• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ilusi Fast Fashion yang Merusak Lingkungan

MAHASISWA BERSUARA: Ilusi Fast Fashion yang Merusak Lingkungan

“Fast fashion” menciptakan rantai konsumsi yang tak berujung, mengabaikan kualitas dan keberlanjutan, serta memperburuk budaya belanja impulsif.

Kayla Faiza Ward

Mahasiswa Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

3 Februari 2025


BandungBergerak.id – Budaya fast fashion telah menjadi fenomena global yang mengubah cara masyarakat memandang pakaian. Industri fast fashion memproduksi lebih dari 100 miliar pakaian setiap tahunnya namun sekitar 50% dari pakaian ini berakhir menjadi limbah dalam waktu kurang dari satu tahun setelah diproduksi.

Dikutip dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, limbah kain menyumbang 2,89% dari akumulasi jenis sampah. Sementara itu, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021 memaparkan bahwa Indonesia menyumbang sebesar 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara 12% dari limbah rumah tangga. Dari akumulasi limbah pakaian ini, hanya 0,3 juta ton limbah tersebut dapat didaur ulang dan 2 juta ton lainnya tidak dapat didaur ulang. Hal ini menunjukkan bagaimana fast fashion memacu konsumsi yang berlebihan, hanya menciptakan ilusi kebutuhan akan tren mode yang selalu berubah, sementara dampaknya terhadap lingkungan sangat besar. 

Fast Fashion Memperburuk Gaya Hidup FOMO

Saat ini, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) semakin mendominasi kehidupan modern kita terutama dalam media sosial. Sebanyak 56% pengguna media sosial mengalami FOMO, dan 48% mengatakan bahwa media sosial membuat mereka merasa ketinggalan akan suatu pengalaman atau informasi (Harris Interactive, 2013). Dengan timbulnya fast fashion memperburuk fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dengan memanfaatkan media sosial dan influencer untuk mempromosikan tren mode yang berubah dengan sangat cepat.

Salah satu contoh yang menjadi sorotan di berbagai media sosial seperti Instagram dan TikTok dari tren fashion 2024 adalah tren rok balon. Rok balon, dengan bentuknya yang unik dan mencuri perhatian menjadi populer karena diunggah oleh influencer dan selebritas sehingga menciptakan kesan bahwa memiliki rok ini adalah simbol tren terkini.  

Perusahaan fast fashion dengan cepat merespons tren tersebut, memproduksi rok balon dengan harga yang terjangkau dan langsung dipasarkan dengan jumlah yang besar. Konsumen, yang sering merasa takut "ketinggalan zaman", mulai berbelanja untuk mengikuti tren ini. Bahkan jika tren tersebut tidak sesuai dengan gaya pribadi mereka, banyak yang tetap merasa perlu untuk membeli agar tetap dianggap “Up to Date”. Setelah beberapa waktu, ketika tren rok balon mulai meredup, pakaian tersebut sering kali menjadi tidak terpakai dan menumpuk di lemari. Ini menciptakan siklus konsumsi yang berlebihan, yang mengarah pada pemborosan uang dan peningkatan limbah pakaian. Dengan demikian, fenomena tren seperti rok balon menunjukkan bagaimana fast fashion tidak hanya memperburuk fenomena FOMO, tetapi juga mendorong pola konsumsi yang merugikan, baik secara finansial maupun lingkungan. 

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pentingnya Pendidikan Literasi Keuangan untuk Membentengi Anak Muda dari Godaan Judi Online
MAHASISWA BERSUARA: Melacak Akar Historis Pelarangan Rambut Gondrong
MAHASISWA BERSUARA: Saatnya Masyarakat Sadar Pentingnya Aturan Mengonsumsi Gula

Fast Fashion Memperlemah Nilai dan Kualitas Produk

Fast fashion semakin memperlemah nilai dan kualitas produk dengan berpusat pada kecepatan dan biaya rendah, yang mengorbankan daya tahan dan kualitas pakaian. Dalam upaya memenuhi permintaan pasar yang terus berubah, perusahaan fast fashion menghasilkan pakaian dalam jumlah besar menggunakan bahan murah dan proses produksi yang cepat. Namun, pakaian tersebut sering kali mudah rusak, pudar warnanya, atau bahkan robek hanya setelah beberapa kali pemakaian. Proses produksi yang terburu-buru ini tidak hanya mengurangi kualitas, tetapi juga menjadikan produk tersebut tidak tahan lama. Sebagai contoh, seperti merek pakaian Zara yang rata-rata mengganti desain pakaiannya setiap dua minggu, sementara merek lain baru mengganti desainnya setiap dua atau tiga bulan. Zara menjual sekitar 11.000 item berbeda per tahun di ribuan toko di seluruh dunia dibandingkan dengan merek lain yang menjual 2.000 hingga 4.000 item per tahun di toko mereka (Mhugos, 2020) 

Rendahnya harga pakaian yang mudah rusak justru mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak dalam waktu singkat. Karena pakaian cepat rusak atau tidak tahan lama, konsumen merasa perlu untuk mengganti pakaian mereka secara terus menerus dan menciptakan nilai konsumsi yang berlebihan. Pembelian impulsif menjadi lebih tinggi, karena pakaian yang tidak awet membuat konsumen merasa harus terus membeli produk baru untuk memenuhi kebutuhan  mereka. Hal ini memperburuk budaya konsumsi yang berfokus pada kuantitas dan tren sesaat, daripada menghargai kualitas dan nilai jangka panjang dari suatu produk. Akibatnya, fast fashion tidak hanya merusak kualitas produk, tetapi juga memperburuk pola pikir konsumtif yang tidak berkelanjutan dan berdampak buruk pada lingkungan.

Merusak Lingkungan 

Fast fashion memberi dampak lingkungan yang sangat besar karena mengutamakan produksi cepat dan murah dengan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan. Tercatat pada bulan Maret 2023, Industri pakaian 8menyumbang 10% emisi karbon global tahunan (United Nations Environment Programme, 2023 dalam McDonald, et.al., 2023). Salah satu bahan yang paling banyak digunakan adalah poliester, bahan sintetis yang murah namun sulit terurai di alam. Pakaian berbahan poliester akan bertahan ratusan tahun, mencemari tanah dan lautan. Di sisi lain, proses produksi fast fashion juga menghabiskan banyak air dan energi, memperburuk masalah polusi dan perubahan iklim.

Pakaian yang diproduksi dengan kualitas rendah sering kali cepat rusak dan hanya digunakan dalam waktu singkat, sebelum akhirnya dibuang dan memperburuk kondisi limbah pakaian. Pakaian-pakaian ini berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar yang meningkatkan polusi udara dan tanah. Di sisi lain, proses daur ulang pakaian masih sangat terbatas dan tidak efektif, sehingga limbah tersebut sulit untuk diproses kembali. Bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dan dikombinasikan dengan meningkatnya limbah tekstil, membuat industri ini menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap polusi dan kerusakan ekosistem global.

Fast fashion hanya menciptakan ilusi kebutuhan untuk selalu mengikuti tren yang berubah dengan cepat. Fenomena ini mendorong konsumen untuk terus membeli pakaian baru agar tetap mengikuti tren, meskipun banyak di antaranya tidak benar-benar dibutuhkan. Hal ini menciptakan rantai konsumsi yang tak berujung, mengabaikan kualitas dan keberlanjutan, serta memperburuk budaya belanja impulsif. Pada akhirnya, fast fashion tidak hanya menguras kantong, tetapi juga merusak lingkungan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//