• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membangun tanpa Merusak, Arsitektur Hijau Solusi di Masa Mendatang

MAHASISWA BERSUARA: Membangun tanpa Merusak, Arsitektur Hijau Solusi di Masa Mendatang

Arsitektur hijau menjadi solusi potensial untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Namun, penyalahgunaan “greenwashing” dapat merusak kepercayaan masyarakat.

Heindric Priatna

Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Arsitektur hijau. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

9 Februari 2025


BandungBergerak.id – Isu sosial yang sering terlihat di masa sekarang dapat berupa tantangan global mengenai perubahan iklim, polusi, serta penggunaan sumber daya yang terlalu berlebihan. Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu bumi seperti mencairnya es di kutub dan kenaikan permukaan air laut. Selain itu, isu seperti pertumbuhan populasi yang pesat juga dapat menimbulkan kebutuhan dalam pembangunan dalam jumlah besar. Sayangnya,  pembangunan ini sering kali dilakukan dengan cara yang merusak lingkungan, seperti penggunaan material yang tidak ramah lingkungan, pencemaran air, udara, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam menghadapi isu sosial dalam menciptakan lingkungan yang ramah lingkungan haruslah diselesaikan dengan arsitektur hijau.

Arsitektur hijau merupakan desain bangunan yang mengutamakan dan mengedepankan lingkungan sekitar untuk generasi di masa mendatang. Dalam arsitektur hijau, banyak digunakan elemen-elemen, seperti pencahayaan alami, material yang ramah lingkungan, serta penggunaan panel surya. Salah satu tujuan utamanya adalah dapat menciptakan bangunan yang nyaman untuk dihuni sekaligus dapat mengurangi dampak buruk yang disebabkan terhadap alam.

Selain manfaat lingkungan, arsitektur hijau tentunya membawa banyak sisi positif yang bermanfaat. Salah satunya seperti penghematan energi, kualitas udara yang membaik, pengurangan emisi karbon dioksida, dan sebagainya. Desain arsitektur hijau dapat memberikan dampak positif bagi sosial yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan alam.

Sayangnya, penerapan arsitektur hijau juga mempunyai sisi negatif, yaitu biaya awal yang mahal. Banyaknya teknologi yang canggih dan penggunaan material yang ramah lingkungan masih cukup tergolong mahal dibandingkan dengan metode konvensional. Belum lagi adanya kritik seperti “Greenwashing”. Selain itu, penerapan arsitektur hijau yang cukup sulit di daerah yang masih minim penghasilan dalam penggunaan material yang ramah lingkungan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mentalitas Adaptif Gen Z di Balik Stigma Generasi yang Lemah
MAHASISWA BERSUARA: Apakah JOMO Bisa Menjadi Solusi FOMO?
MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Otokritik Organisasi Mahasiswa, sebagai Agen Perubahan atau Ilusi Agen Perubahan?

Praktik Greenwashing yang Menyesatkan

Pembangunan dengan konsep arsitektur hijau pastinya memerlukan kesadaran masyarakat dalam menerapkan konsep arsitektur hijau. Salah satu tantangan utama dalam penerapannya adalah beberapa kumpulan para pebisnis yang mulai menganggap hal ini sebagai potensi dalam mencari keuntungan. Salah satu caranya yaitu melalui “Greenwashing”.

Menurut Chen, greenwashing adalah aktivitas pemasaran yang dilakukan perusahaan dengan mengatasnamakan produk ramah lingkungan. Tujuannya untuk membentuk persepsi konsumen bahwa perusahaan telah mempromosikan produk yang sustainable, padahal mereka tidak melakukannya.

Istilah greenwashing sendiri sebenarnya sudah ada sejak 1980-an dan diperkenalkan oleh aktivis Jay Westerveld dengan mengkritik kampanye “Save the Towel” yang dilakukan oleh banyak hotel. Kasus serupa juga terjadi pada perusahaan minyak dan gas Shell. Mereka mengklaim bahwa 12% dari belanja modalnya disalurkan untuk pengembangan energi terbarukan. Namun, sebenarnya hanyalah 1,5%. Hal ini dianggap sebagai bentuk penyesatan informasi yang serius.

