MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Otokritik Organisasi Mahasiswa, sebagai Agen Perubahan atau Ilusi Agen Perubahan?
Otokritik terhadap organisasi mahasiswa sangat penting untuk menjaga integritas dan tujuannya semula untuk mendorong perubahan yang berarti di dalam kampus.
Alif Sepulloh
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
7 Februari 2025
BandungBergerak.id – Di tengah hiruk-pikuknya dunia kampus, kita sering mendengar tentang betapa pentingnya organisasi mahasiswa dalam mengasah kemampuan kepemimpinan, memperluas wawasan, dan menumbuhkan solidaritas antar sesama mahasiswa. Secara ontologis, tujuan dari organisasi mahasiswa sejatinya adalah menciptakan kebersamaan, memberikan kebebasan untuk berkembang, dan memperkuat kerja sama yang saling membangun antara anggota.
Organisasi mahasiswa dibentuk untuk menjadi ruang berkarya, berbagi ide, dan mengembangkan potensi diri. Artinya organisasi mahasiswa harus menjadi ruang yang mendukung kebebasan setiap anggotanya untuk berkembang, memberikan kesempatan bagi mereka untuk memilih jalur yang sesuai dalam berorganisasi, tanpa ada tekanan atau halangan, serta memastikan persamaan hak bagi setiap anggotanya.
Melalui semangat perjuangan kolektif dan idealisme yang menggebu-gebu, organisasi mahasiswa sering kali dipandang sebagai wadah perjuangan idealisme, suara kritis, dan agen perubahan di kampus. Dalam banyak kasus, mereka berperan dalam membawa isu-isu sosial, politik, dan pendidikan yang penting ke ruang publik, baik di dalam maupun di luar kampus. Namun, melihat perkembangan organisasi kemahasiswaan saat ini selalu ada unsur paradoks. Di satu sisi, organisasi mahasiswa dipandang sebagai elemen penting dalam sebuah perguruan tinggi, namun di sisi lain substansi organisasi mahasiswa kerap kali berjalan tidak sinkron dengan tujuan dibentuknya organisasi mahasiswa itu sendiri.
Organisasi mahasiswa kerap kali tanpa disadari menerapkan kontrol dan otoritas yang koersif dan represif, termasuk eksploitasi untuk kepentingan tertentu. Hal ini dapat terjadi ketika dominasi kelompok atau individu dengan kepentingan pribadi mendominasi struktur organisasi, menciptakan atmosfer yang mengekang dan membatasi ruang gerak mahasiswa. Sejak itulah dominasi dan eksploitasi mulai merasuki organisasi mahasiswa, dan citra organisasi tersebut tercemar, dan sering kali dianggap sebagai tempat yang membuang waktu, mengeksploitasi, mengekang, dan membatasi.
Bahkan ketika kita melihat kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa organisasi mahasiswa terjebak dalam euforia politik praktis internal yang cenderung lebih sibuk dengan kepentingan politik praktis, urusan jabatan, atau bahkan hanya sekadar eksistensi, tanpa mengutamakan kompetensi kepengurusan yang berdampak langsung kepada mahasiswa. Kita semua tahu secara garis besar tujuan dibentuknya struktur dalam berorganisasi adalah untuk menciptakan tatanan yang rapi dan baik. Namun dalam pengimplementasiannya, energi mereka habis untuk memperjuangkan posisi atau status di dalam organisasi. Alih-alih memberikan kesempatan untuk belajar dan berkontribusi, kerap kali organisasi mahasiswa malah menjadi ajang saling menjatuhkan, memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi, dan akhirnya membuat mahasiswa malah lebih stres dan terjebak dalam politik kampus yang tak ada habisnya. Akibatnya Organisasi mahasiswa hanya digunakan sebagai alat-alat permainan mahasiswa para jagoan kampus dalam mencari eksistensi dan popularitas untuk menebalkan kepentingannya bahkan juga organisasi eksternalnya. Hal tersebut yang sering kali menimbulkan adanya dominasi dan kontrol organisasi yang berlebih dan kerap keluar dari substasi.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ilusi Fast Fashion yang Merusak Lingkungan
MAHASISWA BERSUARA: Mentalitas Adaptif Gen Z di Balik Stigma Generasi yang Lemah
MAHASISWA BERSUARA: Apakah JOMO Bisa Menjadi Solusi FOMO?
