• Opini
  • Mengapa Pohon Kawung Menjadi Kunci Budaya Penduduk Perdesaan di Tatar Sunda?

Mengapa Pohon Kawung Menjadi Kunci Budaya Penduduk Perdesaan di Tatar Sunda?

Pohon kawung dikenal lama sebagai tumbuhan serbaguna yang berperan penting bagi fungsi ekologi, ekonomi, dan ketahanan pangan. Sudah waktunya dibudidayakan.

Johan Iskandar

Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)

Pohon kawung yang sedang berbuah lebat. (Foto: Johan Iskandar)

26 Desember 2025


BandungBergerak.id – Di beberapa tempat di Tatar Sunda dikenal sungai atau daerah dengan nama Kawung. Misalnya, di wilayah Desa Karangwangi, Cidaun, Cianjur Selatan, dikenal nama Sungai (Walungan) Cikawung. Sementara di Kecamatan Tanjungsiang, Subang, daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, dikenal nama Desa Cikawung. Dalam bahasa Sunda Ci atau Cai artinya air atau sungai dan Kawung merupakan nama tumbuhan dari Famili Arecaceae, dengan nama ilmiahnya disebut Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Kawung dalam bahasa Indonesia biasa disebut aren atau dalam bahasa Inggris yakni Sugar Palm.

Berdasarkan toponimi, asal-usul nama Cikawung tak lepas kaitannya dengan sejarah ekologi  atau sejarah lingkungan bahwa di desa tersebut banyak ditemukan pohon-pohon kawung, khususnya di masa lalu. Kini pohon-pohon kawung, seperti di Desa Cikawung, Tanjungsiang,  telah banyak berkurang karena telah banyak yang ditebang. Sementara regenerasi tumbuhan kawung lebih mengandalkan hanya pada tumbuh secara alami atau setengah alami, tidak ada penanaman atau budidaya khusus untuk tumbuhan kawung.  Dengan berkurang atau punah tumbuhan kawung, dapat menyebabkan  pula berkurangnya atau punahnya berbagai manfaat tumbuhan kawung bagi penduduk perdesaan.

Baca Juga: Menurunnya Keanekaragaman Pangan Tradisional
Perubahan Lingkungan dan Hilangnya Pemondokan Aman untuk Burung
Terkikisnya Keanekaragaman Hayati yang Mengancam Ketahanan Pangan di Perdesaan

Kawung di Perdesaan 

Kawung merupakan tumbuhan yang dapat ditemukan berbagai kawasan di dataran rendah ataupun di dataran tinggi di Tatar Sunda. Walaupun sesungguhnya kawung tumbuh lebih sesuai di kawasan dataran tinggi, pada ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan air laut (dpl). Pada umumnya kawung tumbuh setengah liar atau liar di lereng-lereng bukit, di kawasan hutan sekunder, kebun campuran pepohonan (talun) pinggiran hutan, dan bahkan di pekarangan perdesaan. Banyak manfaat ekologi maupun sosial ekonomi dan budaya dari tumbuhan kawung.  

Walaupun kawung banyak manfaatnya bagi masyarakat perdesaan, tetapi penyebaran dan regenerasi pohon kawung sepertinya lebih mengandalkan bantuan satwa mamalia careuh (Paradoxurus hermaproditus) daripada diusahakan dengan sengaja ditanam atau dibudidayakan. Malah, pohon kawung di perdesaan banyak yang ditebang atau lahan tempat tumbuhnya dialihfungsikan menjadi peruntukan lain. Regenerasi pohon kawung juga sangat kurang di perdesaan karena tidak ada atau jarang  dilakukan penanaman kawung secara khusus di lahan-lahan pertanian khususnya wilayah pedesaan di Tatar Sunda.  

