MAHASISWA BERSUARA: Apakah JOMO Bisa Menjadi Solusi FOMO?
Salah satu konsep yang muncul sebagai solusi terhadap Fear of Missing Out (FOMO) adalah Joy of Missing Out (JOMO).
Marsiana Adeline Natadidjaja
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
5 Februari 2025
BandungBergerak.id – Perkembangan teknologi digital, terutama media sosial, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak muda di seluruh dunia. Di Indonesia, pengguna internet terus meningkat pesat setiap tahunnya hingga mencapai 77% populasi pada tahun 2023, dengan lebih dari 191 juta pengguna aktif media sosial. Generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, tumbuh dan berkembang dalam ekosistem digital ini, menjadikannya sebagai ruang utama untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan membentuk identitas diri.
Media sosial seperti Instagram, Facebook, X dan TikTok memungkinkan anak muda untuk terhubung dengan teman-teman, keluarga, dan bahkan orang asing di seluruh dunia dalam hitungan detik. Namun, di balik kemudahan ini, muncul pula fenomena psikologis yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Fenomena ini pertama kali diperkenalkan oleh Patrick J. McGinnis pada 2004 untuk menggambarkan rasa cemas atau takut kehilangan momen penting, informasi, atau tren yang dialami orang lain. FOMO semakin relevan di era digital dan sering dianggap sebagai masalah kesehatan mental yang timbul akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
Media sosial dianggap sebagai pemicu utama dari FOMO karena memperlihatkan aktivitas orang lain yang tampaknya lebih menyenangkan dan menarik. Namun, apakah benar media sosial adalah penyebab utama dari fenomena ini? Atau justru kebutuhan manusia akan validasi sosial yang memperburuk dampak pada kesehatan mental anak muda?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Saatnya Masyarakat Sadar Pentingnya Aturan Mengonsumsi Gula
MAHASISWA BERSUARA: Ilusi Fast Fashion yang Merusak Lingkungan
MAHASISWA BERSUARA: Mentalitas Adaptif Gen Z di Balik Stigma Generasi yang Lemah
FOMO Berakar pada Psikologi Sosial
FOMO adalah cerminan dari kebutuhan psikologis manusia untuk merasa diterima dan terhubung dengan orang lain. Dalam teori kebutuhan psikologi, FOMO muncul dari ketidakseimbangan dalam pemenuhan tiga elemen utama: relatedness (keterhubungan), competence (kompetensi), dan autonomy (kemandirian). Ketika seseorang merasa tertinggal dalam hubungan sosialnya, ia cenderung mengalami kecemasan.
Dalam konteks FOMO, kecemasan ini muncul ketika individu merasa tidak mengikuti tren atau aktivitas yang dilakukan oleh orang lain yang mereka anggap penting atau menyenangkan. Media sosial memperburuk fenomena FOMO dengan cara menyajikan kehidupan orang lain secara terus-menerus, melalui postingan, cerita, atau video yang menunjukkan momen-momen menarik atau prestasi seseorang. Hal ini menciptakan perbandingan sosial yang intens, di mana individu merasa kurang jika tidak dapat mengikuti atau terlibat dalam aktivitas atau tren yang sedang berlangsung. Dengan adanya fitur seperti “likes”, komentar, dan unggahan cerita (stories) di media sosial semakin memperburuk kecemasan ini, memaksa individu untuk selalu terlihat aktif dan memaksa individu untuk terus memeriksa dan menyesuaikan diri dengan apa yang sedang viral atau populer.
Media sosial tidak menciptakan FOMO, tetapi memperburuk dengan memberikan akses mudah dan instan terhadap kehidupan orang lain, yang memperbesar rasa khawatir ketika seseorang merasa tertinggal dari berita atau tren terkini. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Makassar menunjukkan bahwa 41,1% remaja memiliki tingkat FOMO sedang, sementara 24,5% lainnya berada pada tingkat tinggi. Data ini menunjukkan bahwa FOMO bukanlah fenomena yang langka, tetapi cukup umum terjadi di kalangan anak muda, terutama mereka yang aktif menggunakan media sosial.
Berdampak pada Kondisi Mental
Fenomena FOMO memiliki dampak yang tidak bisa dianggap remeh terhadap kesehatan mental anak muda. Dampak pertama yang paling sering terlihat adalah meningkatnya kecemasan dan depresi. Ketika seseorang merasa tertinggal dari berita atau tren terkini, kecemasan ini dapat berkembang menjadi perasaan gelisah, rendah diri, dan bahkan depresi. Ketergantungan pada media sosial untuk tetap terhubung dengan apa yang sedang terjadi di dunia maya dapat mengarah pada penurunan kualitas hidup.
