MAHASISWA BERSUARA: Salah Menafsir Kodrat Perempuan
Ketidaksetaraan gender tidak muncul dari kodrat biologis, tetapi dari konstruksi sosial yang keliru dan politis.

Mikaela Dian Sasami
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali
17 Desember 2025
BandungBergerak.id – Kesetaraan gender tetap menjadi isu penting karena dunia belum sepenuhnya adil bagi perempuan. Laporan UN Women tahun 2023 menunjukkan perempuan masih menghadapi hambatan sistemik dalam pendidikan, pekerjaan, dan politik yang menghalangi partisipasi setara dalam kehidupan modern. Penelitian Piketty dalam Capital and Ideology (2020) menampilkan bahwa ketidaksetaraan gender berakar pada struktur sosial yang menempatkan perempuan sebagai kelas subordinat. Fenomena serupa terlihat di Indonesia yang masih menyimpan bias budaya dalam gagasan mengenai peran perempuan. Semua itu menegaskan bahwa perjuangan kesetaraan belum selesai.
Dalam budaya Jawa, konsep kodrat perempuan lama terbingkai dalam nilai patrilineal dan domestik yang menekankan rumah tangga sebagai ruang utama perempuan. Konsep “macak, masak, manak” menjadi simbol peran tradisional yang dianggap ideal bagi perempuan Jawa selama berabad abad (Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1985). Nilai tersebut memosisikan perempuan sebagai pengatur rumah, penyimpan harmoni keluarga, dan pemberi keturunan. Modernisasi memang mengubah sebagian fungsi ini, tetapi warisan pemikirannya tetap menyisa kuat hingga kini. Banyak keluarga masih memandang peran domestik sebagai tanggung jawab utama perempuan.
Masalah muncul ketika konstruksi budaya diperlakukan sebagai kodrat biologis yang tidak boleh diganggu dalam kehidupan sosial. Banyak laki-laki memakai tafsir keliru tentang kodrat perempuan sebagai alat mempertahankan dominasi sosial. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) menyatakan bahwa perempuan tidak dilahirkan inferior, tetapi diciptakan inferior oleh struktur budaya yang dikuasai laki-laki. Kesalahan membaca kodrat biologis mengaburkan batas antara kemampuan alamiah dan peran sosial yang sebenarnya dapat dinegosiasi. Ketidakpahaman ini akhirnya memunculkan pembenaran palsu bagi berbagai bentuk pembatasan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Generasi Z sebagai Pendorong Kesetaraan Gender dalam Dunia Bisnis
MAHASISWA BERSUARA: Pro Kontra Undang-undang yang Mengatur Aborsi yang Berdampak pada Isu Kesetaraan Gender
MAHASISWA BERSUARA: Membela Perempuan Tangguh di Lahan Tani, Mewujudkan Reforma Agraria Sejati yang Berkeadilan Gender
Stereotip Gender
Kodrat biologis perempuan terletak pada kemampuan mengandung, melahirkan, dan menyusui dengan organ reproduksi yang berbeda dari laki-laki. Namun kodrat ini tidak berkaitan dengan kecerdasan, kemampuan memimpin, kompetensi teknis, atau kapasitas intelektual. Cordelia Fine dalam Delusions of Gender (2010) menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam kemampuan kognitif antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, penyamaan fungsi domestik dengan kodrat biologis merupakan kekeliruan konseptual yang merugikan perempuan. Kesalahan ini mempersempit ruang perempuan dalam banyak bidang.
Ketidaksetaraan gender semakin tampak saat perempuan dibatasi aksesnya pada pendidikan, jabatan publik, serta posisi kepemimpinan. Studi World Bank dalam Women, Business and the Law (2023) menunjukkan perempuan masih menghadapi hambatan hukum dan sosial yang memperlambat kemajuan karier. Di Indonesia, riset Komnas Perempuan 2022 mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan yang menunjukkan ketimpangan kuasa masih sangat kuat. Ketidaksetaraan seperti ini memperparah lingkaran ketidakadilan sosial yang menghambat pembangunan manusia. Situasi ini memperlihatkan bahwa perlawanan terhadap stereotip gender masih penting.
Ketidakadilan gender sering muncul karena penyalahgunaan kekuasaan berbasis konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas tertinggi. Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2013) menjelaskan bahwa relasi gender terbentuk melalui konsensus sosial yang dianggap wajar meskipun sarat kepentingan kelompok dominan. Bias gender dalam institusi ekonomi, pendidikan, dan politik adalah contoh bagaimana kekuasaan bekerja secara halus mempertahankan dominasi laki-laki. Ketidakadilan tersebut bertahan karena dianggap normal oleh masyarakat. Padahal normalitas itu hanyalah hasil warisan sejarah.
Keterbatasan peran perempuan juga terlihat dari data ketimpangan ekonomi dunia yang masih besar. International Labour Organization dalam Global Wage Report (2022) menyebut perempuan rata-rata hanya menerima 80 persen dari upah laki-laki. Poppy Ismalina dalam konferensi GAMAICEB UGM 2023 menjelaskan bahwa beban ganda, diskriminasi struktural, dan pelecehan membuat perempuan sulit memperoleh mobilitas karier yang setara. Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan bukan persoalan kemampuan, tetapi ketidakadilan akses. Kesenjangan ini membuat perempuan harus berjuang lebih keras dibanding laki-laki.
