• Opini
  • Membangun Toleransi Beragama Melalui Perjumpaan Onto-Teologi

Membangun Toleransi Beragama Melalui Perjumpaan Onto-Teologi

Intoleransi dapat dipicu oleh kesalahpahaman karena narasi atau cerita dari pihak-pihak sekunder yang kredibilitasnya masih diragukan.

Puspo Renan Joyo

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Warga berkumpul untuk berdoa dan menunjukkan pembelaan bagi perdamaian dalam Aksi 1.000 Lilin di depan Gedung Sate Bandung Kota Bandung, Sabtu (13/5/2017) selepas magrib. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Desember 2023


BandungBergerak.id – Maret 2007 di Monterey, California, Isabel Allende, seorang novelis  dan storyteller asal Chili, mengawali pembicaraan TED-Talk-nya tentang Tales of Passion dengan pertanyaan filosofis, “What is truer than truth?” la kemudian menjawab, story. Allende percaya bahwa cerita yang kita ceritakan tentang diri dan kehidupan kita sering kali mengungkapkan banyak hal (atau lebih) tentang kita daripada faktanya. Kisah Allende meninggalkan pesan bahwa yang kita ketahui sebenarnya bukanlah fakta tetapi cerita tentang fakta itu. Maka di mata kita, kebenaran itu tidak mewakili fakta tetapi oleh cerita tentang fakta itu. Maka cerita menjadi lebih benar dari kebenaran fakta itu sendiri.

Virilio (1999), dalam bukunya Open Sky menyatakan, "Penglihatan dulu adalah industri rakyat, sebuah seni melihat. Akan tetapi, kini kita berada dalam kehadiran bisnis penampakan berupa industrialisasi penglihatan”. Dinamika zaman telah membawa manusia ke dalam kesadaran dan pengalaman baru. Situasi ini telah mengubah bentuk kehidupan, tempo kehidupan, cara hidup, relasi sosial, pertukaran ekonomi, pertarungan politik, nilai budaya dan makna spiritual keagamaan. Era informasi digital saat ini dicirikan oleh pemadatan waktu, narasi kehidupan berkembang ke arah narasi kecepatan. Perkembangan teknologi informasi dan digital melahirkan apa yang disebut sebagai narasi digital yang mengatasi hambatan ruang dan waktu (Piliang, 2017).

Kini, kebenaran seperti yang disampaikan Allende telah direpresentasikan oleh narasi digital. Kebenaran yang sama juga telah dikemas dan dikomodifikasi dalam “bisnis penampakan” sebagaimana Virilio dan terpampang dalam ruang-ruang digital. Narasi digital dan narasi kecepatan menyatu, menempatkan kebenaran faktual semakin tak terjamah dan hanya sekelebat saja. TikTok, Douyin, Snack Video, Likee, Instagram Reels, dan YouTube Shorts adalah contohnya (Damar, 2021; Kaye, Chen, & Zeng, 2021). Persoalannya, tidak seluruhnya narasi digital mengandung substansi kebenaran, adakalanya justru sebaliknya (Kominfo, 2023; Muzykant, Muqsith, Pratomo, & Barabash, 2021). Narasi digital bahkan telah dimanfaatkan sebagai propaganda untuk menciptakan “kobaran informasi” (firehose of information) yang memungkinkan adanya penyisipan narasi palsu dari waktu ke waktu untuk tujuan tertentu (Prier, 2020).

Kobaran Informasi dan narasi yang ada di pelbagai platform media digital menjadi sangat problematik jika bertaut dengan kemampuan literasi masyarakat yang rendah. Presiden Central Connecticut State University (CCSU), John Miller menyatakan bahwa perilaku literasi sangat penting untuk keberhasilan individu dan negara dalam knowledge-based economics yang menentukan masa depan global. Masyarakat yang tidak mempraktikkan perilaku literasi cenderung kurang bersih, kurang gizi, represif terhadap hak dan martabat manusia, brutal dan keras (Flood, 2016; Gunawan, 2016). Pernyataan Miller sejalan dengan hasil penelitian, di mana literasi memiliki dampak positif bagi perkembangan pengetahuan dan prestasi belajar, yang berimplikasi pada potensi kemajuan individu dan negara (Loh & Sun, 2020; Yi et al., 2019).

