Sophie’s Choice, Kecerdasan Buatan, dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Diella, menteri AI dari Albania, berdiri sebagai simbol dari harapan, keputusasaan, dan kesalahpahaman yang mendalam dalam upaya pemberantasan korupsi.

Muhammad Andi Firmansyah
Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)
18 Desember 2025
BandungBergerak.id – Sementara banyak negara masih memperdebatkan sejauh mana kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) seharusnya diberi wewenang, Albania justru tanpa ragu menunjuk sebuah sistem AI sebagai “menteri” pada September lalu. Namanya Diella. Ia tampil bukan sebagai baris-baris kode atau suara tanpa raga, melainkan sebagai avatar digital seorang perempuan yang mengenakan pakaian tradisional Albania. Tugasnya adalah mengawasi tender publik, sektor yang telah lama menjadi sarang korupsi di sana.
Kini sudah hampir tiga bulan sejak Diella ditunjuk, dan Albania masih menjadi negara yang sama korupnya. Apa yang salah? Apakah kita hanya terlalu cepat mengambil kesimpulan? Atau, kabar buruknya, Menteri AI memang tidak akan pernah bisa memberantas masalah politik semacam korupsi?
Untuk memulainya, kita perlu memahami dulu latar dan aspirasi di balik kemunculan Diella. Yang membuat “menteri” bertenaga AI ini menarik adalah bahwa ia sangat baru dan sangat klasik sekaligus. Di permukaan, ia sangat baru karena sepanjang sejarah menteri selalu dijabat oleh “seseorang”, bukan “sesuatu”.
Namun, aspirasi yang melatarinya telah sama tuanya dengan filsafat politik. Plato, misalnya, membayangkan penguasa ideal sebagai sosok yang rasional, imparsial, dan kebal terhadap gejolak nafsu. Itulah sebabnya, bagi Plato, pemimpin politik harus merupakan seorang filsuf (philosopher-king)–gagasan yang secara implisit mempromosikan dirinya sendiri.
Aspirasi kuno itu menemukan bentuk modernnya dalam neoliberalisme, doktrin ekonomi-politik yang mengultuskan tata kelola teknokratis. Para pendukungnya meyakini bahwa pemerintahan harus digerakkan oleh para ahli (ekonom, ilmuwan, atau konsultan) agar setiap keputusan didasarkan pada fakta dan perhitungan murni. Hanya dengan begitu, konon, konflik politik dapat dihindari.
Baca Juga: ITB Membentuk Satgas Aplikasi AI, Kecerdasan Buatan Tidak Punya Etika
Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk
Bagaimana Teknologi Kecerdasan Buatan dan Realitas Virtual Merambah Industri Film? Diskusi Tentang Kecerdasan Buatan di FSAI 2025 Bandung
Korupsi Albania dan “Sophie’s Choice”
Diella adalah perwujudan paling harfiah dari aspirasi tersebut: pemimpin politik yang tidak punya nafsu, ambisi, atau “sepupu”–salah satu saluran korupsi terbesar di Albania. Perlu dicatat, korupsi di negara kecil Balkan ini telah sangat kronis. Indeks Persepsi Korupsi mereka pada tahun 2024 hanya 42 dari 100 (semakin tinggi skor, semakin bersih), membuat mereka menempati peringkat ke-80 dari 180 negara. Korupsi yang kronis, bagi Albania, bukan hanya mengganggu perekonomian, tetapi juga menghambat impian besar mereka untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Diella lantas diperkenalkan untuk menjawab kebuntuan tersebut: jika korupsi bermula dari keserakahan, loyalitas, atau dendam, maka mungkin sebuah entitas “rasional” tanpa nafsu dapat menutup pintu itu. Ia dapat memindai ribuan kontrak dalam hitungan detik, mendeteksi pola tender mencurigakan yang luput dari auditor manusia, dan menolak tekanan emosional yang kerap melicinkan jalannya kesepakatan korup.
Diella bisa dibilang menyerupai Tuhan-nya Leibniz: sang arsitek maha baik yang (harus dianggap) telah menciptakan versi alam semesta terbaik. Seandainya kita mengetahui apa yang diketahui sang arsitek, kita akan menyadari bahwa jagat ini sudah sebaik mungkin, meskipun terjadi hal-hal yang kita anggap sebagai kecacatan. Demikian pula Diella: apa pun yang diputuskannya, itu diyakini sebagai pilihan kelas satu.
Namun, asumsi teknokratis seperti itu cenderung problematis dan bahkan berbahaya. Asumsi ini menganggap korupsi sebagai penyimpangan teknis, semacam gangguan dalam birokrasi Weberian. Padahal di Albania, seperti di banyak demokrasi pasca-otoritarian lainnya, korupsi bukan sekadar cacat dalam sistem. Ia adalah bagian dari sistem itu sendiri.
Sebagaimana diamati dengan akurat oleh Sarah Chayes dalam bukunya “Thieves of State”, korupsi meruak ketika penguasa dan elite membentuk jaringan keluarga, birokrat, dan aparat keamanan yang berfungsi untuk mengeruk uang–dan seiring waktu, korupsi mengeras menjadi sebuah sistem yang sengaja dipertahankan untuk menjaga agar uang tetap mengalir.
