• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mentalitas Adaptif Gen Z di Balik Stigma Generasi yang Lemah

MAHASISWA BERSUARA: Mentalitas Adaptif Gen Z di Balik Stigma Generasi yang Lemah

Generasi Z yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial menunjukkan kemampuannya menghadapi tantangan dengan cara yang lebih terbuka.

Audrianna

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Teknologi digital tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Februari 2025


BandungBergerak.id – Generasi Z (Gen Z) yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sering dikritik di media sosial sebagai generasi yang lemah dan konsumtif. Dalam dunia kerja, stigma ini semakin kuat dengan anggapan bahwa mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan dan sering berpindah tempat kerja. Laporan Deloitte Global 2023 mengungkapkan bahwa 46% Gen Z mengalami stres yang tinggi akibat tekanan ekonomi dan sosial, yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.

Namun, meskipun menghadapi tantangan tersebut, studi Pew Research Center menunjukkan bahwa Gen Z justru unggul dalam beradaptasi dengan perubahan teknologi dan sosial. Mereka memanfaatkan kemampuan multitasking dan teknologi digital untuk mendukung pendidikan, aktivisme, serta terlibat dalam isu-isu global seperti perubahan iklim dan kesetaraan sosial. Mentalitas adaptif Gen Z membuktikan bahwa mereka bukan generasi yang lemah, melainkan generasi yang berani menata prioritas, menjaga kesehatan mental, dan cerdas dalam berinovasi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Melacak Akar Historis Pelarangan Rambut Gondrong
MAHASISWA BERSUARA: Saatnya Masyarakat Sadar Pentingnya Aturan Mengonsumsi Gula
MAHASISWA BERSUARA: Ilusi Fast Fashion yang Merusak Lingkungan

Healing Bukan Tanda Lemah

Gen Z telah membuktikan bahwa mereka bukan hanya penerus, tetapi juga pelopor dalam berbagai bidang, termasuk kesehatan mental. Bagi mereka, “healing” bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah penting untuk menjaga kesehatan mental.

Menurut data dari Verywell Mind, sekitar 70% Gen Z merasa nyaman berbicara tentang kesehatan mental mereka. Mereka tidak hanya terbuka untuk berbicara tentang kesehatan mental, tetapi juga aktif mencari solusi dan dukungan melalui berbagai media, termasuk aplikasi kesehatan mental dan komunitas online. Hal ini menunjukkan bahwa mereka serius dalam memprioritaskan kesejahteraan diri.

Gen Z mengatasi stigma terkait kesehatan mental dengan berpartisipasi dalam kampanye global. Kampanye Brave Together dari Maybelline yang diluncurkan bersama dengan organisasi Ditch the Label, berfokus pada kesadaran dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Kampanye ini mengungkapkan bahwa 73% dari Gen Z mengalami kecemasan dan depresi, banyak yang mengaitkan hal tersebut dengan penggunaan media sosial​. Selain itu, Gen Z lebih terbuka dalam membahas masalah kesehatan mental dan lebih proaktif mencari bantuan.

Data menunjukkan bahwa 40% dari Gen Z rutin mengikuti terapi, dan 53% dari mereka telah mencari layanan kesehatan mental profesional setidaknya sekali dalam hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka merasa nyaman untuk berdiskusi mengenai kesehatan mental.

Gen Z juga memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan isu kesehatan mental seperti dampak media sosial, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi. Melalui tagar seperti #MentalHealthMatters, #SelfCare, dan #EndTheStigma, mereka menjangkau banyak orang dan mendorong pencarian pertolongan saat menghadapi masalah kesehatan mental. Gen Z menciptakan budaya yang menempatkan kesehatan mental setara dengan kesehatan fisik. Sikap ini menunjukkan keberanian mereka menghadapi tantangan mental sekaligus menciptakan perubahan positif.

Gen Z Selektif dalam Memilih Pekerjaan

Gen Z sangat selektif dalam memilih pekerjaan yang memiliki dampak positif bagi masyarakat, dengan mengedepankan nilai keadilan sosial. Survei Deloitte 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 76% Gen Z lebih termotivasi oleh pekerjaan yang mendukung tujuan mulia daripada hanya mengejar gaji atau tunjangan. Sebanyak 86% Gen Z menganggap bahwa pekerjaan yang memiliki tujuan lebih dari sekadar penghasilan adalah kunci kepuasan kerja. Bahkan, 50% dari mereka menolak untuk mengambil pekerjaan yang tidak sesuai dengan prinsip pribadi mereka, terutama yang berkaitan dengan isu lingkungan dan kesehatan mental.

Fenomena ini juga tercermin dalam tingginya angka perpindahan pekerjaan di kalangan Gen Z. Berdasarkan survei LinkedIn 2023, 54% pekerja Gen Z berencana meninggalkan pekerjaan mereka dalam dua tahun ke depan. Alasan utama mereka mencari pekerjaan baru adalah untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi, pengembangan karier, dan keseimbangan kerja-hidup yang lebih baik.

Laporan dari Employee Benefit Research Institute menunjukkan bahwa lebih dari 22% pekerja berusia 20-an memiliki masa kerja kurang dari satu tahun, angka tertinggi sejak 2006. Perpindahan pekerjaan ini bukan hanya soal gaji, tetapi juga tentang menemukan pekerjaan yang lebih sesuai dengan aspirasi pribadi mereka.

Dalam bidang teknologi, Gen Z dikenal memiliki kemampuan luar biasa dalam menguasai dan beradaptasi dengan teknologi baru. Survei dari LinkedIn dan Microsoft menunjukkan bahwa 71% perusahaan lebih memilih kandidat dari Gen Z karena mereka dianggap lebih siap dan cepat untuk menguasai teknologi baru, seperti kecerdasan buatan (AI). Mereka juga sangat mahir dalam menggunakan berbagai platform dan alat teknologi, seperti ChatGPT. Selain itu, Gen Z juga bergantung pada media sosial dan platform digital untuk mendapatkan informasi dan belajar. Menurut survei Statista, 92% Gen Z menggunakan YouTube, 85% menggunakan Instagram, dan 78% menggunakan TikTok untuk mencari informasi. Pembelajaran melalui media sosial mencerminkan bahwa mereka lebih tertarik terhadap pembelajaran visual dan interaktif, karena dirasa lebih menyenangkan dan mudah diakses.

Gen Z Cenderung Berpikir Kreatif dan Kritis

Kemampuan berpikir kreatif dan kritis menjadi ciri khas Gen Z. Salah satu contohnya adalah Emma Yang, seorang yang menciptakan aplikasi "Timeless" untuk membantu pasien Alzheimer tetap terhubung dengan keluarga mereka. Aplikasi ini menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk memungkinkan pasien mengenali orang-orang terdekat mereka meskipun mengalami gangguan memori. Emma, yang baru berusia 14 tahun, menunjukkan bahwa teknologi bisa digunakan untuk memecahkan masalah dan memberikan dampak positif pada kehidupan orang lain.

Sebagai generasi yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial, Gen Z menunjukkan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan dengan cara yang lebih terbuka. Mereka berani berbicara tentang isu-isu penting seperti kesehatan mental dan aktif mencari solusi serta membuat banyak perubahan positif melalui berbagai gerakan sosial dan inovasi teknologi. Keberanian mereka untuk menanggapi tantangan dengan cara yang lebih realistis, berfokus pada tujuan hidup, dan peduli terhadap dampak sosial, mencerminkan pentingnya peran Gen Z dalam membentuk masa depan yang lebih baik.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//