MAHASISWA BERSUARA: Pro Kontra Undang-undang yang Mengatur Aborsi yang Berdampak pada Isu Kesetaraan Gender
Perdebatan mengenai pro dan kontra aborsi bukan hanya soal hukum atau moral, tetapi juga soal akses terhadap layanan kesehatan.

Audra Adelia Azzahra
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
16 Februari 2025
BandungBergerak.id – Gerakan feminisme semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesetaraan gender. Di berbagai belahan dunia, feminisme tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga gerakan yang memengaruhi kebijakan publik dan budaya populer. Feminisme sendiri adalah sebuah gerakan yang menyuarakan kesetaraan gender yang bertujuan untuk meningkatkan posisi perempuan di lingkungan yang didominasi oleh budaya patriarki. Gerakan ini mencakup beberapa bidang seperti sosial, politik, dan ekonomi (Halizah & Faralita, 2023). Gerakan ini telah menjadi gerakan global yang meluas, khususnya di ranah media sosial seperti X dan Instagram.
Media sosial menjadi platform yang sangat efektif untuk menyebarkan pesan feminisme, memungkinkan perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbagi pengalaman dan mendukung satu sama lain. Tagar seperti #MeToo, #TimesUp, dan #HeForShe menjadi contoh nyata bagaimana media sosial dapat menggerakkan massa untuk mendukung hak-hak perempuan (Eva Mazrieva, 2019). Dalam konteks Indonesia, feminisme juga mulai mendapat perhatian yang lebih luas, meskipun masih menghadapi tantangan dari budaya patriarki yang kuat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya organisasi dan komunitas yang aktif menyuarakan isu-isu perempuan, seperti pelecehan seksual, diskriminasi di tempat kerja, dan hak atas kesehatan reproduksi.
Meski mendapatkan dukungan luas, gerakan feminisme tetap menghadapi tantangan besar, terutama dari kelompok konservatif yang menilai feminisme bertentangan dengan nilai-nilai tradisional. Penolakan ini acap kali didasarkan pada pandangan bahwa feminisme merusak harmoni keluarga dan masyarakat. Selain itu, ada juga mispersepsi yang menyamakan feminisme dengan kebencian terhadap laki-laki, padahal inti dari gerakan ini adalah kesetaraan, bukan dominasi. Di sisi lain, feminisme juga dihadapkan pada tantangan internal, seperti perbedaan pandangan di antara para pendukungnya tentang prioritas isu dan cara perjuangan. Misalnya, feminisme di negara-negara barat lebih menekankan pada isu kesetaraan upah dan representasi politik, sedangkan di negara-negara berkembang, fokusnya sering kali pada hak dasar seperti pendidikan dan perlindungan dari kekerasan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa feminisme bukanlah gerakan yang seragam, tetapi sebuah spektrum yang mencerminkan kompleksitas isu gender di berbagai konteks.
Berdirinya gerakan feminisme dimulai ini dari sebuah kesadaran para perempuan yang merasa didiskriminasi dan didominasi oleh laki-laki. Gelombang pertama gerakan ini dimulai pada tahun 1792 oleh Mary Wollstonecraft yang menulis sebuah buku yang berjudul The Vindication of The Rights of Woman. Dalam karyanya ini, Mary menyebutkan bagaimana perempuan tidak mendapatkan sebuah hak untuk bersuara dan mengambil keputusan. Selain itu, Ia juga menyuarakan bagaimana perempuan tidak mendapatkan keadilan seperti pendidikan yang hanya didapatkan oleh laki-laki pada zaman itu. Hal ini dianggap dapat membuat perempuan hanya dapat bergantung pada laki-laki (Wollstonecraft, 2019). Wollstonecraft berharap bahwa wanita juga dapat stabil secara finansial setelah mendapatkan pendidikan. Gerakan ini tentunya mendapatkan banyak kritik dari kaum patriarki. Namun pada akhirnya, dalam periode ini sebuah keadilan terhadap wanita terwujud. Yaitu, perempuan dapat berpartisipasi dan berkarir dalam bidang politik.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Otokritik Organisasi Mahasiswa, sebagai Agen Perubahan atau Ilusi Agen Perubahan?
MAHASISWA BERSUARA: Membangun tanpa Merusak, Arsitektur Hijau Solusi di Masa Mendatang
MAHASISWA BERSUARA: Potensi Tanaman Ganja Medis untuk Kesehatan, Peluang atau Tantangan?
Kasus dan Opini Publik
Kekerasan Seksual terhadap perempuan sudah menjadi sebuah kejadian yang marak terjadi. Dilansir dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan per 1 Januari 2024 telah mencapai angka 20.726 kasus di Indonesia. Tidak jarang para korban yang mengandung bayi hasil kekerasan seksual ini diharuskan untuk menjaga sang bayi dan tidak menggugurkannya. Muncullah sebuah opini bahwa korban kekerasan seksual dapat melakukan aborsi terhadap bayi yang dikandungnya secara legal. Hal ini tentu menjadi sebuah peraturan yang menimbulkan banyak pro dan kontra. Sebagian orang merasa bahwa pengguguran bayi yang dikandung oleh korban kekerasan seksual sama dengan membunuh seorang anak yang tak berdosa. Namun sebagian orang juga berpendapat bahwa melakukan aborsi terhadap bayi tersebut karena dianggap dapat menguntungkan pihak ibu secara mental dan anaknya sendiri.