Di Indonesia, penerapan greenwashing juga tidak jarang ditemukan. Nestlé, misalnya, mendapat kritik tajam dengan adanya produk kemasan air yang diklaim ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan plastik hingga 30%. Namun, klaim inilah yang terdengar positif, banyak yang menganggap sebagai bentuk dalam mengurangi dampak lingkungan secara keseluruhan. Kasus-kasus seperti inilah yang sering disalahgunakan demi meningkatkan prinsip tanpa memberikan kontribusinya terhadap lingkungan, sekaligus menyesatkan konsumen. Penggunaan strategi greenwashing dapat menyesatkan kepercayaan masyarakat dalam menerapkan gerakan arsitektur hijau yang ramah lingkungan. Sehingga, bukannya memberikan dampak yang positif bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi dapat memberikan dampak negatif yang berakhir menyesatkan.

Penerapan Konsep Arsitektur Hijau bagi Masyarakat Luas

Anggapan bahwa arsitektur hijau tidak hanya berfokus pada penggunaan teknologi canggih, tetapi juga mengedepankan konsep yang lebih efektif dan berkelanjutan, perlu dipahami dengan lebih mendalam. Konsep ini seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau pihak tertentu, tetapi juga memberikan dampak positif yang luas bagi masyarakat. Sebagai contoh, berbagai proyek di Indonesia telah berhasil menunjukkan peran penting arsitektur hijau dalam menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan kehidupan yang lebih baik. Namun, implementasi konsep ini harus diikuti dengan pengawasan yang ketat. Tanpa adanya kontrol yang tegas, ada potensi bagi beberapa pihak untuk mencari jalan pintas yang justru dapat merusak esensi dan tujuan utama dari arsitektur hijau itu sendiri. Oleh karena itu, perhatian yang serius terhadap penerapan dan pengawasan proyek-proyek arsitektur hijau sangat diperlukan agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal oleh seluruh masyarakat.

Selain itu, ada beberapa tantangan yang sering dihadapi oleh arsitek dalam mendesain bangunan hijau, terutama terkait dengan perbedaan kondisi iklim yang mempengaruhi desain bangunan tersebut. Bangunan hijau yang sesuai dengan iklim tropis, seperti di Indonesia, tentu berbeda dengan desain bangunan hijau untuk negara yang memiliki empat musim. Perbedaan ini mencakup berbagai aspek, seperti pengaturan ventilasi alami, pemilihan bahan bangunan ramah lingkungan, serta penyesuaian terhadap suhu dan kelembaban yang khas pada masing-masing iklim. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan faktor iklim lokal dalam perancangan bangunan hijau agar konsep yang dihasilkan lebih efisien, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat.

Di sisi lain, arsitektur hijau dianggap sebagai solusi yang potensial untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas, seperti yang telah diterapkan di berbagai negara berkembang. Misalnya, negara-negara dengan empat musim dapat menerapkan konsep arsitektur hijau dengan baik, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Bagi negara tropis seperti Indonesia, penerapan arsitektur hijau seharusnya lebih mudah karena masyarakat tidak perlu menghadapi tantangan iklim yang ekstrim seperti di negara dengan empat musim.

Meski demikian, desain bangunan hijau di negara tropis tetap memiliki tantangan tersendiri, seperti kebutuhan untuk mempertimbangkan ventilasi alami untuk mengatasi kelembaban udara, penggunaan atap hijau untuk mengurangi panas, serta pengelolaan air hujan. Semua hal ini perlu diperhatikan untuk memastikan desain yang efektif dan ramah lingkungan.

