BANDUNG DARI PINGGIR: Tentang Tamansari, Gaza, Musik, dan Hari-hari Ini
“Lewat solidaritas, dimulai dari yang kecil, gerakan kita bersama warga akan terus membesar.”
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
22 Desember 2025
BandungBergerak – Jumat, 13 Juli 2018 sore, ketika setengah kampung sudah lantak oleh penggusuran, menyisakan puing material dan dinding koyak bekas bangunan yang dulu menjadi rumah, warga RW 11 Tamansari berkumpul memperingati satu tahun perlawanan. Ada 26 keluarga yang bersikukuh menolak proyek pembangunan rumah deret yang digulirkan paksa oleh Pemerintah Kota Bandung. Bersama mereka, ratusan orang datang dari beragam latar belakang. Saya, seorang jurnalis koran, menyaksikan lalu mengabarnya.
Ada film diputar di tanah lapang tak seberapa luas di antara reruntuhan, ada foto-foto hitam putih dipamerkan di bidang-bidang beton yang tersisa, ada diskusi yang menggugat garis nasib warga kebanyakan, ada orasi yang menantang keangkuhan jembatan ikon pembangunan di seberang, ada musik yang menyemai imajinasi di masing-masing kepala.
Pada hari-hari itu, setiap embusan angin membawa simpang siur kabar bagi warga RW 11 Tamansari. Mereka dicap sebagai penghuni kawasan kumuh yang harus dibuat layak, tapi janji perbaikan kualitas hidup tak kunjung berwajah. Yang ada di hadapan: sebagian tetangga memilih pergi, meninggalkan bekas rumah yang sebagiannya rata dengan tanah. Nasib serupa sewaktu-waktu bisa menghampiri mereka yang bertahan.
Di bawah awan ketidakpastian yang menggantung di udara itulah, Eva Eryani teguh dalam pilihan untuk “terus bertahan, terus berjuang”. Pilihan yang dia peluk dengan setia hingga bertahun-tahun kemudian ketika dia menjadi satu-satunya warga yang tersisa dengan tempat tinggal darurat yang dia dirikan di atas tapak bekas rumah sekaligus bengkel konveksi miliknya yang digusur.
Sore itu, di reruntuhan Tamansari, semua yang hadir adalah api yang bicara dengan satu bahasa: perlawanan. Dan yang membantunya untuk “terus membesar” adalah solidaritas. Herry “Ucok” Sutresna berulang kali menyebutnya. Saya mengutip salah satu kalimatnya untuk reportase ringkas yang terbit keesokan hari: “Lewat solidaritas, dimulai dari yang kecil, gerakan kita bersama warga akan terus membesar.”
Dan solidaritas, kita tahu, adalah biji ajaib yang secara tekun tumbuh di kota ini. Ia muncul di momen-momen menentukan. Dari Jalan Naripan, di pusaran zaman bergerak pada awal abad ke-20, Medan Prijaji terbit dengan mengambil sisi yang jelas sebagai suara “bangsa jang terprentah”. Tak jauh di seberang alun-alun, di tengah gelombang perang dingin global pada April 1955, para delegasi Asia Afrika berteriak lantang menantang cengkeraman kolonialisme Barat. Di titik-titik lain, di momen-momen lain, tak harus besar dan massal, solidaritas senantiasa lahir.

Menengok ke Belakang, Melambat
Depalan tahun kemudian, April 2024, ketika Ucok secara senyap mengunjungi RW 11 Tamansari, bangunan rumah deret sudah berdiri menjulang meski belum seluruhnya tuntas dikerjakan, menggenapi wajah kemajuan di kawasan itu bersama Baltos dan flyover. Rumah Teh Eva sudah habis dilalap api lima bulan sebelumnya. Dia sendiri yang membakarnya. Menyalakan api adalah caranya menegaskan otoritas atas nasib sendiri. “Aku melawan kolonialisme hari ini,” bisik Eva kemudian di pelataran Masjid Al Islam.