Sungguh dikhawatirkan, punahnya pohon-pohon kawung secara lokal dapat menyebabkan musnahnya pula sistem pengetahuan lokal (Local Knowledge) atau pengetahuan ekologi tradisional (Traditional Ecological Knowledge-TEK), praktik budaya, serta linguistik lokal penduduk perdesaan yang berhubungan dengan kawung. Pasalnya, ada hubungan yang sangat kuat antara praktik budaya, linguistik lokal, dan biologi dengan membentuk biocultural system serta TEK sebagai faktor utamanya.

Pengetahuan Lokal Penduduk

Penduduk perdesaan di Tatar Sunda menamakan tumbuhan aren dengan sebutan kawung. Berdasarkan pengetahuan penduduk perdesaan di Rancakalong, Sumedang, pohon kawung dapat dibedakan menjadi 3 variasi (landraces) yaitu kawung ageung, kawung kembang, dan kawung saeran.  Ketiga variasi kawung tersebut dapat dibedakan oleh penduduk lokal berdasarkan pada tinggi pohon, diameter batang pohon, jumlah buah (caruluk), kebiasaan untuk disadap, dan berdasarkan tempat tumbuhnya (Iskandar 2018).

Kawung ageung misalnya memiliki ciri bentuk pohon tinggi, diameter batang besar, jumlah caruluk banyak, bisa disadap, dan cocok tumbuhnya di tempat terbuka (hegar) yang tidak ternaungi oleh rerimbunan vegetasi lain. Kawung kembang memiliki tanda-tandanya antara lain pohon tumbuh tinggi, diameter batang pohon besar, jumlah caruluk sedikit, kadang-kadang bisa disadap atau pun tidak bisa disadap, dapat tumbuh di tempat rimbun dari naungan vegetasi lain (hieum). Sementara kawung saeran  memiliki ciri tubuh pohonnya pendek, diameter batang pohon kecil, jumlah caruluk sedang,  bisa disadap, dan dapat tumbuh di tempat terlindung.

Pohon-pohon kawung tumbuh di berbagai tataguna lahan, seperti leuweung lembur, huma, kebun campuran tatangkalan (talun), bahkan kadang-kadang di pekarangan. Pada waktu pohon-pohon kawung dewasa di talun ataupun leuweung lembur, biasanya di bawahnya berserakan buah-buah kawung yang jatuh dari pohonnya. Ketika penduduk membuka talun untuk dijadikan huma atau kebun biasanya tumbuhan bawah atau semak-semak belukar ditebang habis dan pepohonan nilai ekonomi tinggi biasanya dibiarkan tetap tumbuh, hanya dipangkas cabang-cabang dan rantingnya, supaya sinar matahari tetap masuk ke permukaan tanah. Selanjutnya sisa-sisa tebangan semak tumbuhan bawah dan belukar, serta ranting-ranting hasil  pemangkasan pohon di bakar. Pada umumnya, saat dilakukan pembakaran, terdapat buah-buah kawung yang ikut terbakar, tetapi tidak sampai hangus. Buah kawung yang terbakar tersebut nantinya akan tumbuh menjadi benih pohon kawung.

Mengapa bisa demikian? Kulit biji kawung sangat keras sehingga air dan oksigen sulit masuk, serta terkadang embrio buah juga belum matang, maka dengan terbakar menjadikan sifat dormansi buah kawung menjadi hilang dan berubah menjadi aktif. Sehingga tidak heran pada saat musim hujan ketika kebun atau huma ditanami padi, buah-buah kawung yang terbakar berkembang menjadi benih (petétan) kawung. Biasanya penduduk perdesaan menemukan benih kawung di berbagai lanskap, seperti di pinggiran hutan, kebun, talun, dan huma, serta di sekitar tempat semaian/benih kawung tersebut yang telah dibersihkan dari tumbuhan pengganggu (dibobokor). Hal tersebut dimaksudkan agar semaian tumbuh dapat tumbuh baik, tidak terganggu oleh rerumputan atau semak-semak di sekitarnya.

Cara regenerasi pohon kawung lainnya utamanya dibantu oleh satwa mamalia luwak (careuh).  Caranya, biasanya careuh gemar memanjat pohon kawung dan memakan buah-buah kawung (caruluk), dan ketika binatang tersebut buang kotoran di berbagai lanskap seperti hutan, pinggiran hutan, kebun, talun, huma, bahkan pekarangan, maka biji kawung yang bercampur dengan kotoran binatang tersebut tumbuh jadi petétan. Oleh karena itu, keberadaan careuh di perdesaan, walaupun binatang tersebut suka iseng memangsa ayam penduduk, tetapi peranannya di ekosistem perdesaan sangat penting antara lain guna membantu menyebarkan berbagai biji-bijian di alam seperti buah kawung, kopi, papaya, dan lain-lain.       

Manfaat Kawung

Kawung memiliki aneka ragam manfaat secara ekologi, sosial ekonomi, dan budaya bagi masyarakat perdesaan. Manfaat secara ekologi misalnya, akar pohon kawung dengan bentuk khas arsitektur model Corner, dengan kuat mencengkeram tanah. Kehadiran pohon kawung dapat  berfungsi penting untuk melindungi tanah dari bahaya bencana erosi dan longsor tanah di lahan-lahan curam di kawasan bukit-bukit, sempadan sungai, kebun, talun, dan huma. Pelepah-pelepah pohon kawung yang dipangkas waktu menebang semak belukar, biasanya dijadikan tanggul-tanggul terasering, menahan erosi tanah ketika persiapan lahan huma, dan kebun ketika tanaman di dalamnya masih kecil-kecil dan kanopinya belum bisa melindungi tanah dari tenaga kinetis air hujan dan belum banyak serasah untuk mengurangi air larian (run-off) air hujan di permukaan tanah.

Fungsi sosial ekonomi dari pohon kawung misalnya berasal dari air nira yang disadap dari pohonnya. Air niranya diolah digodok untuk dijadikan gula kawung ataupun dijadikan lahang minuman khas tradisional penduduk perdesaan. Gula kawung ataupun lahang, biasanya selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, biasa juga dijual untuk menghasilkan uang. Sementara penggunaan gula kawung dalam keluarga, umumnya digunakan untuk berbagai bahan minuman dan makanan tradisional seperti bajigur, bandrek, kolak sampeu, kolak hui boléd, kolak pisang, wajit, dodol aci kawung, dan lain-lain. Selain itu, dari caruluk (buah pohon kawung) bisa pula dibuat cangkaleng atau kolang kaling sebagai bahan campuran es buah, manisan kolang-kaling, kolak, dan sebagainya. Umbut kawung biasa dijadikan sumber pangan bahan sayur. Khusus tepung atau aci kawungnya dapat dibuat  bahan baku bihun, cendol, hunkue, dodol, dan lain-lain. Tepung kawung juga biasa dijadikan pakan ternak bebek, dan itik. Sementara batang bunga kawung (langari) dapat dijadikan pakan kambing.

Selain sebagai bahan pangan, kawung juga biasa dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan. Misalnya, ijuknya jadi bahan tambang, untuk membuat tempat sarang ikan di kolam, tulang daunnya dibuat sapu lidi, daunnya yang masih muda untuk kolobot rokok tembakau, serta  dijadikan umbul-umbul pada upacara tradisional, seperti ngalaksa, nyalin, dan sawen dalam kegiatan pengelolaan padi di sawah. Pelepah-pelepah daun kawung kering biasa pula dijadikan bahan kayu bakar

Di samping itu, abu pembakaran tangkai dan daun kawung (sarérang kawung) biasa dimanfaatkan penduduk untuk bahan obat tradisional, seperti bahan kosmetik guna menghaluskan kulit, dan menghilangkan jerawat, cacar, dan luka bakar di kulit.  Bukan hanya itu, dalam kondisi sering terjadinya kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan akibat perubahan musim, serta saat terjadinya ledakan hama, pada umumnya kawung cukup resistan terhadap berbagai perubahan lingkungan. Pengaruhnya, keberadaan pohon-pohon kawung dapat berperan penting bagi fungsi ekologi dan ekonomi, guna membantu ketahanan pangan penduduk perdesaan.