Mengatasi Kualitas Lingkungan yang Semakin Memburuk

Kualitas lingkungan yang semakin memburuk, arsitektur hijau difokuskan untuk dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan dalam material bangunan yang digunakan, sehingga pada akhirnya akan lebih banyak bangunan yang menerapkan konsep arsitektur hijau ataupun merenovasi bangunan untuk digunakan kembali. Menurut World Health Organization (WHO), hampir 30% di setiap dunia, bangunan tinggi memiliki kualitas udara yang cukup buruk. Faktor seperti inilah yang menjadi penyebab utama menurunnya kualitas lingkungan seperti di kota-kota besar. Untuk mengatasi rusaknya kualitas lingkungan, perencanaan arsitektur difokuskan dalam menerapkan desain arsitektur hijau agar menghasilkan lingkungan hidup yang lebih baik dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Salah satu argumen utama yang mendasari penerapan arsitektur hijau adalah kemampuannya untuk mengurangi penggunaan energi yang berlebihan. Sebagai contoh, desain bangunan yang dapat memaksimalkan pencahayaan alami, ventilasi udara yang optimal, serta penggunaan material ramah lingkungan dapat secara signifikan menurunkan konsumsi energi. Dampak positif lainnya adalah pengurangan emisi karbon yang langsung terkait dengan efisiensi energi ini. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung pengurangan emisi karbon adalah dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di gedung-gedung, yang menjadi langkah konkret dalam mencapai tujuan tersebut. Data selama masa pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa penggunaan energi dapat turun sekitar 6 hingga 8 persen, yang menandakan potensi besar untuk pengurangan emisi karbon. Menurut target yang ditetapkan, emisi karbon diproyeksikan turun sebanyak 1,91 juta ton CO₂ hingga tahun 2030.

Jika pengurangan emisi karbon ini dapat dicapai secara signifikan setiap tahunnya melalui penerapan konsep arsitektur hijau, potensi penurunan emisi bisa melebihi target 1,91 juta ton CO₂ dengan penurunan minimal 25 persen per tahun. Dengan demikian, melalui transformasi ini, kerusakan lingkungan dapat diminimalkan, dan kota-kota dapat menjadi lebih sehat serta ramah lingkungan. Ke depannya, hal ini juga akan membuat negara menjadi tempat yang lebih layak huni bagi generasi mendatang, dengan kualitas lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Arsitektur hijau memang memiliki dampak positif dan negatif dalam menghadapi berbagai tantangan tetapi juga dapat menciptakan lingkungan alam yang lebih baik dan berkelanjutan. Meskipun adanya beberapa tantangan, tetapi manfaatnya jauh lebih besar jika diaplikasikan dengan benar. Konsep ini mendukung pembangunan yang tidak harus merusak alam, tetapi dapat berjalan dengan seharusnya. Konsep yang menjanjikan sebagai salah satu solusi dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan pemanfaatan teknologi di era modern sehingga memberikan lebih banyak dampak positif bagi lingkungan dan manusia.

Secara keseluruhan arsitektur memang dapat menjadi hal yang menguntungkan dalam mengatasi kerusakan lingkungan, hanya saja perlu cara penerapan dan pengolahan yang tepat. Perlunya dukungan serta kesadaran masyarakat yang berperan penting dalam mendukung konsep arsitektur hijau dan terhindar dari adanya manipulasi seperti “Greenwashing” sehingga dapat merusak kepercayaan masyarakat dalam penerapan arsitektur hijau ini. Dengan pengawasan yang tepat, maka hal ini tidaklah sulit untuk diterapkan terutama di era modern serba teknologi yang semakin canggih.

Sehingga untuk masa mendatang, arsitektur hijau harus dapat menjangkau secara luas dan tidak hanya untuk kalangan tertentu, tetapi untuk semua masyarakat. Dengan begitu, lingkungan yang lebih sehat, nyaman, dan layak huni bagi generasi mendatang dapat diterapkan tanpa harus mengorbankan bumi yang kita tinggali.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//