Di sudut-sudut bekas kampung yang mampu bertahan hidup di masa pagebluk itu, Ucok memunguti banyak ingatan tentang kerja-kerja solidaritas bersama warga. Ia mengingat dinding-dinding yang dulu menampilkan foto hitam putih keluarga, gang-gang yang pernah mengabadikan nama-nama jejaring solidaritas, dan tanah sedikit lapang yang menjadi panggung diskusi, orasi, menonton film, dan bermusik.
Oleh-oleh kunjungan itu dibagikan Ucok lewat tulisan “Malam Terakhir di RW 11 Tamansari”, esai pertama dalam buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan: Kumpulan Esai Musik, Politik, Kegaduhan, dan Kerapuhan. Setebal 367 halaman, buku yang diterbitkan oleh Consumed pada 2025 ini memuat 31 esai. Dimulai di Tamansari, diakhiri di Simpang Dago. Di antara keduanya, ada Kulon Progo, Leeds, Gaza, Gedung Putih, dan masih banyak lagi. Nama-nama berserakan antara Eva Eryani dan Deni, mulai dari Erwin, Jojo, Walter Benjamin, Laurie Anderson, James C. Scott, Chumbawamba, Chuck D, Donald Trump, Jokowi, hingga Nietzche dan Gramsci. Yang menjadi penyambung dari satu tempat ke tempat lain, dari satu nama ke nama lain, dari satu gagasan ke gagasan lain, adalah musik. Selalu begitu. Ucok sekali.
Memaknai kunjungannya ke reruntuhan Tamansari, Ucok meminjam tafsir Walter Benjamin, filsuf Jerman yang secara konsisten mempertanyakan modernitas, atas lukisan karya Paul Klee, Angelus Novus. Menengok ke belakang, alih-alih selalu hanyut dalam kemajuan yang anonim, adalah cara bijaksana untuk tumbuh karena kemajuan itulah yang disebut Benjamin sebagai badai yang menjerat sayap Malaikat Sejarah-nya Klee dan “mendorongnya tanpa henti ke masa depan”, meninggalkan tumpukan kehancuran di belakang yang “dipandanginya dengan mata terbelalak”. Menengok secara sadar ke belakang, dengan demikian, adalah pernyataan sikap melawan narasi tunggal. Melambat untuk tidak hanyut.
Dan melambat, saya meyakini, bukanlah berarti bermalas-malasan. Ia justru merupakan kerja sungguh-sungguh yang menuntut keberanian, keuletan, bahkan tak jarang pengorbanan. Melambat berarti mengunjungi lagi peristiwa-peristiwa yang melahirkan rasa kehilangan dan lalu memaknainya ulang. Melambat berarti menemui lagi orang-orang yang memicu konflik dan lalu mengambil kebijaksanaan baru. Melambat juga berarti mendatangi lagi tempat-tempat yang menggoreskan luka dan trauma lalu belajar darinya.
Tamansari adalah tonggak solidaritas warga tapi sekaligus monumen kekalahan, dan keduanya layak ditengok. Di kampung ini, digodok rumus baru bahwa mengaktivasi ruang berarti “mengubah reruntuhan menjadi ruang gerakan alternatif di perkotaan, mereklaim dan mendefinisikan kembali ruang publik”. Namun Tamansari adalah juga cerita tentang gesekan horizontal antarwarga korban pembangunan, tentang perselisihan di dalam jejaring solidaritas, tentang tiang-tiang beton yang pada akhirnya berdiri menjulang menggantikan kampung yang dicap kumuh, dan tentang budaya puluhan tahun yang tercerai-berai oleh gilasan roda pembangunan yang dingin.
Dalam konteks lebih luas hari ini, menengok ke belakang berarti melihat ratusan ribu orang yang menjadi korban banjir bandang di Sumatra karena belantara menjadi tandus demi kepentingan industri, berarti menemui sekian banyak warga yang tersingkir dari kampung sendiri oleh proyek infrastruktur besar yang digulirkan negara, berarti mengunjungi ribuan orang muda yang ditahan dan dijadikan tersangka karena dituduh mengobarkan kerusuhan dalam rangkaian unjuk rasa Agustus-September 2025. Menengok ke belakang adalah tentang menjumpai tumpukan korban yang cenderung disingkiri, mendengarkan cerita mereka yang mungkin amat “sederhana”, dan membangun narasi-narasi tanding tanpa peduli sekecil apa itu.
