• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Arsitektur Hijau Indonesia, Realitas atau Jargon Belaka?

MAHASISWA BERSUARA: Arsitektur Hijau Indonesia, Realitas atau Jargon Belaka?

Sebagian besar gedung komersial dan perkantoran di Indonesia belum tersertifikasi sebagai bangunan ramah lingkungan.

Rasheed Putranto Setiawan

Mahasiswa Teknik Prodi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Mal di Bandung, Rabu (11/8/2021). Konsep bangunan ramah lingkungan akan mengurangi pemakaian energi listrik seminimal mungkin. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Januari 2024


BandungBergerak.id – Sebagai salah satu elemen penting dalam pembentukan perkotaan, keberadaan bangunan tentunya menimbulkan beban lingkungan yang cukup besar. Tujuannya adalah untuk memperhitungkan keragaman aktivitas manusia sedemikian rupa sehingga konsumsi sumber daya dan timbulnya limbah tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, sertifikasi lingkungan hidup pada bangunan gedung di Indonesia menjadi sangat penting  mengingat semakin meningkatnya perkembangan konstruksi khususnya bangunan gedung.

Bila menilik dari sudut pandang kebijakan publik, prinsip-prinsip dasar bangunan ramah lingkungan telah banyak dikembangkan baik melalui peraturan yang bersifat mandatori atau wajib maupun alat penilaian sukarela atau sukarela. Berdasarkan peraturan di Indonesia, hanya beberapa daerah yang telah menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan, antara lain: Provinsi DKI Jakarta melalui Keputusan Gubernur No. 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau; dan Kota Bandung dengan Keputusan Walikota No. 1023 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung Hijau. Di tingkat nasional, Peraturan Menteri Konstruksi Umum dan Perumahan Rakyat No. 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Ramah Lingkungan.

Melihat kesadaran masyarakat di Indonesia, bangunan ramah lingkungan masih dianggap mahal karena biaya investasi awalnya sering kali relatif tinggi. Hal ini menumbuhkan kesadaran untuk menerapkan bangunan ramah lingkungan hanya untuk meningkatkan nilai properti, bukan untuk mengubah kebiasaan berpikir dan berperilaku ketika membangun dan memelihara sebuah bangunan.

Ada beberapa alasan moral untuk memasukkan isu kelestarian lingkungan hidup dalam pembangunan. Alasan moral ini berkisar dari antroposentris hingga ekosentris.

Skala antroposentris adalah tujuan moral yang berbicara tentang bagaimana isu lingkungan berkelanjutan mempengaruhi manusia. Pada saat yang sama, skala ekosentris merupakan tujuan moral yang menunjukkan bagaimana permasalahan lingkungan berkelanjutan mempengaruhi lingkungan itu sendiri. Misalnya, jika penggunaan kayu bersertifikat dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap dampak penggundulan hutan terhadap manusia, maka alasan tersebut merupakan alasan moral dalam skala antroposentris. Sebaliknya, jika penggunaan kayu bersertifikat untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati hutan, maka hal ini merupakan alasan moral dalam skala ekosentrisitas.

Tanpa bermaksud untuk meminimalkan alasan moral dalam skala ekosentris, tidak adanya regulasi pemerintah membuat alasan antroposentris menjadi lebih efektif. Hal ini tentu saja karena skala ekosentris berbicara pada tataran filosofis.

Baca Juga: Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia
Apakah Penerapan Arsitektur Organik Efektif Mengurangi Pemanasan Global?
Aplikasi Arsitektur Hijau Berkelanjutan dalam Pembangunan Perkantoran

Bangunan Ramah Lingkungan

Dengan meningkatnya nilai karakteristik bangunan ramah lingkungan, hal sebaliknya terjadi pada bangunan yang tidak memiliki fitur ramah lingkungan. Menurut Carbon Intelligence yang berbasis di London, nilai bangunan tua dengan jejak karbon tinggi akan menurun hanya dalam lima tahun. Mirip dengan makanan organik, sertifikat bangunan ramah lingkungan adalah cara mudah untuk menunjukkan keramahan lingkungan suatu bangunan.

Selain sertifikasi wajib, Indonesia memiliki alat penilaian sukarela melalui GBCI (Green Building Council Indonesia). GBCI meluncurkan program sertifikasi GREENSHIP, sebuah alat penilaian dengan kriteria yang dirancang untuk menerapkan prinsip-prinsip bangunan ramah lingkungan pada setiap tahap siklus hidup sebuah bangunan. Mengingat pencapaian alat penilaian ini bersifat sukarela, maka tingkat kesulitan pertemuan dengan pemilik dan tim proyek lebih tinggi dari peraturan wajib.

Negara tetangga kita juga mempunyai organisasi yang hampir sama dengan kita di Indonesia yaitu SGBC (Singapore Green Building Council). Secara umum perbedaan SGBC dan GBCI terletak pada kategori bangunan SGBC yang lebih spesifik dan di luar negeri terdapat kategori bangunan dimana dalam GBCI hanya terbatas pada residensial, non residensial dan residensial serta tidak ada peraturan tentang bangunan gedung.

Perbedaan yang paling terlihat adalah pada bobot kategori, di mana pada SGBC bobot kategori energi sangat tinggi yaitu mencapai 61%, sedangkan pada GBCI hanya 25,7%. Pada saat yang sama, prioritas atau skala nilai kedua SGBC adalah perlindungan lingkungan, sedangkan untuk GBCI adalah penggunaan dan penyimpanan air.

Dibandingkan dengan Singapura, bangunan di Indonesia cenderung tertinggal dalam hal konservasi dan efisiensi energi. Pasalnya, sebagian besar gedung komersial dan perkantoran di Indonesia belum tersertifikasi sebagai bangunan ramah lingkungan. Hanya 34 bangunan hemat energi yang dikenal di Indonesia. Faktanya, terdapat 450 gedung bertingkat yang beroperasi di Jakarta saja. Menurut perusahaan konsultan manajemen Solidiance, Singapura menduduki peringkat 10 kota konstruksi paling ramah lingkungan di dunia pada tahun 2016. Negara kepala singa ini merupakan kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Badan ini mengevaluasi empat kriteria, yaitu lanskap perkotaan, efisiensi dan efektivitas bangunan ramah lingkungan, tujuan dan kebijakan bangunan ramah lingkungan, serta budaya dan lingkungan perkotaan. Sekitar 48 persen bangunan di Singapura bersertifikasi “hijau”, menurut laporan Solidiance. Selain itu, perolehan skor pada kategori budaya dan lingkungan sebesar 19,49 persen. Pada tahun 2030, Singapura bahkan menargetkan 80 persen bangunannya mendapat sertifikasi “hijau”.

Bahkan, Indonesia juga bisa membangun lebih banyak bangunan ramah lingkungan. Pertama, agar pengelolaan energi efektif, mentalitas atau budaya masyarakat harus diubah. Selain itu, individu, pemilik rumah, pemilik gedung, pengelola hotel, dan pengelola usaha juga harus sadar dan siap menerapkan program efisiensi energi.

Kasus Indonesia

Salah satu upaya Indonesia untuk meningkatkan derajat dan kesejahteraan masyarakat adalah dengan pengembangan IKN Nusantara yang menerapkan konsep smart forest city untuk menerapkan konstruksi hijau pada bangunan-bangunan masa depan di sana.

Pemerintah Indonesia telah memutuskan bahwa dalam pengembangan IKN Nusantara ke depannya akan mengedepankan konsep konstruksi ramah lingkungan pada bidang infrastruktur. Namun penerapan konstruksi ramah lingkungan juga harus didukung oleh infrastruktur yang memadai dan didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan, seperti sarana transportasi. Oleh karena itu, pemerintah juga merencanakan 80% lalu lintas IKN Nusantara adalah angkutan umum dan tidak menggunakan bahan bakar fosil.

Desain green building ini tentunya akan memberikan nilai positif bagi masyarakat Indonesia untuk mengatasi krisis iklim yang terjadi saat ini. Namun perencanaan tersebut harus didukung oleh perilaku dan pola pikir masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan iklim demi tercapainya pembangunan IKN Nusantara yang berkelanjutan.

Sangat penting untuk memahami mengapa dan bagaimana bangunan ramah lingkungan diterapkan dalam konteks menjawab tantangan yang ada. Dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap prinsip-prinsip bangunan ramah lingkungan, maka diharapkan instrumen peraturan yang bersifat mengikat akan semakin mantap kedudukannya. Pada saat yang sama, industri pembangunan rumah semakin berkompetisi secara sukarela untuk mengubah cara berpikir dan berperilaku dalam hal konstruksi. Kedua pendekatan ini diharapkan berkontribusi tidak hanya pada kepatuhan terhadap peraturan atau pencarian fitur “hijau”, namun juga menjadikan bangunan ramah lingkungan menjadi “biasa” atau praktik dalam dunia konstruksi.

Seiring berkembangnya arsitektur hijau di dunia, Indonesia mulai menyadari bahwa perkembangan tersebut dapat memberikan manfaat bagi Indonesia baik secara antroposentris maupun eksosentris. Green building merupakan gerakan moral yang dapat membangun infrastruktur yang lebih maju dan aman di masa depan dengan persyaratan dan hak paten yang lebih matang sehingga menjadikan green building sebagai pendongkrak status perekonomian negara.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//