Mengingat pohon kawung banyak manfaat secara ekologi, sosial ekonomi, dan budaya, maka sesungguhnya kawung dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis tumbuhan kunci biokultural (biocultural keystone species) (Garibadi dan Turner, 2004). Hal tersebut artinya, jenis tumbuhan tersebut meskipun jumlah populasinya di ekosistem tidak banyak, tetapi memiliki fungsi penting, dengan aneka ragam fungsi ekologi, dan sosial ekologi budaya pada masyarakat. Maka, hilangnya atau punahnya kawung, tidak saja menyebabkan hilangnya fungsi ekologi, tetapi dapat menyebabkan berbagai gangguan dalam rangkaian praktik budaya yang sangat kompleks, seperti hilangnya aneka ragam kue-kue tradisional dari bahan aci dan gula kawung, berbagai upacara yang menggunakan daun kawung, termasuk punahnya berbagai istilah linguistik lokal yang berkaitan dengan kawung.  

Sejatinya di masa lalu, penduduk perdesaan di Tatar Sunda mengelola kawung berlandaskan pada Pengetahuan Ekologi Tradisional (TEK), berkelindan dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat. Misalnya, secara tradisi masyarakat perdesaan–dewasa ini masih kokoh dipertahankan oleh penduduk Baduy di Banten Selatan–ada tradisi pantangan (teu wasa) menebang pohon-pohon kawung  dan membiarkannya mati secara alami. Sementara, binatang mamalia careuh, yang berperan penting dalam membantu menyebarkan dan regenerasi pohon-pohon kawung di ekosistem perdesaan, jarang diburu secara masal oleh masyarakat. Imbas positifnya, pohon-pohon kawung dapat dimanfaatkan secara sistem berkelanjutan (sustainable system), sejalan dengan konsep saintifik.

Namun, berbeda dengan masyarakat tradisional, seperti masyarakat Baduy, masyarakat di berbagai perdesaan lainnya memanfaatkan pohon-pohon kawung secara kurang bijak. Misalnya, pohon-pohon kawung ditebangi secara intensif karena untuk kepentingan ekonomi komersial, seperti diambil tepung atau acinya, untuk bahan perdagangan komersial. Sementara careuh yang biasa membantu penyebaran regenerasi kawung di alam,  diburu secara masal dengan menggunakan bantuan anjing untuk diperdagangkan. Di samping itu, habitat binatang tersebut di ekosistem perdesaan, seperti hutan dan talun telah banyak yang rusak, bahkan punah. Konsekuensinya, stok populasi pohon-pohon kawung setiap waktu jumlahnya menurun karena penambahan/asupan terhadap stok populasi kawung lebih kecil, dari pada keluarannya, berupa kematian secara alami, ditebangi, serta alih fungsi lahan habitat pohon-pohon kawung.             

Konsekuensi dari punahnya pohon-pohon kawung di perdesaan dapat menyebabkan pula punahnya aneka ragam manfaat ekologi, serta sosial ekonomi budaya kawung. Bahkan secara lebih luas lagi dapat memusnahkan praktik budaya dan linguistik lokal yang berhubungan dengan kawung. Maka, untuk menjaga keberlanjutan pohon-pohon kawung dengan berbagai manfaatnya, sesungguhnya tidak  bisa lagi membiarkan keberadaan pohon-pohon kawung di perdesaan hanya mengandalkan pada pohon-pohon kawung hasil tumbuh secara liar. Sudah saatnya pohon-pohon kawung dibudidayakan, tentu saja dengan pengetahuan saintifik yang dikombinasikan dengan pengetahuan Ekologi Tradisional (TEK) penduduk perdesaan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//