Di negara-negara bobrok, korupsi telah menjadi cara partai politik mempertahankan koalisi, cara keluarga menghadapi ketidakpastian, dan cara birokrat memberi makan dirinya. Korupsi karenanya lebih dari sebatas sumber kekayaan yang ilegal; ia ironisnya merupakan lem yang menjaga kekuasaan tetap stabil dan kohesif.
Di sinilah kita berhadapan dengan situasi “Sophie’s Choice”.
Istilah ini berasal dari novel William Styron (1979) dan adaptasi filmnya (1982), di mana seorang penyintas Holocaust asal Polandia bernama Sophie dipaksa oleh seorang perwira Nazi untuk memilih satu dari dua anaknya yang akan dieksekusi. Jika menolak memilih, keduanya akan dikirim menuju kematian. Dalam bahasa sehari-hari, Sophie’s Choice kini kerap mengacu pada pilihan yang sama-sama pahit, hasil yang sama-sama menghancurkan.
Diella tampak memicu dilema semacam itu. Jika menteri bertenaga AI benar-benar efektif memberantas korupsi, dalam arti ia berhasil melacak dan memutus sirkuit patronase yang menopang loyalitas politik dan kohesi elite, maka ia akan menggerogoti fondasi kekuasaan yang mapan. Bisa dibilang, AI anti-korupsi yang benar-benar ampuh adalah sesuatu yang berbahaya secara politis.
Dan para elite korup hampir pasti akan melawan sistem semacam itu, mungkin dengan menetralkannya, menyabotasenya, atau mengakalinya. Yang paling masuk akal, alih-alih lenyap, korupsi hanya akan bermigrasi ke ranah yang tidak dapat dijangkau oleh algoritma: jaringan patronase informal, yayasan swasta, atau organisasi “amal”.
Sebaliknya, apabila Diella tidak efektif, maka ia tidak berbahaya sama sekali. Dan itu berarti tidak ada yang berubah; Albania tetap menjadi negara yang korup. Paling banter, ia sebatas menjadi ornamen simbolis revolusi politik yang memberi kesan keseriusan negara dalam memberantas korupsi, ketika sebenarnya struktur ekonomi-politik yang mendasarinya tetap tidak tersentuh.
Itulah Sophie’s Choice: semakin efektif Diella bekerja, semakin besar ancaman yang ia timbulkan bagi kepentingan politik yang berkuasa; semakin ia tidak efektif, yang berarti dapat diterima secara politik, semakin kecil dampaknya. Andaikan Diella ditarik sepenuhnya, seperti bila saja Sophie menolak untuk memilih, situasinya tidak akan kembali ke kondisi netral dan malah berisiko memburuk.
Kosmetika Digital
Rakyat Albania, yang sudah terbiasa dengan puluhan tahun patronase dan skandal, akan memaknai manuver ini bukan sebagai koreksi yang berguna, melainkan sebagai bukti bahwa reformasi itu sendiri mustahil. Sinisme niscaya menguat: rakyat akan melihat pemerintah secara struktural tidak mampu mendisiplinkan elitenya sendiri, dan setiap inisiatif anti-korupsi di masa depan bakal dinilai sebagai sandiwara belaka.
Maka, perdebatan tentang apakah AI mampu “bijaksana” atau “berempati” kurang menangkap inti persoalan. Masalahnya lebih sedikit soal apakah Diella dapat mengambil “keputusan yang bijak”. Masalahnya adalah bahwa korupsi bukan semata isu pengambilan keputusan. Korupsi adalah sebuah pengorganisasian politik. Sebuah cara distribusi sumber daya. Sebuah strategi kekuasaan.
Itulah sebabnya penunjukan Diella tanpa reformasi institusional hanya akan bersifat simbolis alih-alih substantif. Perdana Menteri Albania Edi Rama memang telah lama piawai menjadi “selebriti” politik, dan Diella tampaknya hanya mencontohkan satu gimmick dramatisnya yang baru. Institusi Albania masih lemah, mekanisme checks and balances terbatas, dan pemahaman publik soal AI tidak merata.
Diella sendiri bahkan diperkenalkan tanpa dasar konstitusional, tanpa perdebatan parlementer, dan tanpa partisipasi publik yang mengungkap bukan revolusi politik melainkan konsolidasi kekuasaan dengan estetika inovasi.
Maka yang terpenting sekarang bukanlah seberapa maju Diella, tetapi seberapa serius Albania memperkuat institusi politik dan ekonominya. Tanpa perlindungan hukum, kerangka tata kelola yang transparan, dan jalur pengaduan yang kredibel, Diella hanyalah kosmetika digital yang mengilap di permukaan tetapi rapuh di dalam. Lebih mengkhawatirkan lagi, ia berisiko menjadi instrumen legitimasi politik yang membuat rakyat Albania lupa akan urgensi perubahan politik yang nyata.
Untuk saat ini, Diella berdiri sebagai simbol dari harapan, keputusasaan, dan kesalahpahaman yang mendalam. Jika Albania (atau siapa pun) ingin memerangi korupsi, ia harus terlebih dulu memutuskan apakah ia bersedia mempertaruhkan tatanan yang mempertahankan penguasanya. Hanya setelah itu, alat apa pun–manusia atau mesin–akan benar-benar berarti.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

