MAHASISWA BERSUARA: Biomimikri dalam Arsitektur Bukan Sekadar Romantisasi Alam
Biomimikri bukan sekadar replikasi bentuk visual alam, melainkan imitasi terhadap efisiensi kinerja sistem alami yang minim limbah terkait pencemaran lingkungan.

Alva Edison
Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
16 Desember 2025
BandungBergerak.id – Keberadaan alam yang lebih lama di dunia ini, menjadi tanda bahwa alam hadir sebagai guru bagi manusia. Arsitek mampu menciptakan sistem bangunan dengan inspirasi dari alam melalui strategi biologis yang telah teruji selama miliaran tahun. Melalui inspirasi tersebut, arsitek tidak hanya meniru desain alam begitu saja, namun arsitek harus memikirkan pengaruh desain terhadap lingkungan sekitar, seperti efisiensi energi dan bangunan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Meniru desain bangunan dari alam sama saja menerapkan ilmu biomimikri dalam arsitektur. Pendekatan biomimikri harus diakui sebagai solusi masa depan, melalui kolaborasi desain bangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, biomimikri bukan sekadar pilihan estetika, melainkan perintah mendesak yang menjamin keberlangsungan peradaban manusia melalui infrastruktur yang berkelanjutan.
Biomimikri dalam arsitektur tidak hanya meniru apa yang dipandang mata, tetapi juga diperlukan peninjauan secara langsung terkait aspek lingkungan dan kebutuhan material suatu bangunan. Esensi utama dari biomimikri bukanlah sekadar replikasi bentuk visual, melainkan imitasi terhadap efisiensi kinerja sistem alami yang minim akan limbah terkait pencemaran lingkungan.
Banyak sekali ditemukan bangunan yang memiliki konsep biomimikri berkelanjutan, namun memiliki efek negatif yang tidak selaras dengan dasar konsep berkelanjutan. Efek negatif yang dimaksud merujuk pada Beijing National Stadium. Bangunan ini menggunakan desain sarang burung sebagai keseluruhan tampak atau fasad bangunan. Bagi masyarakat awam akan terlihat indah dan unik, namun arsitek berpandangan lain. Desain fasad tersebut membutuhkan rangka baja raksasa yang saling bertumpuk dan tidak beraturan, sudah sangat jelas bahwa proses pembuatannya menelan biaya yang fantastis, dikutip dari Case Study on Beijing National Stadium: Bird Nest Olympic Stadium oleh Mehta dkk. (2019), biaya yang harus dibayarkan untuk mencukupi kebutuhan material tersebut sebesar 8 juta dolar. Selain proses pembangunan yang tergolong tinggi, kompleksitas ini membuat biaya operasional meningkat, terutama pada proses pembersihan ketika cuaca sedang ekstrem dan perbaikan pada karat akibat oksidasi baja ketika polusi udara meningkat. Kondisi ini menegaskan bahwa desain tersebut gagal mengadopsi prinsip adaptasi organisme hidup yang seharusnya mampu merawat diri sendiri (self-maintenance) dengan energi minimal.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Arsitektur Kolonial yang Lebih Berkelanjutan untuk Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Membuang-buang Ruang, Jakarta Tidak Siap dengan Arsitektur Defensif
MAHASISWA BERSUARA: Membangun tanpa Merusak, Arsitektur Hijau Solusi di Masa Mendatang
Solusi Biomimikri yang Berkelanjutan
Data menunjukkan bahwa proyek bangunan setidaknya mengonsumsi 32 persen dari sumber daya alam di bumi dan menghasilkan 40 persen sampah serta 40 persen pencemaran udara (Roaf, 2005 dalam Nugroho, 2011). Hasil persentase menunjukkan adanya korelasi antara konstruksi bangunan dengan kondisi pemicu pemanasan global. Oleh karena itu, desain biomimikri mampu dan perlu berkontribusi untuk mengatasi pemanasan global, terutama pada pencemaran udara melalui optimalisasi ventilasi alami dan hubungan langsung dengan ruang terbuka. Optimalisasi ventilasi yang mengadopsi prinsip aliran udara alami, membuat bangunan dapat "bernapas" secara mandiri sehingga secara tidak langsung mampu mengurangi ketergantungan pada pendingin buatan yang menyumbang emisi karbon. Selain itu, tiap-tiap rongga bangunan yang masif sangat diperlukan untuk menciptakan kenyamanan termal dan memungkinkan pertukaran udara yang lebih sehat sehingga ruang dalam bangunan tidak terasa pengap. Melalui integrasi antara sirkulasi udara pasif dan ruang terbuka hijau, akan tercipta fungsi ganda, yaitu menurunkan konsumsi energi operasional bangunan sekaligus mereduksi efek panas suatu kawasan secara signifikan.
Pendekatan biomimikri berpengaruh besar diterapkan di negara-negara dengan iklim yang ekstrem, seperti pada suhu yang tinggi maupun rendah. Persoalan yang rumit ini terbilang mustahil, menurut arsitek Mick Pearce melalui karya Eastgate Centre di Harare yang mampu mengendalikan suhu interior agar melekat pada kenyamanan termal manusia meskipun kondisi suhu eksterior tergolong tidak stabil. Prinsip biomimikri terinspirasi dari sarang rayap yang sangat masif ditemukan di Afrika. Melalui penerapan tersebut, dapat diciptakan ventilasi alami dari segala rongga ruang sehingga meniadakan kebutuhan AC (Air Conditioner). Pada siang hari, suhu panas disalurkan ke cerobong atas secara vertikal, namun pada malam hari, suhu dingin dinetralkan oleh material-material bangunan yang mampu menyerap dan menahan panas dengan baik waktu siang hari, seperti batu bata, beton merah, dan batu alam.
Perbandingan antara Beijing National Stadium dengan Eastgate Centre dapat dilihat pada aspek fungsional desain, di mana penerapan biomimikri Eastgate Centre tidak hanya berhenti pada desain fasad atau tampak bangunan, namun terdapat penggunaan material struktural yang cocok dengan kondisi bangunan di daerah tropis sehingga biaya operasional dan biaya pembuatan akan lebih terealisasikan dengan maksimal. Berkat strategi dan inovasi tersebut, fluktuasi suhu di luar ruangan dapat diredam, peredaman tersebut menjaga suhu interior tetap stabil di kisaran nyaman tanpa bantuan energi listrik. Dengan penghematan energi dan biaya pembuatan maupun operasional, penciptaan kenyamanan dengan sirkulasi dan suhu yang stabil, serta pengurangan emisi karbon yang signifikan menunjukkan bahwa Eastgate Centre perlu menjadi contoh bagaimana arsitektur biomimikri dapat mendukung keberlanjutan lingkungan di masa depan.
Banyak bangunan biomimikri gagal selaras dengan alam di sekitarnya karena pencemaran yang ditimbulkannya. Fenomena ini sering kali muncul akibat penerapan "biomimikri dangkal", di mana arsitek hanya meniru estetika organik tanpa mengadopsi efisiensi kinerja alam yang sesungguhnya, sehingga justru menambah beban jejak karbon dalam proses konstruksinya. Para arsitek diharapkan untuk kritis dalam menciptakan solusi biomimikri yang berkelanjutan, namun tetap relevan dengan biaya serta kenyamanan bagi manusia. Tantangan ini menuntut integrasi antara desain pasif dengan material agar eksistensi bangunan dapat menyaingi efisiensi ekosistem alami tanpa mengorbankan kelayakan ekonomi. Atas dasar analisis arsitektur yang bijak dan pemikiran yang bertanggung jawab, penerapan konsep biomimikri sangat relevan untuk menjadi solusi arsitektur masa depan demi mewujudkan bangunan yang berkelanjutan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