Organisasi Mahasiswa Terjebak dalam Ilusi Perubahan
Melihat persoalan di atas, menurut saya ada beberapa faktor yang menyebabkan organisasi mahasiswa terkadang terjebak dalam ilusi perubahan. Pertama, sistem organisasi yang cenderung hierarkis dan birokratis akan menghambat kreativitas dan pergerakan dinamis di kalangan anggotanya. Ketika organisasi menjadi terlalu terstruktur dan berfokus pada administrasi, maka esensi dari perjuangan mahasiswa sebagai agen perubahan bisa terlupakan. Kedua, pengaruh politik praktis dan kepentingan eksternal sering kali masuk ke dalam organisasi mahasiswa, membuat agenda perjuangan mereka tergeser oleh kepentingan tertentu. Alih-alih menjadi kekuatan yang mengkritisi kekuasaan, organisasi mahasiswa justru bisa menjadi alat politik yang memperkuat sistem yang mereka kritik.
Untuk mencapai perubahan yang nyata, organisasi mahasiswa seharusnya menjadi ruang inklusif yang memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk berkembang, belajar, dan berkontribusi, tanpa terbatas pada golongan atau kelompok tertentu. Adanya fenomena tersebut di mana organisasi mahasiswa justru dikuasai oleh segelintir golongan yang mengaburkan tujuan mulia tersebut berilmplikasi menciptakan ketimpangan dalam kesempatan yang diberikan kepada anggota untuk berpartisipasi secara aktif, serta berpotensi menutup pintu bagi ide-ide dan perspektif yang berbeda. Organisasi mahasiswa tidak seharusnya menjadi tempat untuk memaksakan kehendak atau menghalangi perkembangan individu.
Oleh karena itu, sangat penting untuk kembali pada prinsip dasar organisasi mahasiswa yang seharusnya berfungsi sebagai ruang untuk pengembangan diri, kebebasan, dan kesetaraan, di mana setiap individu diberi kesempatan yang setara untuk tumbuh tanpa adanya penghalang atau tekanan dari kelompok mana pun. Namun, hal tersebut bukan berarti organisasi mahasiswa harus berjalan tanpa aturan, tanpa perintah, atau tanpa kejelasan dalam program kerja. Sebaliknya, organisasi mahasiswa yang sehat adalah yang mampu menyeimbangkan kebebasan dengan pengaturan yang jelas, sehingga setiap anggota dapat tumbuh tanpa dibatasi oleh kekuasaan yang otoriter. Organisasi mahasiswa harus tetap menjadi tempat yang memfasilitasi pengembangan keterampilan dan potensi, tanpa adanya penyalahgunaan kekuasaan atau eksploitasi kepentingan oleh pihak-pihak tertentu.
Pada akhirnya, otokritik terhadap organisasi mahasiswa sangat penting untuk menjaga integritas dan tujuan asli mereka. Mahasiswa harus bisa mengevaluasi apakah mereka benar-benar melakukan perubahan yang berarti, atau hanya sekadar mengulang rutinitas yang sama. Jika organisasi mahasiswa tidak melakukan introspeksi, perubahan yang mereka gaungkan berpotensi menjadi ilusi belaka. Mereka menjadi sibuk membangun citra sebagai "agen perubahan," tetapi gagal mengubah dirinya sendiri. Kondisi ini menciptakan paradoks: mereka yang ingin mengubah dunia, tetapi enggan berubah dari dalam. Mari kita renungkan kembali, apakah kita masih ingin organisasi mahasiswa menjadi "hama kepentingan" yang sekadar menyuguhkan ilusi perubahan, ataukah kita ingin organisasi mahasiswa kembali menjadi wadah yang menginspirasi dan mendorong perubahan yang berarti di dalam kampus?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara