Rifa Rahnabila dan Aktivis Muda Menghadapi Meja Hijau Terkait Demonstrasi Agustus, Dijerat Pasal UU ITE yang Sering Menyasar Suara Kritis Masyarakat
Perjuangan perempuan muda dan kawan-kawan dalam aksi protes Agustus–September 2025 diuji di persidangan, di tengah tuduhan penyebaran konten digital.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Desember 2025
BandungBergerak - Rifa Rahnabila duduk di ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, Rabu, 17 Desember 2025. Perempuan muda ini menjadi sorotan karena keterlibatannya dalam aksi protes Agustus–September 2025. Dalam kesaksiannya, Rifa menuturkan ia tergerak ikut demonstrasi untuk bersolidaritas terhadap kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang tewas dilindas rantis Brimob, serta menyoroti kenaikan tunjangan anggota DPR.
“Saya tergerak karena kenaikan tunjangan wakil rakyat,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Dalam perkara nomor 1027/Pid.Sus/2025/PN Bdg ini, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Rifa sebagai pembantu kejahatan karena diduga mendistribusikan konten elektronik yang bersifat menghasut dan memicu permusuhan di Gedung DPRD Jabar, 29 Agustus 2025. Ia menjadi satu-satunya perempuan muda yang diseret ke meja hijau terkait gelombang aksi tersebut, bersama enam rekan lainnya.
Kebebasan Berekspresi vs Dampak Fisik
Dalam sidang, saksi ahli dari JPU, Irawan Afrianto dari Unikom, menekankan bahwa persoalan utama kasus ini bukan sekadar kebebasan berekspresi di dunia digital. Yang menjadi masalah adalah bila ekspresi itu mendorong kekerasan fisik di dunia nyata.
Menurutnya, jika ekspresi menimbulkan kegaduhan di siber tanpa dampak fisik, umumnya tidak menjadi persoalan hukum serius. Masalah muncul jika konten mengarah pada kekerasan. Irawan kemudian menyinggung potensi delik pidana bila ekspresi digital berujung pada aksi fisik seperti pelemparan bom molotov.
Namun, kuasa hukum Rifa, Deti Sopandi dari Tim Advokasi Bandung Melawan, menilai keterangan ahli tersebut keliru. Ia menekankan UU ITE masih problematik dan rentan dipakai menjerat orang yang menyampaikan kritik. Deti berencana menghadirkan saksi ahli lain dari bidang pidana dan UU ITE pada sidang berikutnya, Rabu, 24 Desember 2025.
Rekaman dan Solidaritas Digital
Rifa hanya merekam dan menunggah situasi aksi melalui akun kedua Instagram, bukan akun pribadinya. Bersama enam terdakwa lainnya—Yusuf Miraj, Rifal Zhaffran, Arfa Febrianto, Rizki Fauzi, Deni Rukhiyat, dan Azril Agung—mereka diperkarakan dengan tuduhan serupa.
Deti menegaskan, negara seharusnya bangga dengan luapan amarah orang muda yang turun aksi karena kekecewaan, termasuk kenaikan tunjangan DPR dan tragedi kematian Affan Kurniawan.
Deti menambahkan, Rifa dan kawan-kawan tiba di lokasi setelah kericuhan terjadi, sementara polisi lebih dulu menembakkan gas air mata.
“Diketahui bahwa pelemparan itu ada yang gagal. Dan tendensinya, tindakan-tindakan tersebut dilatarbelakangi oleh motif kesadaran politik, kesadaran politis,” jelas Deti.
Selama penahanan, lanjut Deti, Rifa mengalami kesulitan akses kesehatan dan tekanan mental. Sementara enam tahanan laki-laki lain juga melaporkan kekerasan fisik, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi saat proses BAP.
Kasus Zaki: Meminjam Akun TikTok Bukan Pidana
Kasus serupa menimpa Zaki, terdakwa dalam perkara nomor 103/Pid.Sus/2025/PN Bdg. Ia didakwa karena meminjamkan akun TikTok dan ponselnya untuk siaran langsung aksi. Namun, saksi ahli dari Universitas Bina Nusantara, Vidya Prahassacitta, menilai pernyataan yang muncul dalam live streaming tidak memenuhi unsur ujaran kebencian menurut UU ITE maupun KUHP.
Vidya mengatakan, ujaran kebencian yang menjadi delik pidana harus ditujukan kepada kelompok masyarakat tertentu berdasarkan identitas yang dilindungi seperti ras, kebangsaan, etnis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, atau disabilitas. Namun untuk institusi negara seperti DPR, pemerintah, atau kepolisian tidak termasuk kelompok yang dilindungi delik ujaran kebencian ini.
Ia juga menekankan prinsip clear and present danger: ekspresi baru dapat dipidanakan bila menimbulkan bahaya nyata dan langsung. Dalam kasus ini, kerusuhan telah terjadi sebelum live streaming dilakukan.
Baca Juga: image Warga Kota Bandung maupun Bandung Raya membutuhkan transportasi publik berupa bus yang saling terkoneksi engan moda transportasi umum lainnya. (Desain: Reza Kh
Kelas Liar Besar Membedah Hak Asasi Manusia, Oligarki, dan Kebutuhan Kekuatan Kolektif
Solidaritas dan Perburuan Siber
Tim Advokasi Bandung Melawan mengajak masyarakat hadir mengawal persidangan. Rifa dan Zaki disebut menjadi korban perburuan siber, praktik patroli, pemantauan, dan pelacakan unggahan warga di internet yang meningkat selama gelombang protes Agustus–September 2025.
Menurut laporan SAFEnet, sepanjang periode itu terdapat 59 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi digital dengan 156 korban. Sebanyak 128 orang menjadi target kriminalisasi bermotif politik, termasuk warga biasa dan aktivis. Instagram dan TikTok menjadi platform utama yang dijadikan dasar pelaporan.
“Patroli siber ini minim akuntabilitas dan berubah menjadi alat represi digital. Padahal ruang digital seharusnya membuka dialog dan penyelesaian masalah sosial,” demikian pernyataan SAFEnet.
SAFEnet juga mencatat Jawa Barat sebagai daerah terbanyak pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital dengan jumlah sebanyak 108 orang. Selanjutnya, di Jakarta terdapat 20 orang korban pelanggaran kebebasan berekspresi daring. Hal ini lagi-lagi berkaitan dengan penangkapan masal massa aksi protes Agustus oleh kepolisian.
Patroli siber ini dinilai SAFEnet minim akuntabilitas dan berubah menjadi alat represi digital dengan pola perburuan admin media sosial, stigmatisasi, dan kriminalisasi ekspresi politik. Menurut SAFEnet, media sosial semestinya menjadi ruang dialog serta penyelesaian akar persoalan sosial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

