• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membuang-buang Ruang, Jakarta Tidak Siap dengan Arsitektur Defensif

MAHASISWA BERSUARA: Membuang-buang Ruang, Jakarta Tidak Siap dengan Arsitektur Defensif

Jakarta sebagai ibukota negara terkesan ingin lebih protektif dengan fasilitas umumnya agar tidak rusak dan fungsinya berkelanjutan.

Aaqillah N. Alaine

Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Kursi pendek dengan penengah di Jalanan Blok M - Melawai, Jakarta Selatan. (Foto: Aaqillah N. Alaine)

31 Januari 2024


BandungBergerak.id – Jakarta sebagai kota metropolitan dan ibu kota negara diharapkan menyediakan fasilitas yang mengagumkan, tapi nyatanya Jakarta dihadapkan pada tantangan rancangan  arsitektur fasilitas umum yang tidak efisien dan defensif. Pendekatan arsitektur defensif ini mungkin akan lebih diterima jika Jakarta memiliki tantangan serius berupa tunawisma aktif yang menggunakan narkoba, seperti yang dialami oleh kota New York, Amerika Serikat.

Namun, pada konteks Jakarta yang berbeda, gaya desain arsitektur defensif pada fasilitas umum tampak tidak relevan dan dapat menciptakan kesan mengusir. Oleh karena itu, penekanan pada desain yang lebih responsif terhadap kondisi sosial kota Jakarta menjadi esensial untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan ramah masyarakat.

Baca Juga: Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak
Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat
MAHASISWA BERSUARA: Ruang Publik yang Menolak Penggunanya

Membandingkan New York dan Jakarta

Dijuluki sebagai “American Dream”, kota New York, Amerika Serikat, mengimplementasikan gaya desain defensif terhadap fasilitas publiknya untuk mengusir tunawisma yang berkeliaran. Terdengar kejam, hanya saja fasilitas publik defensif ini dapat mengusir tunawisma yang tidak jarang membuat warga resah karena keaktifannya dalam menggunakan narkoba di pinggir jalan.

Kota New York dihiasi dengan bangku dengan banyak hand rest sehingga tiada ruang untuk selonjoran, atau bahkan stasiun kereta bawah tanah sudah tidak ada bangku untuk menunggu kereta yang ada hanya tempat sandaran agar tidak dapat diduduki oleh semua orang. Fakta bahwa 1 dari 83 orang di New York tidak memiliki tempat tinggal dan sebagian besar memilih tidur di jalanan serta menolak bantuan rehabilitasi atau penampungan menjadi latar belakang bagi diterapkannya arsitektur defensif ini.

Meskipun demikian, Amerika Serikat memiliki warga-warga yang dermawan dan aktif dalam gerakan sosial, tidak sulit untuk menemukan bantuan-bantuan tersebut. Pemanfaatan arsitektur defensif di New York tersebut tak sekadar mengusir, namun mendorong para tunawisma agar mau dan bersedia menerima bantuan sosial. Bertujuan untuk mengusir tunawisma berujung mengusir semua orang, arsitektur defensif terbukti kurang efektif dalam perannya sebagai solusi.

Di Jakarta, penggunaan arsitektur defensif salah satunya bisa dilihat di daerah Blok M, Jakarta Selatan, dengan pemasangan bangku rendah yang dipisahkan oleh hand railing di tengahnya. Juga di pesisir Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, juga dihiasi dengan bangku ceper dan miring. Bangku-bangku tersebut tampaknya bekerja lebih seperti hiasan yang tidak ada fungsinya.

Jika memang dirancang untuk mengancam, hanya saja, mengancam kenyamanan siapa? Daripada merancang instalasi sebagai solusi yang tidak efektif, lebih wajar apabila pemerintah fokus dengan revitalisasi taman yang sudah tidak layak untuk digunakan.

Fasilitas umum sering kali dimanfaatkan oleh tunawisma yang membawa gerobak atau ojek online untuk beristirahat saat waktu senggang mereka. Bangku-bangku rendah ini digunakan oleh orang-orang yang merintis rezeki, bukan orang-orang anarkis. Tidak seperti kota New York, tunawisma di sini lebih mementingkan pangan dibanding obat-obatan sehingga arsitektur defensif memberikan kesan yang kurang empati.

Tujuan merancang seharusnya agar dapat bermanfaat untuk seluruh orang, bukan hanya untuk golongan tertentu. Jika tujuannya adalah untuk mengusir orang yang dianggap jahat, maka pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya yang dianggap sebagai "orang jahat" - pengguna fasilitas atau perancang arsitektur itu sendiri?

Kursi rancangan arsitektur defensif di sepanjang jalanan Sudirman, Jakarta Pusat. (Foto: Aaqillah N. Alaine)
Kursi rancangan arsitektur defensif di sepanjang jalanan Sudirman, Jakarta Pusat. (Foto: Aaqillah N. Alaine)

Lebih Penting Fasilitas Umum yang Inklusif

Dari seluruh contoh yang dapat ditemukan dengan mudah di kota Jakarta, isu yang sama tidak dapat ditemukan di kota Bandung. Jakarta memang lebih lengkap dalam halnya sarana publik yang dapat diakses oleh seluruh orang, tetapi beberapa rancangannya berkata sebaliknya. Sedangkan di kota Bandung tidak memiliki rancangan fasilitas yang terkesan defensif sehingga fasilitas-fasilitasnya terbuka untuk seluruh warga.

Walaupun kedua kota ini adalah kota terbesar dan terpadat di Indonesia, tapi harus diakui bahwa Jakarta sebagai ibukota memiliki pertimbangan akan rancangan tata kotanya. Sebagai ibukota negara, Jakarta terkesan ingin lebih protektif dengan fasilitas umumnya agar tidak rusak dan fungsinya berkelanjutan. Tetapi apabila kota-kota besar Indonesia lainnya tidak menerapkan rancangan seperti ini, mungkin Jakarta juga seharusnya lebih memprioritaskan revitalisasi dibanding inovasi yang kurang dapat digunakan.

Kota Jakarta dapat dikatakan sudah cukup baik dalam hal sarana defensifnya, sehingga anggaran yang dialokasikan seharusnya lebih baik digunakan untuk memperbaiki fasilitas yang ada daripada merancang hiasan yang tidak berfungsi sepenuhnya. Penting untuk tidak hanya fokus pada aspek estetika dan meninggalkan fungsi pakainya.

Tata kota yang unggul dapat dicapai dengan memprioritaskan pengembangan sarana publik yang bermanfaat bagi orang sekitarnya, dan bukan hanya dengan menciptakan sarana-sarana yang bersifat munafik tanpa memikirkan kegunaannya. Melalui hal ini, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama untuk mengubah paradigma penataan kota, agar dapat memberikan hasil positif jangka panjang bagi semua orang. Kota yang unggul adalah kota yang dipenuhi dengan sarana publik, bukan sarana munafik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//