Anak muda yang mengalami FOMO sering kali merasa bahwa kehidupan mereka kurang berharga jika tidak mendapatkan perhatian atau pengakuan dari orang lain di dunia maya. Selain kecemasan, FOMO juga sering kali berdampak pada penurunan konsentrasi dan ketergantungan pada media sosial. Individu yang sering membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial akan lebih mudah merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki, yang pada gilirannya dapat mengarah pada penurunan rasa percaya diri.
Sebuah survei terhadap mahasiswa di Universitas Negeri Padang menunjukkan bahwa 47,59% mahasiswa mengalami kecemasan yang berkaitan dengan FOMO. Dalam beberapa kasus, FOMO bahkan dapat membuat seseorang mengabaikan aktivitas penting lainnya, seperti belajar, bekerja, atau berkumpul dengan keluarga, karena mereka merasa harus tetap terhubung dengan apa yang sedang terjadi di dunia maya. Hal ini juga mengarah pada kecanduan media sosial, di mana individu merasa terpaksa untuk terus memeriksa ponsel atau aplikasi media sosial mereka untuk memastikan mereka tidak tertinggal informasi atau tidak kehilangan kesempatan. Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial dapat memperburuk perasaan tidak aman dan stres di kalangan anak muda. Fenomena ini semakin menonjol dalam masyarakat yang semakin bergantung pada media sosial untuk pengakuan dan interaksi sosial, meningkatkan perasaan FOMO di kalangan pengguna.
Setelah FOMO, Ada JOMO
Meskipun media sosial dan teknologi dapat memperburuk FOMO, mereka juga memiliki potensi untuk membantu anak muda menemukan kebahagiaan dan keseimbangan hidup. Salah satu konsep yang muncul sebagai solusi terhadap FOMO adalah Joy of Missing Out (JOMO). JOMO adalah kebalikan dari FOMO, di mana seseorang memilih untuk menikmati kehidupan tanpa harus terjebak dalam perbandingan sosial yang merugikan atau ketergantungan pada validasi sosial dari dunia maya. Dengan memilih untuk tidak terlibat dalam perbandingan sosial yang berlebihan, individu dapat lebih fokus pada kehidupan nyata dan aktivitas yang lebih bermakna.
Teknologi dapat digunakan sebagai alat komunikasi, pembelajaran, dan berbagi informasi yang bermanfaat, tetapi tidak perlu menjadi ukuran untuk menilai keberhasilan hidup seseorang. Anak muda dapat belajar untuk mengatur waktu penggunaan media sosial dan lebih fokus pada pengalaman langsung, seperti berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman, mengembangkan hobi, atau bahkan mengejar tujuan pribadi yang lebih besar tanpa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain di dunia maya.
Fenomena JOMO mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan diri kita sendiri dan menghargai momen-momen kecil yang ada di dunia nyata, tanpa terobsesi dengan apa yang tidak kita miliki atau apa yang kita lewatkan di dunia maya. Dengan mengubah cara pandang ini, anak muda dapat mengatasi FOMO dan menemukan kedamaian dalam memilih untuk tidak selalu terhubung dengan dunia digital. Data menunjukkan bahwa 47,95% remaja di Makassar merasa bahwa mereka mampu mengontrol FOMO mereka dan lebih fokus pada kehidupan nyata, meskipun mereka terpapar media sosial secara intens.
FOMO bukanlah hasil dari perkembangan teknologi semata, melainkan lebih kepada kebutuhan manusia akan validasi sosial yang diperburuk oleh kecanggihan media sosial. Teknologi dan media sosial bukanlah penyebab utama masalah kesehatan mental, melainkan cara kita menggunakan dan menghadapinya yang menentukan dampaknya. Dengan pendekatan yang bijak, teknologi dapat menjadi alat yang mempermudah kehidupan anak muda, membantu mereka mengelola tekanan sosial, dan menemukan kebahagiaan dalam Joy of Missing Out (JOMO).
Anak muda perlu diajarkan untuk mengatur penggunaan media sosial dengan bijak dan memilih untuk lebih terlibat dalam kegiatan yang memperkaya diri di dunia nyata. Dengan kesadaran yang lebih tinggi tentang dampak sosial dari media sosial, anak muda dapat menghindari perbandingan sosial yang merugikan dan fokus pada pertumbuhan yang positif. Dengan demikian, mereka dapat menjalani kehidupan digital yang lebih sehat, bahagia, dan bermakna, tanpa harus terjebak dalam kecemasan dan perasaan tertinggal yang disebabkan oleh FOMO.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara