• Narasi
  • Sebuah Penziarahan Kecil, Perjalanan Merengkuh yang Lain

Sebuah Penziarahan Kecil, Perjalanan Merengkuh yang Lain

Keberagaman tidak pernah berdiri di atas definisi yang kaku. Batas-batas iman juga bukan tembok, justru batas itu yang membuat dialog menjadi mungkin.

Open House di Gereja Katolik Katedral Bandung, Santo Petrus pada 25 Desember 2019. (Foto: Annisa Noor Fadilah)

25 Desember 2025


BandungBergerak.id – Ada masa ketika saya mengira bahwa hidup cukup dipahami dari pandangan saya sendiri, bahwa apa yang saya yakini, saya rayakan, dan saya takuti sudah cukup untuk menjelaskan kehidupan. Namun di Bandung saya menjumpai keyakinan yang berbeda, ritual yang asing, dan kisah-kisah yang tumbuh dari akar tradisi yang tak saya pahami. Semuanya seperti mengetuk pintu, mengundang untuk dijenguk.

Memasuki ruang yang bukan ruang saya selalu melahirkan perasaan ganjil: antara gugup, ingin tahu, dan takut salah bersikap. Itulah yang saya rasakan pada kali pertama melangkahkan kaki ke dalam Gereja saat Open House di Gereja Katolik Katedral Bandung, Santo Petrus, 25 Desember 2019. Saya datang sebagai tamu, mungkin juga sebagai seorang asing, tetapi disambut dengan keramahan yang tak terduga.

Ruang yang awalnya terasa milik orang lain, perlahan menjadi ruang bersama. Ada momen ketika batas-batas yang saya bawa dari rumah mulai melunak, terutama saat saya ikut larut dalam lingkaran kecil bersama para frater, suster, ibu-ibu yang hadir, juga orang muda yang turut berjoget dengan riang. Kami bergerak bersama mengikuti iringan lagu, “...putar ke kiri, nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, nona manis….”

Di tengah lingkaran itu, saya merasakan kebersamaan yang lahir begitu saja. Tidak ada jarak, tidak ada canggung, hanya ada tawa dan gerak yang menyatukan kita. Perjumpaan-perjumpaan itu terus berlangsung, dari satu ruang ke ruang lain, saya bertemu dengan kawan-kawan dari Agama Baha’i, lalu mengikuti perayaan Naw-Ruz yaitu tahun baru mereka yang diisi dengan doa, makan-makan, dan percakapan yang sangat hangat. Perjalanan membawa saya kepada kawan-kawan Ahmadiyah dan Syiah, masing-masing dengan kisah dan pergumulannya sendiri.

Langkah-langkah itu terus berlanjut. Saya berjumpa dengan kawan dari Penghayat Kepercayaan yang merawat alam seperti merawat keluarga sendiri, lalu bertemu dengan kawan Hindu, Buddha, dan Konghucu yang mengajak saya masuk ke ritus ruang hening, dan kearifan yang berbeda-beda.

Perjumpaan dengan mereka tidak berhenti di satu kegiatan saja, justru berlanjut di ruang-ruang pertemanan yang kian akrab. Berbagi cerita lebih dalam, tertawa lebih lepas, dan mengenal lebih dekat. Sampai akhirnya saya tahu hal-hal sederhana tentang mereka, nama hewan peliharaan, makanan favorit, bahkan jadwal sembahyang yang mereka jalani. Dari hal-hal kecil itu, saya sadar bahwa kedekatan lintas iman tumbuh bukan dari acara besar, tapi dari obrolan sehari-hari yang kami bagi bersama.  Keberagaman tidak pernah berdiri di atas definisi yang kaku, ia hadir dalam cara seseorang bercerita, dalam tawa yang mereka bagi tanpa prasangka.

Berkunjung ke Perpustakaan Nusrat Jahan, Lajnah Imaillah, organisasi perempuan dari Jemaat Ahmadiyah, pada 21 Januari 2022. (Foto: Annisa Noor Fadilah)
Berkunjung ke Perpustakaan Nusrat Jahan, Lajnah Imaillah, organisasi perempuan dari Jemaat Ahmadiyah, pada 21 Januari 2022. (Foto: Annisa Noor Fadilah)

Baca Juga: Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman
Merayakan Keberagaman, Menumbuhkan Ruang Dialog di Tengah Stigma Intoleransi
Membangun Toleransi Beragama Melalui Perjumpaan Onto-Teologi

Mendengarkan sebagai Tindakan Merengkuh

Mendengarkan adalah bentuk kerendahan hati yang paling sederhana, sekaligus yang paling sulit. Dalam setiap perjumpaan mendengarkan bukan sekadar memberi ruang bagi kata-kata, melainkan memberi tempat bagi seseorang ke dalam diri kita.

Cerita-cerita yang terjadi di ruang pertemanan, saya mendengar cerita seorang kawan dari Baha’i tentang ketakutan akan dibunuh hanya karena keyakinannya ketika konstelasi politik mulai memanas, tentang kecemasan tidak lulus kuliah karena kampus menolak memasukkan nilai mata kuliah agama yang ia tempuh di majelis. Ada juga cerita seorang kawan dari Syiah, tentang rasa gentar ketika sedang ibadah lalu didemo massa dan keyakinannya dilabeli sesat.

“Aku tu udah capek banget di cap sesat, dibilang kelompok yang hobi nikah mut’ah, salat pakai batu,” ujar Aldi bukan nama sebenarnya.

Dalam percakapan-percakapan intim tentang kegelisahan pun kegembiraan saat beribadah, saya kerap tak sepenuhnya memahami. Mendengarkan menjadi hal yang manusiawi, sebab rasanya setiap orang membawa segala luka dan harapan yang layak untuk dihormati.

Suasana Vihara Karuna Mukti pada 04 Desember 2019. (Foto: Annisa Noor Fadilah)
Suasana Vihara Karuna Mukti pada 04 Desember 2019. (Foto: Annisa Noor Fadilah)

Penziarahan yang Terus Berlangsung dan yang Kita Bawa Pulang

Dalam perjalanan ini, saya juga belajar bahwa merengkuh yang lain bukan berarti melarutkan diri dalam keyakinan orang lain atau mengaburkan identitas pribadi. Ada batas-batas iman yang saya jaga, dan batas itu bukan tembok, justru batas-batas itulah yang membuat dialog menjadi mungkin, karena hanya dengan memiliki pijakan sendiri kita bisa benar-benar melihat yang lain. Ada kalanya perbedaan terasa tegas, tentang Tuhan, tentang keselamatan, tentang makna ritual. Namun tidak semua perbedaan harus dipaksakan untuk bertemu. Kadang, menghargai jarak justru membuat relasi lebih jujur. Berdiri di antara komitmen pada iman sendiri dan keterbukaan terhadap pengalaman orang lain adalah sebuah ketegangan yang tidak perlu diselesaikan, cukup dijaga.

Yang paling tak saya duga dalam penziarahan kecil ini adalah bagaimana “yang lain” justru menjadi cermin. Cerita mereka membuka pertanyaan-pertanyaan yang selama ini saya simpan, cara mereka beribadah mengingatkan saya pada hal-hal yang dulu saya anggap biasa saja. Ada nilai yang saya pertegas kembali, ada sikap yang saya lunakkan, dan ada keyakinan yang justru semakin mengakar karena melihat dunia dari pandangan yang berbeda. Transformasi itu tidak menggelegar, tetapi perlahan, lembut, dan mendalam.

Saya menyadari bahwa penziarahan merengkuh yang lain tidak memiliki garis akhir. Ia bukan proyek yang selesai, melainkan cara hidup yang perlahan terbentuk dari perjumpaan demi perjumpaan. Setiap orang baru yang saya temui, setiap ruang baru yang saya masuki, menjadi bagian dari proses panjang untuk memahami bahwa keberagaman tidak harus dijinakkan ia hanya perlu ditemani.

Pada akhirnya, penziarahan kecil ini meninggalkan jejak yang tidak kasat mata tetapi terasa jelas. Saya pulang dengan ruang dalam diri yang sedikit lebih lapang, dengan pemahaman bahwa merengkuh yang lain bukan soal menyelesaikan perbedaan, melainkan berani hidup bersama di dalamnya. Yang saya bawa pulang bukan jawaban yang lebih pasti tetapi hati yang lebih terbuka.  Mungkin, di situlah inti dari penziarahan ini bahwa untuk memahami diri, kita perlu sesekali berjalan ke luar dari diri lalu kembali dengan pandangan yang berubah.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//