• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Potensi Tanaman Ganja Medis untuk Kesehatan, Peluang atau Tantangan?

MAHASISWA BERSUARA: Potensi Tanaman Ganja Medis untuk Kesehatan, Peluang atau Tantangan?

Alangkah baiknya pemerintah memperkuat sistem hukum agar mampu mengatur dan mengawasi penggunaan tanaman ganja medis secara ketat ketimbang langsung melarangnya.

Anastasia Stella Netanya S

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) bandung

Ilustrasi. Kesehatan masih menjadi persolanan di Indonesia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

10 Februari 2025


BandungBergerak.id – Hukum di Indonesia seharusnya menjadi cerminan keberanian untuk beradaptasi, bukan sekadar warisan yang membatasi inovasi. Tanaman ganja atau Cannabis sativa yang kerap dipandang sebagai ancaman, sejatinya menyimpan harapan besar di bidang kesehatan. Namun, isu pemanfaatannya sebagai pengobatan telah berulang kali terkubur dalam kontroversi tanpa kemajuan penelitian yang berarti. Faktanya, banyak negara seperti Argentina, Australia, Finlandia, Kanada, Kroasia, Inggris, Selandia Baru, Siprus, Thailand, dan lainnya telah melegalkan penggunaan ganja medis. Negara-negara tersebut menunjukkan bahwa pengaturan penggunaan ganja medis dapat dilakukan tanpa mengorbankan prinsip penegakan hukum. Bahkan, World Health Organization (WHO) pun merekomendasikan penggunaan ganja untuk keperluan medis.

Potensi medis cannabis membuka peluang besar untuk pengobatan alternatif di Indonesia. Namun, hukum di Indonesia melarang penggunaannya untuk pengobatan karena dianggap adiktif dan berpotensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, sebagaimana telah diatur penggunaannya dalam UU Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009), bahwasanya narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk keperluan pengembangan IPTEK.

Pendekatan hukum ini perlu dikaji ulang terutama terkait pelarangan penggunaan cannabis untuk pengobatan, agar selaras dengan potensi medisnya dan perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa mengabaikan aspek pengawasan terhadap risiko penyalahgunaannya. “Negara ini sudah mulai tertarik dengan penggunaan ganja, namun kebijakan masih jauh di depan ilmu pengetahuan,” kata seorang ahli saraf, Staci Gruber. Penelitian di berbagai belahan dunia mulai mengungkapkan potensi cannabis atau ganja atau mariyuana, terutama senyawa aktifnya seperti THC (delta-9-tetrahydrocannabinol) dan CBD (cannabidiol), yang diyakini mampu meredakan rasa sakit kronis, mengurangi efek samping pengobatan kanker, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Buku The Science of Medical Cannabis karya Dr. David S. Younger menyoroti potensi luar biasa dari ganja medis sebagai alternatif pengobatan untuk penyakit kronis yang sulit diobati dengan terapi konvensional. Dr. Younger menjelaskan bahwa senyawa aktif dalam ganja, seperti THC (Δ9-tetrahydrocannabinol) dan CBD (cannabidiol), memiliki sifat terapeutik yang telah terbukti melalui penelitian ilmiah. THC efektif dalam mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi, mengelola nyeri neuropatik, dan meningkatkan nafsu makan pada pasien AIDS. Sementara itu, CBD menawarkan manfaat sebagai antiinflamasi, antikonvulsan, dan neuroprotektor yang sangat relevan untuk kondisi seperti epilepsi, multiple sclerosis, dan alzheimer.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Apakah JOMO Bisa Menjadi Solusi FOMO?
MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Otokritik Organisasi Mahasiswa, sebagai Agen Perubahan atau Ilusi Agen Perubahan?
MAHASISWA BERSUARA: Membangun tanpa Merusak, Arsitektur Hijau Solusi di Masa Mendatang

Penelitian Pemanfaatan Ganja di Bidang Kesehatan

Meta-analisis menunjukkan bahwa ganja medis memberikan hasil yang positif pada pasien dengan nyeri kronis, spastisitas akibat multiple sclerosis, dan gejala lain yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan biasa. Profesor David Nutt, ahli neuropsikofarmakologi dari Imperial College London, menjelaskan dalam sidang Mahkamah Konstitusi bahwa ganja medis telah terbukti efektif untuk mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi, spastisitas pada multiple sclerosis, serta kejang pada penderita epilepsi. Ahli Farmakologi dan Farmasi UGM, Prof. Zullies Ikawati, juga berpendapat bahwa ganja medis memiliki potensi medis untuk terapi maupun obat karena mengandung senyawa cannabinoid. Dengan profil keamanan yang baik, ganja medis juga memiliki risiko ketergantungan yang lebih rendah dibandingkan opioid, yang sering menjadi pilihan utama untuk mengelola nyeri kronis namun memiliki dampak buruk yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat. 