Menurut kaum feminis, bayi yang dikandung oleh ibu korban kekerasan seksual, tidak akan disayangi sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Hal ini tentu dikarenakan kondisi mental sang Ibu yang trauma akan kekerasan seksual yang dialaminya dulu. Pengguguran bayi hasil kekerasan seksual juga dapat melindungi sang Ibu dari bayang-bayang trauma dan pelaku karena harus hidup dengan darah daging pelaku kekerasan seksual seumur hidup. Terdapat pula pandangan bahwa mempertahankan bayi hasil kekerasan seksual dapat memperburuk kesehatan mental, memperpanjang rasa sakit, dan penderitaan sang ibu.
Undang-undang yang mengatur aborsi di Indonesia masih menjadi undang-undang yang masuk ke ranah pidana. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran karena dianggap tidak menyuarakan para korban kekerasan seksual. Dinyatakan bahwa setiap perempuan yang melakukan aborsi, akan dipidana dengan pidana penjara maksimal 4 tahun pada UU nomor 1 tahun 2023 pasal 463 ayat 1 KUHP. Dilema seorang wanita hamil yang merupakan korban kekerasan seksual ini menjadi sebuah kekhawatiran di mana ia diberikan sebuah pilihan berat, yaitu mempertahankan bayinya atau mendapatkan sebuah hukum pidana yang tentu dapat sangat memengaruhi kondisi psikologis sang korban.
Di sisi lain, undang-undang yang melarang aborsi juga dianggap sebagai bentuk kontrol terhadap tubuh perempuan. Feminisme memandang bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik bagi tubuh mereka sendiri. Menurut kaum feminis, keputusan untuk melakukan aborsi seharusnya didasarkan pada pilihan pribadi, bukan paksaan dari hukum, agama, atau norma sosial. Menurut Mardin pada tahun 2022, mereka berargumen bahwa undang-undang yang ketat tentang aborsi lebih banyak merugikan perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan seperti korban kekerasan seksual (Mardin et.al., 2022).
Gerakan feminisme sendiri menekankan bagaimana perempuan memiliki hak internal mengenai tubuhnya sendiri, memiliki hak tentang apa yang baik untuk tubuhnya, serta bagaimana hak dasar harus dilindungi. Kebijakan aborsi yang dianggap sebagai tindak pidana tentu dapat memicu dan menghambat hak para perempuan ini terhadap tubuhnya sendiri. Terlebih lagi bagaimana para perempuan khususnya korban kekerasan seksual terpaksa harus mempertahankan janin yang dikandungnya untuk menghindari sanksi hukum yang berlaku. Undang-undang ini menjadi sebuah penderitaan baru bagi para korban kekerasan seksual yang tentu menjadi sebuah desakan dari kaum feminis untuk segera mengubah ketentuan tersebut berdasarkan kebutuhan fisik, psikologis, dan emosional para korban kekerasan seksual.
Akses Terbatas Aborsi Aman di Indonesia
Perdebatan tentang aborsi bukan hanya soal hukum atau moral, tetapi juga soal akses terhadap layanan kesehatan. Di Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi khususnya aborsi legal yang aman masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah yang kurang terjangkau. Korban kekerasan seksual yang ingin melakukan aborsi sering kali harus melakukannya secara ilegal dengan risiko kesehatan yang sangat tinggi. Selain itu, stigma sosial terhadap aborsi membuat banyak perempuan enggan untuk mencari bantuan medis, sehingga mereka lebih rentan terhadap komplikasi medis yang berbahaya.
Praktik aborsi ilegal tentu akan membahayakan sang ibu dan menimbulkan dampak fatal. Beberapa dampaknya seperti pendarahan hebat yang disebabkan oleh penggunaan obat pengguguran janin yang melebihi dosis seharusnya. Selain itu, peradangan pada panggul, menyebarnya bakteri jahat ke seluruh tubuh juga menjadi kekhawatiran bagaimana aborsi ilegal dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan tempat aborsi yang ilegal dan aman perlu dilakukan oleh negara yang diperuntukkan bagi para korban kekerasan seksual.
Di tengah pro dan kontra ini, beberapa negara telah mengambil langkah untuk melegalkan aborsi dalam kasus-kasus tertentu seperti kehamilan akibat kekerasan seksual atau ketika kehamilan membahayakan nyawa ibu. Negara-negara ini berpendapat bahwa aborsi yang legal dan aman adalah bagian dari hak asasi manusia. Mereka juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan seksual dan akses terhadap kontrasepsi sebagai upaya untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan (Jovani, 2022).
Kesimpulannya, isu tentang undang-undang yang mengatur aborsi adalah refleksi dari perjuangan yang lebih besar untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya mencakup aspek hukum, tetapi juga menyentuh isu-isu mendasar seperti hak asasi manusia, kesehatan mental, dan keadilan sosial. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi semua pihak untuk mendengarkan suara perempuan, terutama mereka yang menjadi korban kekerasan seksual, dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar melindungi dan memberdayakan mereka. Dengan cara ini, kita dapat mendekati visi feminisme tentang masyarakat yang lebih adil dan setara.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara