban Harus Ditanggung Sendiri
Ekspektasi dari diri sendiri terkadang menjadi beban paling berat. Kita menuntut diri untuk lebih kuat, lebih kompeten, dan lebih produktif. Bahkan saat tubuh butuh istirahat, ada suara dalam diri yang berkata, “Kamu harus bisa lebih.” Standar pribadi yang terlalu tinggi dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lingkaran overthinking dan penilaian diri yang berlebihan. Ketika hasil yang dicapai tidak sesuai harapan, rasa gagal muncul, padahal yang kurang bukan kemampuannya, tetapi standar yang dipasang terlalu tinggi untuk dipenuhi. Pada titik tertentu, seseorang bisa merasa kehilangan jati diri karena terlalu sibuk menjadi versi yang diinginkan orang lain dan lupa menjadi diri sendiri.
Mengurai letih yang tidak terucap bukan berarti menyerah pada keadaan. Sebaliknya, itu adalah proses menerima bahwa manusia memiliki batas, dan batas itu bukan kelemahan. Mengakui kelelahan adalah bentuk kejujuran terhadap diri sendiri, sebuah langkah penting untuk memulihkan energi dan menjaga kewarasan. Terkadang yang dibutuhkan bukan solusi besar, melainkan keberanian untuk berhenti sejenak, mengambil napas panjang, dan berkata, “Aku butuh waktu.”
Mencari ruang aman untuk bercerita juga menjadi cara penting dalam meredakan tekanan. Tidak semua beban harus ditanggung sendiri; berbagi cerita dapat membuka kesempatan menemukan perspektif baru. Selain itu, penting untuk mengatur ulang ekspektasi, baik dari luar maupun dari diri sendiri. Mengingat bahwa setiap orang memiliki ritme dan jalannya masing-masing dapat membantu meredakan dorongan untuk selalu mengejar standar yang tidak realistis.
Pada akhirnya, hidup di antara banyak ekspektasi memang melelahkan, tetapi bukan sesuatu yang tidak dapat dihadapi. Ketika seseorang belajar untuk mendengarkan diri sendiri, menetapkan batas yang sehat, dan menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari kehidupan, maka ekspektasi tidak lagi menjadi beban yang menekan, melainkan pedoman yang bisa disesuaikan. Letih itu tetap ada, tetapi tidak lagi tersembunyi, ia dapat diurai, dipahami, dan perlahan dilampaui.
Di dunia yang serba cepat ini, keberanian terbesar bukanlah selalu kuat, tetapi berani mengakui bahwa diri juga manusia biasa. Dan dalam pengakuan itulah seseorang menemukan kesempatan untuk sembuh, tumbuh, dan akhirnya menjalani hidup yang lebih jujur pada diri sendiri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

