• Opini
  • Ketika Negara Menutup Mata, Ibu-ibu Cibetus Banten Menjadi Benteng Terakhir Lingkungan

Ketika Negara Menutup Mata, Ibu-ibu Cibetus Banten Menjadi Benteng Terakhir Lingkungan

Konstitusi menjamin partisipasi rakyat dalam menjaga lingkungan. Tetapi dalam praktiknya, yang terjadi justru kriminalisasi terhadap warga.

Joenietz

Individu merdeka yang ikut bersolidaritas

Ibu-ibu Cibetus Padarincang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Banten. (Foto: Dokumentasi Joenietz)

23 Desember 2025


BandungBergerak.id – Jika ada satu peristiwa yang paling mengguncang lanskap politik lokal di Banten beberapa tahun terakhir, maka perjuangan ibu-ibu Cibetus Padarincang layak dicatat sebagai salah satu babak paling telanjang dari bagaimana negara, korporasi, dan hukum bekerja saling bertaut sementara warga terutama perempuan ditempatkan hanya sebagai angka statistik.

Kasus pembakaran kandang ayam milik PT STS jelas bukan sekadar soal “hukum”, “perbuatan pidana”, atau “pengrusakan fasilitas usaha”. Ia adalah titik ledak dari kemarahan panjang masyarakat atas pencemaran lingkungan yang dianggap telah diabaikan bertahun-tahun. Ketika udara berbau menyengat, air sungai tercemar, dan kesehatan warga terancam, kepada siapa mereka harus meminta perlindungan? Negara? Pemerintah daerah? Atau pada akhirnya mereka dipaksa menyadari bahwa perlindungan lingkungan yang dijanjikan konstitusi hanya retorika kosong di baliho pencitraan?

Dalam konteks itulah aksi protes yang kemudian berujung pada kriminalisasi harus dibaca secara politis: ibu-ibu Cibetus tidak sedang melakukan tindakan kriminal, tetapi menagih hak konstitusionalnya: hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ironisnya, setelah aksi itu, justru para suami mereka dipenjara, sedangkan perusahaan yang dituding mencemari lingkungan tetap beroperasi dengan legitimasi hukum yang seakan tak tergoyahkan.

Lalu, siapa sebenarnya pelaku kriminal dalam kasus ini?

Baca Juga: Aksi Solidaritas di Polresta Bandung, Menyerukan Penolakan Kriminalisasi Petani Hutan
Tambang Pasir Gunung Guntur dalam Dilema Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Isu Lingkungan, Anak Tiri Aktivisme Publik

Pola Lama Konflik Lingkungan di Indonesia

Sudah lama kita melihat pola serupa dalam konflik lingkungan di Indonesia. Warga yang mempertahankan ruang hidup dituduh sebagai pengganggu investasi. Pemerintah segera mengeluarkan narasi “peraturan harus ditegakkan”, tetapi lupa bahwa peraturan itu semestinya membatasi korporasi, bukan membungkam suara rakyat.

Konstitusi menjamin partisipasi rakyat dalam menjaga lingkungan. Tetapi dalam praktiknya, yang terjadi justru kriminalisasi terhadap warga, sementara pelanggaran korporasi sering ditangani “secara administratif” tanpa konsekuensi serius. Ini bukan sekadar bias, tetapi pola politik pembangunan yang menempatkan investasi sebagai prioritas utama sekalipun harus mengorbankan kesehatan warga. Ketika kemudian ibu-ibu Cibetus melanjutkan perjuangannya ke PTUN, mereka bukan sedang membela keluarga sendiri: mereka sedang menantang struktur hukum yang memihak kekuasaan modal. Ini bukan pertarungan kecil, ini perlawanan politik.

Kita harus mengakui satu hal penting: negara sering lupa bahwa perempuan adalah pihak yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. Mereka yang mengurus kesehatan keluarga, mereka yang mengelola air untuk kebutuhan rumah tangga, mereka pula yang harus menjadi benteng ketika krisis kesehatan muncul. Dalam konteks ini, keberanian ibu-ibu Padarincang adalah bentuk politik feminis akar rumput meski mereka sendiri mungkin tidak pernah menyebutnya demikian. Mereka sedang mempertahankan kehidupan dengan tubuh, suara, dan keberanian mereka sendiri. Dan keberanian ini muncul bukan dari ideologi, tetapi dari kenyataan hidup yang terancam.

Ada pertanyaan besar yang hingga kini tak pernah dijawab. Mengapa izin bisa tetap diberikan meskipun pencemaran dilaporkan warga? Mengapa proses hukum yang menyasar warga begitu cepat, sementara penyelidikan terhadap dugaan pencemaran begitu lambat? Mengapa negara selalu lebih cepat memihak perusahaan ketimbang warga?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar kritik, tetapi tuduhan langsung terhadap arsitektur hukum yang timpang. Dan jika negara tidak mampu menjawab, maka legitimasi moral kekuasaan itu patut dipertanyakan. Langkah ibu-ibu Cibetus untuk menggugat melalui PTUN memberi pesan jelas: rakyat tidak menyerah. Mereka mengubah perlawanan jalanan menjadi pertarungan hukum, memaksa negara untuk bertanggung jawab dalam kerangka yang negara ciptakan sendiri. Apa pun hasil dari persidangan nanti, sejarah sudah mencatat: ketika negara diam, perempuan bergerak. Ketika hukum memihak modal, rakyat menciptakan keadilan versinya sendiri.

Peristiwa Cibetus bukan sekadar konflik lingkungan biasa. Ini adalah refleksi konkret dari bagaimana demokrasi lingkungan di Indonesia tengah mengalami erosi: negara terdakwa, rakyat korban, perempuan pahlawannya. Jika suara perempuan yang membela hak hidup tetap dianggap ancaman oleh negara, maka masalah kita bukan lagi soal pencemaran lingkungan tetapi pencemaran demokrasi.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//