MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Arsitektur Kolonial yang Lebih Berkelanjutan untuk Bandung
Arsitektur kolonial telah memberikan solusi dan cara yang baik dalam menerapkan arsitektur berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi.
Teresa Nigrita Pangkey
Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
21 Januari 2024
BandungBergerak.id – Gaya arsitektur kolonial perlu diterapkan kembali di Indonesia sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap arsitektur berkelanjutan. Arsitektur kolonial Belanda telah menerapkan awal konsep arsitektur berkelanjutan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ketahanan bangunan bersejarah buatan Belanda yang masih bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun, meski dengan maintenance yang minimal.
Awalnya, banyak bangunan-bangunan peninggalan Belanda dihancurkan dalam rangka membersihkan Indonesia dari corak-corak penjajahan. Dalam beberapa tahun terakhir, gaya arsitektur kolonial kembali terangkat akibat globalisasi dan gerakan estetis apresiatif terhadap sisi sejarah, serta potensi estetis dan ekologis dari gaya arsitektur tersebut.
Bangunan kolonial Belanda dibangun dengan metode yang lebih konservatif, di mana metode ini diterapkan dalam konstruksi bangunan monumental yang memang ditujukan agar dapat bertahan puluhan bahkan hingga ratusan tahun.
Pada masanya, bangunan jenis ini dikonstruksikan dengan menggunakan batu bata khas bersifat keras dan awet disebut winker yang didatangkan langsung dari Belanda. Kebanyakan bangunan modern memiliki standar ketebalan dinding setebal kurang lebih 15 sentimeter, pada bangunan era kolonial tebal dinding dapat berada para kisaran 60 hingga 100 sentimeter.
Dinding yang tebal mampu melindungi struktur inti dari berbagai jenis iklim, mengingat Belanda merupakan negara subtropis yang memiliki 4 musim yang terus berubah-ubah sepanjang tahun, bangunan ini cocok diterapkan di Bandung. Mengingat fakta bahwa Bandung merupakan kota yang didesain dan dibangun dari nol oleh pemerintahan Belanda pada masa kedudukan Belanda di Indonesia semakin mendukung teori bahwa bangunan dan konstruksi kolonial sangat cocok untuk diterapkan dan digunakan kembali dalam konstruksi bangunan di medan dan wilayah Bandung yang curam dan memiliki suhu serta cuaca yang variatif.
Baca Juga: Sulitnya Melestarikan Arsitektur Nusantara di Masa Kini
MAHASISWA BERSUARA: Arsitektur Hijau Indonesia, Realitas atau Jargon Belaka?
MAHASISWA BERSUARA: Membedah Penerapan Arsitektur Vernakular pada Restorasi Rumah Adat Mbaru Niang
Sustainable Architecture
Bangunan era kolonial sendiri memiliki desain yang tak lekang waktu dan hal ini dapat dilihat dari terangkat kembalinya gerakan apresiatif terhadap estetika nuansa Belanda yang sudah diakulturasikan dengan corak lokal hingga mendefinisikan istilah vintage building di Indonesia. Desain dengan ventilasi tinggi yang menyebabkan ruangan dalam bangunan tetap sejuk dalam cuaca panas sehingga dapat meminimalisir penggunaan pendingin ruangan. Bangunan dan arsitektur kolonial Belanda tanpa disadari telah memulai gerakan sustainable architecture jauh sebelum gerakan tersebut mulai dikembangkan pada awal abad 20.
Walau biaya konstruksi bahan dan pembangunan cenderung memakan lebih banyak waktu dan biaya, namun bangunan yang menerapkan sistem konstruksi konservatif seperti bangunan pada era kolonial mampu bertahan hingga jangka waktu yang sangat panjang tanpa memerlukan renovasi berkala yang juga dapat meminimalisir limbah konstruksi dikarenakan minimnya struktur bangunan yang perlu diperbaiki akibat ketahanan bangunan itu sendiri. Minimnya limbah yang dihasilkan, menyebabkan produksi bahan bangunan dapat terkendali dan limbah keluaran dapat dikelola dengan lebih baik, arsitektur kolonial telah memberikan solusi dan cara yang baik dalam menerapkan arsitektur berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi.
Berada di daerah pegunungan, Bandung memiliki iklim yang lembap dan sejuk serta curah hujan yang cukup tinggi. Selain cuaca yang lembap, tanah pegunungan yang keras memungkinkan terbangunnya konstruksi bangunan yang berat berdinding tebal seperti bangunan kolonial. Akhir-akhir ini pun iklim Bandung bergeser ke arah yang lebih lembap panas akibat pemanasan global yang mengakibatkan range suhu dan cuaca di Bandung menjadi lebih ekstrem dan variatif. Bangunan kolonial merupakan bangunan yang cocok ditempatkan di daerah yang memiliki iklim dan suhu yang variatif sepanjang tahunnya karena aspek tahan cuacanya. Dinding yang tebal, terbuat dari batu bata berkualitas, memiliki struktur rangka yang kokoh dan tidak mudah keropos oleh cuaca, hal ini menjadikan bangunan arsitektur kolonial cocok untuk digunakan di daerah Bandung.
Konstruksi dan adaptasi desain bangunan era kolonial harus di kembangkan kembali agar dapat diaplikasikan pada lebih banyak jenis bangunan, bukan hanya hunian atau bangunan monumental, namun juga pada perkantoran, restoran, cafe, penataan kota, serta ruang publik lainnya. Bangunan kolonial pun harus semakin mengakulturasikan diri dengan arsitektur dan corak lokal yang tidak menghilangkan aspek konstruksi konservatifnya.
Adaptasi bangunan dan konstruksi bangunan era kolonial dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan cabang-cabang arsitektur berkelanjutan lainnya, mencari cara dan alternatif untuk menekan biaya pembangunan dan material yang asalnya memang lebih memakan banyak biaya jika dibandingkan dengan konstruksi modern, agar dapat menghasilkan bangunan dengan biaya yang sebanding dengan kualitas bangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan bebatuan gunung yang berada di sekitar wilayah Bandung. Dengan demikian telah dijabarkan bahwa bangunan konstruksi era kolonial merupakan bangunan tahan iklim ekstrem dan menjadi solusi bangunan hemat energi yang cocok diterapkan metode pembangunannya di sekitar wilayah Bandung yang lembap dan memiliki cuaca yang variatif setiap tahunnya.