Indonesia pun memiliki urgensi untuk melegalkan ganja medis, terutama bagi anak pengidap cerebral palsy, sebab obat-obatan yang selama ini digunakan untuk mengatasi kejang pada anak cerebral palsy, terbukti dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan infeksi, sehingga telah ditarik dari peredaran. Desakan ibu-ibu (pemohon) dengan anak pengidap cerebral palsy atau epilepsi untuk mengeluarkan ganja dari narkotika Golongan I pun membuahkan penolakan dari Mahkamah Konstitusi akibat dianggap belum adanya dasar yang kuat akan keamanan penggunaan ganja medis tersebut, padahal salah seorang ibu mengungkapkan bahwa sebelum kembali ke Indonesia, anaknya telah mendapatkan terapi minyak ganja di Victoria, Australia, namun harus menghentikannya akibat sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika di Indonesia.

Dokter Divisi Psikiatri Adiksi FK Unair, dr. Soetjipto, pun menyarankan untuk menurunkan ganja medis menjadi narkotika Golongan II atau III agar dapat digunakan  dalam pengobatan. Dr. Tjipto turut menjelaskan bahwa ganja medis (Cannabis sativa) memiliki perbedaan dengan ganja untuk rekreasi (Cannabis indica), sehingga penggunaannya dianggap lebih aman. Senyawa CBD lebih banyak terkandung pada ganja medis, sedangkan senyawa THC (senyawa ini yang membuat sensasi memabukkan) lebih banyak terkandung pada ganja rekreasional. Food and Drug Administration (FDA) juga telah menyetujui pemanfaatan senyawa CBD ini sebagai obat. Studi yang dilakukan oleh Emilio Perucca (2017) pun menunjukan CBD mampu mengurangi kejang.

Menimbang Legalisasi Ganja Medis

Dalam kerangka ideologi negara kesejahteraan (welfare state), negara bertanggung jawab memaksimalkan kesejahteraan rakyatnya, legalisasi ganja medis menjadi solusi yang patut dipertimbangkan, karena tidak hanya memberikan manfaat kesehatan tetapi juga berpotensi mengurangi beban ekonomi akibat pengobatan konvensional yang tidak efektif. Perlu adanya reformasi kebijakan terkait ganja dalam UU Narkotika. Kekhawatiran pemerintah terhadap potensi penyalahgunaan ganja sebenarnya lebih berkaitan dengan permasalahan penegakan sistem hukum di Indonesia –struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)– bukan pada ganja itu sendiri. Hal ini dikarenakan substansi hukum yang sering kali kaku dan tidak responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, struktur hukum yang kompleks dan terkadang tumpang tindih mengakibatkan penegakan aturan tidak efektif, serta budaya hukum masyarakat yang cenderung menstigma dan memandang negatif penggunaan ganja, meskipun untuk tujuan medis, semakin memperumit penerapannya. Dengan kata lain, permasalahan sebenarnya terletak pada bagaimana hukum dirancang, dijalankan, dan diterima oleh masyarakat, bukan pada ganja sebagai substansi itu sendiri.

Oleh karena itu, permasalahan utama yang harus diatasi bukanlah substansi ganja itu sendiri, melainkan lemahnya sistem hukum dalam merespons isu ini. Alangkah lebih baiknya, pemerintah memperkuat sistem hukum agar mampu mengatur dan mengawasi penggunaan ganja medis secara ketat. Hal ini dapat dilakukan melalui penerapan regulasi yang jelas dan komprehensif, yang mengatur aspek legalisasi, distribusi, hingga penggunaan ganja medis secara tepat. Selain itu, pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum diperlukan untuk memastikan pengawasan yang efektif dan konsisten di lapangan. Tak kalah penting, edukasi kepada masyarakat perlu digalakkan untuk meningkatkan pemahaman tentang perbedaan antara penggunaan ganja medis yang sah dan penyalahgunaannya.

Legalisasi ganja medis di Indonesia bukan hanya sekadar langkah reformasi hukum, tetapi juga strategi untuk meningkatkan kualitas sistem kesehatan nasional. Dalam hal ini, hukum seharusnya beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, terutama dalam menghadapi tantangan kesehatan modern. Dengan reformasi kebijakan yang dirancang secara hati-hati, disertai pendidikan publik yang intensif dan mekanisme pengawasan yang ketat, legalisasi ganja medis dapat menjadi langkah progresif yang memanfaatkan potensi besar ganja medis. Pada saat yang sama, kebijakan ini dapat melindungi masyarakat dari risiko penyalahgunaan, sambil menjaga stabilitas sosial dan supremasi hukum.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//