Kesetaraan gender adalah kondisi ketika perempuan dan laki-laki memiliki hak, akses, kesempatan, dan perlindungan yang sama dalam kehidupan sosial. UNDP dalam Human Development Report (2021) mendefinisikan kesetaraan gender sebagai fondasi pembangunan manusia yang inklusif dan berkelanjutan. Kesetaraan tidak berarti menyamakan segalanya, tetapi memastikan perbedaan biologis tidak menjadi pembatas partisipasi sosial. Prinsip ini menempatkan manusia sebagai subjek yang bebas menentukan pilihan hidup. Kebebasan itu seharusnya berlaku bagi semua gender.
Kesetaraan Gender
Perjuangan kesetaraan gender sendiri telah melahirkan banyak tokoh perempuan berpengaruh yang mengubah sejarah. Malala Yousafzai memperjuangkan pendidikan anak perempuan meski menghadapi kekerasan yang mengancam hidupnya. Michelle Obama mengampanyekan kesehatan keluarga dan pendidikan perempuan melalui berbagai program global. Di Indonesia, figur seperti Siti Musdah Mulia mendorong reformasi pemikiran progresif dalam isu kesetaraan. Ada pula Tri Rismaharini yang menunjukkan kepemimpinan tegas dalam pelayanan publik yang humanis. Kehadiran mereka membuktikan kemampuan perempuan tidak pernah ditentukan oleh kodrat biologis.
Pengaruh tokoh-tokoh perempuan ini memperlihatkan bahwa perempuan mampu memimpin perubahan besar bila diberi ruang layak. Sri Mulyani mempengaruhi dunia ekonomi Indonesia dengan kebijakan fiskal yang tegas dan berintegritas. Najwa Shihab menggunakan jurnalisme independen untuk memperjuangkan suara publik secara konsisten dan berani. Di tingkat global, Jacinda Ardern menunjukkan kepemimpinan empatik yang efektif saat memimpin Selandia Baru menghadapi berbagai krisis. Keteladanan ini menjadi bukti bahwa kemampuan perempuan sangat relevan dalam tantangan dunia modern. Mereka hadir sebagai cermin keberhasilan pemberdayaan perempuan.
Memecahkan masalah ketidaksetaraan gender memerlukan redefinisi terang mengenai kodrat perempuan yang tidak boleh dipahami secara sempit. Nancy Fraser dalam Fortunes of Feminism (2013) menyerukan perlunya transformasi struktural yang melampaui perubahan simbolik semata. Redefinisi ini mencakup pembaruan kurikulum pendidikan, perbaikan budaya kerja, pembaruan hukum, serta penghapusan stereotip yang melemahkan perempuan. Perubahan paradigma harus didukung kebijakan publik yang inklusif dan berbasis bukti ilmiah. Kita perlu melihat kodrat secara manusiawi, bukan politis.
Solusi dapat dimulai dari integrasi pendidikan gender dalam kurikulum digital yang mudah diakses generasi muda. Teknologi dapat digunakan untuk menyediakan ruang aman bagi perempuan melalui aplikasi aduan dengan perlindungan data kuat. Perusahaan dapat menerapkan audit kesenjangan upah secara berkala sesuai rekomendasi OECD dalam Gender Equality 2023. Kampanye publik juga dapat diperkuat melalui karya seni digital, gim edukatif, dan konten visual yang ramah remaja. Pendekatan kreatif ini membantu mengubah persepsi secara menyenangkan.
Dari sisi kebijakan, pemerintah dapat memperluas implementasi CEDAW melalui aturan anti diskriminasi yang melindungi perempuan dalam pekerjaan dan ruang publik. Dukungan terhadap kepemimpinan perempuan dapat melalui kuota politik, pelatihan kepemimpinan, dan program mentoring profesional. Komunitas masyarakat dapat membangun ekosistem kesetaraan melalui kegiatan literasi gender, ruang diskusi pemuda, dan kolaborasi lintas budaya. Semua langkah ini memperkuat kesadaran bahwa kesetaraan merupakan investasi sosial jangka panjang. Masyarakat yang setara akan lebih stabil, kreatif, dan produktif.
Ketidaksetaraan gender tidak muncul dari kodrat biologis, tetapi dari konstruksi sosial yang keliru dan politis. Dominasi laki-laki bertahan karena tafsir sempit tentang peran perempuan yang seharusnya telah usang dalam masyarakat modern. Dengan redefinisi kodrat yang lebih rasional, dukungan kebijakan yang kuat, serta solusi kreatif berbasis teknologi, kesetaraan gender dapat tercapai. Dunia yang setara adalah dunia yang membuka peluang bagi semua manusia untuk berkembang secara bebas dan bermartabat. Kesetaraan adalah langkah penting bagi masa depan yang lebih adil dan manusiawi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

