• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ruang Publik yang Menolak Penggunanya

MAHASISWA BERSUARA: Ruang Publik yang Menolak Penggunanya

Penggunaan desain hostile architecture dalam ruang publik menunjukkan hilangnya esensi dari sebuah ruang publik yang berpusat pada manusia sebagai penggunanya.

Joshua

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Siswi bercengkerama di Taman Lansia, Bandung, sepulang sekolah, Selasa (31/5/2022). Taman Lansia salah satu ruang publik yang dipasang sifi gratis. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 Januari 2024


BandungBergerak.id – Strategi hostile architecture telah diterapkan sejak abad ke-19 sebagai metode desain yang membatasi perilaku atau pengguna tertentu untuk menggunakan sebuah fasilitas. Biasanya, kelompok masyarakat tunawisma dan pemuda menjadi strategi desain ini. Seiring berjalannya waktu, desain hostile ini semakin banyak digunakan di seluruh dunia dan sering kali menjadi sebuah dasar permasalahan oleh berbagai pihak.

Bentuk-bentuk fasilitas umum dengan desain hostile sering kali menghilangkan esensi dari ruang publik itu sendiri. Bentuk desain fasilitas yang tidak manusiawi dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi berbagai penggunanya sering kali menjadi alasan fasilitas umum tidak lagi banyak digunakan oleh kelompok masyarakat.

Melihat kembali tujuan awal dari strategi desain hostile architecture, apakah strategi desain ini benar-benar memiliki dampak positif terhadap permasalahan di wilayah kota? Dalam kenyataannya, penggunaan strategi hostile architecture tidak menuntaskan masalah pokok di wilayah perkotaan.

Baca Juga: Warga Bandung Kekurangan Ruang Publik Memadai
Ruang Publik di Bandung Cenderung Kaku dan Berjarak
Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat

Hostile Architecture Menghilangkan Esensi Ruang Publik

Sulitnya menemukan tempat untuk beristirahat saat menunggu jadwal penerbangan di bandara dan ketidaknyamanan saat duduk di ruang publik merupakan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa upaya menghilangkan aspek esensi kenyamanan dan keamanan pada fasilitas ruang publik dalam desain hostile architecture hanya akan berlaku terhadap seluruh penggunanya. Salah satu dari hal tersebut dapat terlihat pada aplikasi hostile architecture yaitu Camden Bench, di London.

Bentuk fasilitas dudukan publik ini didesain dengan dudukan yang miring dan bergelombang, dengan tujuan untuk membatasi para tunawisma dalam menggunakan area tersebut untuk berbaring. Namun, desain ini akhirnya juga berdampak terhadap kenyamanan pengguna dalam menggunakan fasilitas tersebut, terlebih lagi membatasi pengguna lanjut umur dan pengguna disabilitas. Akhirnya bentuk-bentuk fasilitas publik yang menerapkan desain arsitektur hostile berujung menjadi fasilitas yang enggan digunakan oleh masyarakat itu sendiri

Dalam buku The Social Logic of Space, Bill Hillier menyampaikan bahwa sebuah kelompok masyarakat terbentuk karena hadir dalam sebuah ruang yang menempatkan serta mempertemukan setiap individu untuk dapat memiliki hubungan satu sama lain. Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa aplikasi desain hostile architecture sangat bertolak belakang terhadap esensi dari kehadiran arsitektur publik sebagai ruang penghubung antar individu. Sebuah fasilitas ruang publik seharusnya mengundang dan menawarkan kenyamanan kepada seluruh penggunanya, menjadi wadah bagi berbagai individu untuk berkumpul dan menikmati fasilitas bersama. Dalam sebuah wawancara majalah The Big Issue, Professor Rowland Atkinson menyampaikan bahwa, “Munculnya upaya untuk membuat sebuah ruang yang lebih ‘aman’ akhirnya hanya menghasilkan ruang yang lebih anti-sosial”

Munculnya Segregasi Sosial yang Lebih Besar

Pembatasan akses fasilitas terhadap kelompok sosial tertentu secara jelas menunjukkan adanya pemisahan dan kesenjangan antar kelompok masyarakat. Tujuan dasar dari desain hostile architecture yang membatasi penggunaan dari kelompok masyarakat tertentu seperti masyarakat tunawisma memberikan anggapan dalam sebuah komunitas sosial bahwa ruang publik sama sekali tidak menginginkan kelompok tersebut untuk hadir. Melalui hal tersebut, akhirnya muncullah sebuah pengelompokan yang jelas antara pengguna yang layak dan pengguna yang tidak layak dalam menikmati sebuah fasilitas publik.

Bentuk hostile architecture menjadi sebuah bentuk pembentengan eksklusivitas yang sering kali tidak kita sadari, namun bagi para individu “lemah” yang bahkan tidak memiliki tempat untuk tidur, hal ini menjadi tamparan besar yang mengatakan bahwa mereka tidak diterima dalam komunitas sosial (Andersson, 2014: 58). Selain itu bentuk hostile architecture dalam ruang dan fasilitas publik juga menimbulkan adanya ketegangan yang lebih besar antara kelompok pemerintah dengan masyarakat, mengesankan adanya tindakan represif terhadap masyarakat tanpa mencari solusi bersama untuk masalah perkotaan.

Fokus pada Gejala, Bukan pada Akar Permasalahan

Upaya penggunaan desain hostile architecture sangat berfokus dalam membatasi adanya perilaku yang ditimbulkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Keberadaan kelompok masyarakat seperti tunawisma yang menggunakan area dudukan untuk tidur atau komunitas skateboard yang sering kali bermain di taman-taman publik menjadi sasaran dari bentuk desain ini untuk dibatasi aktivitasnya. Namun, hal tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah pokok yang ada dalam sebuah lingkungan.

Perilaku yang timbul tersebut sering kali muncul karena tidak adanya fasilitas yang mendukung kelompok masyarakat tertentu, sehingga akhirnya area fasilitas publik menjadi sebuah objek pelarian untuk memenuhi kebutuhan kelompoknya. Hostile architecture menghilangkan sisi kemanusiaan terhadap kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan bantuan daripada hukuman/pembatasan.

Jacobs (1961) mengatakan bahwa upaya penyelesaian terhadap area kumuh sering kali gagal karena berusaha untuk mengatasi masalah dengan “bermain-main” terhadap gejala dan tidak menghasilkan sebuah solusi yang signifikan dan berkelanjutan. Akhirnya, penggunaan hostile architecture hanya akan menggiring masyarakat miskin untuk berpindah sehingga menumpuk masalah dengan memindahkannya menuju bagian kota yang tidak “dilindungi” oleh strategi tersebut.

Pengaplikasian desain hostile architecture dalam ruang publik menunjukkan hilangnya esensi dari sebuah ruang publik yang berpusat pada manusia sebagai penggunanya. Hal ini tentunya tidak dapat menjadi jawaban dari permasalahan di perkotaan. Penyelesaian masalah dalam lingkungan perkotaan seharusnya lebih berfokus terhadap penemuan solusi yang manusiawi dan berkelanjutan. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya pembangunan fasilitas masyarakat yang merangkul dan membantu individu-individu di dalamnya untuk dapat berkembang.

Keberadaan balai atau pusat pengembangan untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat dapat menjadi sebuah contoh bagi solusi yang mampu mengatasi akar permasalahan itu sendiri secara manusiawi dan berkelanjutan. Sebaiknya, pemerintah dan masyarakat dapat mencari solusi bersama dalam menemukan solusi tertentu terhadap permasalahan yang ada.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//