• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Melacak Akar Historis Pelarangan Rambut Gondrong

MAHASISWA BERSUARA: Melacak Akar Historis Pelarangan Rambut Gondrong

Pelarangan rambut gondrong di zaman Orde Baru bukan sekadar perang melawan gaya hidup, melainkan alat politik untuk mengontrol anak muda.

Herlambang

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi. Kekuasaan cenderung korup jika tidak diawasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 Januari 2025


BandungBergerak.id – Sekitar setahun yang lalu, seorang dosen senior di kampus memberikan perintah mutlak untuk memotong rambut gondrongku yang ia anggap tidak mencerminkan “seorang pelajar.” Katanya, jika aku tidak kunjung memangkas rambut, aku tidak diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Semester. Sorot matanya seolah ingin mengatakan bahwa semakin panjang rambutku, maka semakin rendah pula otakku.

Aku kebingungan perihal konsepsi “seorang pelajar” yang ia maksud. Pertanyaan spontan mengudara di pikiranku: apakah seseorang yang lebih percaya diri dengan rambut gondrongnya tidak layak mendapatkan pengetahuan? Bukankah koruptor yang jelas-jelas tidak mencerminkan “seorang pelajar” justru tampil rapi, klimis, dan botak berkilau seperti bola yang ingin kita tendang langsung ke gawang penjara?

Pertanyaan itu membawa aku untuk menggali lebih dalam. Melalui buku "Yang Kelewat di Buku Sejarah" karya Fadlia Hana dkk., aku menemukan bahwa pelarangan rambut gondrong di Indonesia bukan sekadar perkara estetika. Ini adalah bagian dari sejarah panjang kontrol sosial dan politik yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu, rambut gondrong dianggap sebagai simbol pemberontakan, kebebasan berpikir, dan semangat anti-otoritarianisme yang tidak sejalan dengan agenda pemerintahan saat itu.

Kebijakan pelarangan rambut gondrong mulai mencuat pada awal 1970-an, di mana rambut gondrong diidentifikasi sebagai simbol anak muda yang “nakal” dan “tidak patuh.” Rambut gondrong bahkan digambarkan media sebagai ancaman terhadap ketertiban umum, bahkan kedaulatan negara. Pemerintah kala itu, yang paranoid akan pengaruh budaya Barat, mulai melancarkan kampanye besar-besaran untuk memberantas rambut gondrong, menjadikannya musuh publik nomor satu di antara anak muda.

Untuk menegaskan sikapnya, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (BAKOPERAGON), sebuah lembaga resmi yang didukung oleh aparat negara. Aparat ini bergerak dengan brutal; dari jalan raya hingga kampus, siapa pun yang tertangkap berambut gondrong langsung dicukur di tempat. Ironisnya, aparat ini tidak peduli dengan pelanggaran moral besar lainnya seperti perjudian atau korupsi. Anak muda yang dirazia tentu bertanya, “Mengapa rambut kami menjadi masalah, sementara perilaku bejat para pejabat kalian dibiarkan merajalela?”

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengurai Benang Kusut Golput
MAHASISWA BERSUARA: Melihat Kembali Program Makan Bergizi Gratis Presiden Prabowo Subianto
MAHASISWA BERSUARA: Pentingnya Pendidikan Literasi Keuangan untuk Membentengi Anak Muda dari Godaan Judi Online

Penyeragaman sebagai Alat Kekuasaan

Puncak ketegangan terjadi pada September 1970, ketika razia rambut gondrong memasuki Institut Teknologi Bandung (ITB). Para taruna dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) sibuk bergantian memangkas rambut para mahasiswa. Tak membutuhkan waktu lama untuk membuat kesal mahasiswa ITB untuk menggalang protes terkait hal ini. Mahasiswa yang merasa harga dirinya direndahkan akhirnya melawan.

Untuk mendinginkan suasana, aparat mengadakan pertandingan persahabatan sepak bola antara taruna dengan mahasiswa. Pertandingan ini, yang seharusnya menjadi simbol rekonsiliasi, justru berujung pada kerusuhan besar. Tragisnya, seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad, tewas terkena peluru aparat. Coenraad, yang kebetulan melintas tanpa terlibat protes, menjadi simbol kebrutalan pemerintah. Tragedi ini dikenal sebagai Peristiwa 6 Oktober 1970 dan menjadi titik balik perlawanan mahasiswa.

Kematian Coenraad menggugah solidaritas di kalangan mahasiswa. Jika sebelumnya mereka hanya memprotes larangan rambut gondrong, kini kritik mereka meluas hingga kebijakan pembangunan yang timpang, eksploitasi rakyat oleh investasi asing, hingga peran ganda militer yang terlalu dominan dalam politik. Bukannya meredam perlawanan, larangan rambut gondrong justru menyulut api pemberontakan yang lebih besar.

Konteks Budaya dan Politik di Balik Larangan

Pelarangan rambut gondrong bukan sekadar perang melawan gaya hidup, melainkan alat politik untuk mengontrol anak muda. Anak muda yang dianggap terlalu bebas, terlalu kreatif, dan terlalu kritis menjadi ancaman bagi stabilitas rezim Orde Baru. Rambut gondrong menjadi simbol perlawanan budaya, yang diterjemahkan oleh pemerintah sebagai potensi subversi. Pemerintah takut anak muda yang independen ini akan bersatu menjadi kekuatan yang sulit dikendalikan.

Namun, kebijakan ini membawa bumerang. Alih-alih memadamkan semangat perlawanan, pemerintah malah membakar emosi mahasiswa. Pelarangan rambut gondrong menjadi katalis bagi gerakan mahasiswa yang lebih besar, termasuk protes terhadap proyek ambisius Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1972, yang memakan anggaran besar dan menggusur tanah rakyat.

Pewarisan Semangat Perlawanan

Perlawanan mahasiswa pada era 1970-an mencerminkan betapa kuatnya semangat solidaritas di antara mereka. Larangan rambut gondrong yang terlihat sepele menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan yang lebih besar. Bagi generasi saat ini, kisah ini menjadi pengingat bahwa kontrol terhadap hal kecil seperti gaya rambut bisa menjadi awal dari kontrol yang lebih luas terhadap kebebasan berpendapat.

Sejarah rambut gondrong menunjukkan bahwa setiap bentuk kebijakan yang membatasi ekspresi individu berpotensi melahirkan resistensi yang tak terduga. Pemerintah mungkin bisa memotong rambut, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memotong ide-ide kebebasan yang tumbuh di kepala anak muda.

Maka, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan terus hidup dalam warisan penyeragaman ini? Apakah institusi pendidikan akan terus mencukur kebebasan atas nama kerapian, atau mulai membuka ruang bagi keberagaman?

Di sinilah pentingnya belajar dari sejarah. Bukan untuk mengulanginya, tetapi untuk melampauinya. Rambut gondrong mungkin tidak lagi menjadi isu besar bagi generasi muda, tetapi semangat untuk mempertahankan kebebasan individu harus terus hidup.

Pendidikan seharusnya tidak sekadar melahirkan generasi yang tahu aturan, tetapi generasi yang tahu mengapa aturan itu ada, dan lebih berani untuk bertanya: apakah aturan itu layak dipertahankan atau harus dilawan? Kita tidak butuh kampus yang sibuk mencukur rambut, tetapi institusi yang mau menumbuhkan kebebasan berpikir, seperti rambut yang tumbuh liar namun tetap indah (setidaknya bagiku) jika dibiarkan apa adanya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//