Dalam kerja lambat menengok ke belakang, kita tahu bahwa yang paling berharga adalah denyut keseharian yang dihayati secara sadar. Belajar dari gerakan warga penolak tambang besi di Kulon Progo, Yogyakarta, Ucok membagikan konsep “metis”-nya Scott dalam esai “Metis, Rambutan Garongan, dan Talking Heads”. Pertemuan di teras rumah, percakapan di pos ronda, dan kesepakatan (juga ketidaksepakatan) di rapat RW menjadi bagian dari tarikan napas warga, dan dengan sendirinya menjadi bagian dari denyut perlawanan. Tanpa menunggu peristiwa besar, tanpa mengandalkan momen cemerlang, tanpa menggantungkan diri pada tata birokratis. Yang dihidupi adalah politik (dengan p kecil), bukan Politik (dengan P besar). Dan inilah kehidupan yang “paling tidak bisa dijinakkan oleh peta” karena ia liat sekaligus liar.
Jika Malaikat Sejarah-nya Walter Benjamin membawa Ucok ke lagu “The Dream Before”-nya Laurie Anderson yang “menolak bentuk waktu pop yang linear”, metis-nya James C Scott ia sandingkan dengan album “Remain in Light”-nya Talking Heads yang dari satu lagu ke lagu berikutnya mengisyaratkan perkembangan khas organisme hidup. Dari beat patah-patah, tumpang tindih bunyi yang menolak struktur, hingga derak suara mirip mesin perang yang mengundang gelap. Album ini, bagi Ucok, adalah “simulasi musikal masyarakat tanpa blueprint”.
Dalam metis, logika yang diterapkan bukan tongkat komando yang memerintah, tapi akar rumput yang menjalar. Kepemimpinan yang dipraktikkan bukan tindakan mengekang, tapi pilihan membebaskan. Itulah pilihan yang diambil Wahyu Permana, pentolan band Balcony yang akrab dipanggil Jojon, ketika menempelkan poster-poster bertuliskan “Cabut Dwifungsi ABRI” di sepanjang Jalan Aceh, Bandung, pada bulan bergemuruh Mei 1998. Itu jugalah pilihan yang diambil Deni, tukang parkir pembaca Gramsci di Simpang Dago, ketika melepas kemewahan kuliah untuk mengurus sang adik. Dengan penuh kesadaran, sama seperti yang ditemui di Tamansari dan Garongan, keduanya berpolitik lewat tindakan “kecil” dan sehari-hari. Dan dengan penuh kesadaran juga, Ucok menuliskan ingatan-ingatan tentang mereka karena lagi-lagi justru yang kecil dan sehari-hari itulah yang paling penting dimaknai.

Baca Juga: Lagi-lagi Teror untuk Eva Eryani di Tamansari
Eva Eryani di Tamansari: Masih Satu, Masih Melawan
Membangun Basis Data, Menjalar
Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan, buku ketiga Herry “Ucok” Sutresna yang judulnya dipinjam dari lirik lagu “Give the Anarchist a Cigarette”-nya band anarcho-punk Inggris Chumbawamba, pada hakikatnya adalah kumpulan tulisan yang sangat personal. Kepedihan tanpa sungkan berceceran di mana-mana. Dari kunjungan Ucok ke kampung tergusur Tamansari, patah hatinya terhadap idola masa remaja Chuck D, hingga kehilangannya atas kawan berbincang Deni. Namun ia tidak berlama-lama di kubangan kepedihan itu. Ucok segera melakukan apa yang selama ini kita kenal (dan mungkin kita harapkan selalu datang) darinya: bersikap lalu berbuat. Kunjungan ke reruntuhan Tamansari ia ubah menjadi melankolia yang bisa direplikasi di titik-titik api lain, utang Chuck D untuk mengisi satu bait dalam salah satu draft lagu dalam calon album solo yang sudah menganggur selama dua tahun ia lenyapkan, dan kisah-kisah ajaib dari dan tentang Deni ia rawat sebagai ingatan hangat di tengah kota yang berlari kian kencang, kian bising, kian asing.
Kisah Ucok dengan Chuck D yang dituliskan dalam esai “Dari Metode Jakarta ke Gaza: Chuck D, Kompromi, Propaganda” kiranya paling mewakili pergulatan yang di sepanjang buku dibagikan penulis: antara yang personal dan yang sosial dengan musik sebagai jembatannya. Pemujaan panjang terhadap seorang pendiri grup hip hop pendobrak Public Enemy yang memengaruhi banyak keputusan hidup di masa remaja dan muda, menemui batu uji di hadapan salah satu kejahatan paling telanjang hari ini: genosida di Gaza. Dari foto Chuck D bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dalam berita yang mampir ke gawai di tengah rehat di sebuah skate park di kawasan Jalan Riau, Ucok menguliti strategi kebudayaan Amerika Serikat yang secara halus menyuntikkan propaganda lewat karya dan aktivitas seni. Sebuah strategi yang sudah berumur panjang, selalu diulang, dan selalu berhasil mengecoh. Juga di Indonesia.
Buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan dirilis dan didiskusikan di Taman Pramuka, Bandung, pada Minggu, 23 November 2025 siang. Ratusan orang kawan hadir, bukan hanya untuk membicarakan cerita-cerita dalam buku tapi juga saling bertukar kabar dan saling menguatkan di hari-hari yang masih terasa berat pasca-Agustus-September. Ada kerinduan yang membuncah pada pertemuan-pertemuan akrab di ruang publik. Seperti sudah terlampau lama!
Di bawah siraman sinar matahari tak begitu terik di tengah hari, salah satu bahasan yang mengemuka adalah kebutuhan membangun basis data. Bukan melulu tentang panggung besar yang sudah berumur, tapi juga skena-skena mungil yang sedang bermunculan. Bukan semata tentang pusat kota, tapi terlebih tentang pinggiran. Demikianlah siang itu ada obrolan tentang ketekunan mengarsipkan, keterampilan menuliskan, dan kemauan berjejaring. Tidak ada orang lain yang akan mencatat apa yang kita kerjakan, maka mari kita buat sendiri!
Dan bukankah kerja membangun basis data adalah juga pilihan melambat? Ia menuntut kita peka terhadap detail-detail yang sering terlewat dalam gegas. Menjumputi, mengumpulkan, lalu menceritakannya ulang. Narasi lahir bukan dari titah yang turun dari langit tanpa bisa ditawar, tapi dari keringat dan air mata di lapangan. Hanya dengan bekal narasi seperti inilah, yang lahir dari basis data keseharian, kita sanggup menyalakan api perlawanan yang autentik.
Ucok, dalam “Pengantar Depan Kobaran”, mengaku sedang “kembali ada di titik demoralisasi terkutuk 25 tahun lalu”, dan sulit bagi kita untuk tidak segera merasa relevan. Bertahun-tahun kita mengalami dan menyaksikan rentetan “kegaduhan” yang ujung-ujungnya menguak sekian banyak “kerapuhan” dalam diri kita, juga dalam gerakan. Beruntung, Ucok memiliki cara merawat api-nya: mencatat tumpukan ingatan. Dan beruntunglah kita, sekalian para pembaca, catatan-catatan dalam kurun delapan tahun terakhir itu dikumpulkan menjadi buku lalu diterbitkan. Ia menjelma bantuan bagi kita untuk merawat api masing-masing: api unggun yang menari-nari dalam gelap untuk mengusir dingin yang membekap tubuh kawan-kawan, api dapur yang menyala setiap subuh demi memperpanjang hidup satu keluarga, api jalanan yang berkobar tanpa ampun oleh timbunan kemarahan pada kekuasaan, otoritas, dan sistem yang semakin brengsek.
Api terus menjalar, dan demikian juga seharusnya bantuan-bantuan yang ia butuhkan. Sekecil apa pun itu.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