Sayangnya, Indonesia masih bergulat dengan persoalan ini. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pada tahun 2012 melaporkan bahwa indeks literasi masyarakat Indonesia hanya 0,001 %. CCSU dalam World's Most Literate Nations Ranked tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara. Tahun 2019. Programme for Internasional Student Assessment (PISA), menempatkan Indonesia pada urutan 72 dari 77 negara (Caesaria & Kasih, 2021; Utami, 2021). Laporan aktual perkembangan indeks literasi negara-negara di dunia, Indonesia belum menunjukkan perubahan signifikan (Dinayanti, 2022; Lukito, 2022; Widya, 2021).

Rendahnya tingkat literasi ini mengakibatkan ketidakcukupan pemikiran dalam upaya memahami, menghayati dan bersikap terhadap besarnya Indonesia yang tidak hanya secara teritorial, tetapi juga secara kebudayaan. Indonesia memiliki 37 provinsi yang terletak di 5 pulau besar dan empat kepulauan, yaitu: Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara (Sunda Kecil), Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. Indonesia memiliki kekayaan demografi yang luar biasa, yakni 275 juta jiwa. Dari sisi religiusitasnya, Indonesia adalah negara dengan 6 agama dan denominasinya, serta pemeluk kepercayaan yang tersebar di seluruh nusantara. Keragaman etnisitas dan Bahasa terdiri dari 1.340 suku bangsa, dan 2.500 bahasa (Statistics Indonesia, 2023).

Ketidakcukupan pemikiran itu mengakibatkan persoalan, salah satunya toleransi beragama. Laporan SETARA Institute (2021) menyatakan bahwa kondisi toleransi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan melalui katalisator sosio kultural, misalnya mobilisasi masa, identitas keagamaan yang dipolitisasi, serta katalisator legal struktural, layaknya hukum positif dan peradilan (SETARA, 2022b). Penelitian SETARA Institute menemukan empat persoalan penting yang secara substansi memberi daya hambat terhadap keberagaman, yaitu 1) Segregasi sosial yang menyebabkan sempitnya ruang-ruang perjumpaan; 2) Penyangkalan dan penolakan eksistensi kelompok lain yang disebabkan oleh rendahnya literasi identitas internal dan eksternal antar warga; 3) Konservatisme; dan 4) Kapasitas koersif yang semakin kuat (SETARA, 2022b). Laporan Kebebasan Beragama (2021) SETARA Institute menyampaikan bahwa terjadi tren penyeragaman di masyarakat yang semakin menguatkan intoleransi. Hal yang tidak sejalan dengan penafsiran mayoritas dianggap sesat, mencemari agama, dan memperoleh stigma, dengan demikian menjadi justifikasi atas tindakan intoleran dan diskriminasi terhadap kaum minoritas (SETARA, 2022a).

Kuliah Bersama dan Dialog Antar Iman Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta pada mata kuliah Konsep Manusia menurut Agama-agama. (Foto: Dokumen Dr. Suryanto)
Kuliah Bersama dan Dialog Antar Iman Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta pada mata kuliah Konsep Manusia menurut Agama-agama. (Foto: Dokumen Dr. Suryanto)

Baca Juga: Pasifisme dan Prasyarat Kedamaian
Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia
Berburu “Damai” di Dunia Para Serigala

PEMBAHASAN: Alternatif Program Membangun Toleransi

Kajian Pustaka

Penelitian Köbrich and Hoffmann (2023), yang berjudul What Do We Know About Religion and Interreligious Peace? A Review of the Quantitative Literature, dan Basedau, Gobien, and Prediger (2018), berjudul The Multidimensional Effects Of Religion On Socioeconomic Development: A Review Of The Empirical Literature, menerangkan bahwa upaya membangun relasi antar agama menjadi hal mendesak. terlebih di saat problem kekerasan dan diskriminasi agama meningkat. Karenanya, diperlukan pemahaman terhadap faktor-faktor penentu perdamaian antaragama dan upaya konkret melalui ikhtiar membangun konsep baru tentang. Hasil penelitian Köbrich dan Basedau menunjukkan empat dimensi agama yang relevan perannya dalam perdamaian antaragama, yaitu: gagasan keagamaan, kelompok identitas keagamaan, praktik keagamaan, serta aktor dan institusi keagamaan.

Esai ini menawarkan dua gagasan penting dari kajian pustaka di atas untuk ditawarkan sebagai alternatif pemikiran dan program terkait dengan persoalan toleransi beragam di Indonesia, yakni: 1) terkait dengan pemahaman tentang gagasan keagamaan (kepercayaan, nilai, norma, etika) dan 2) praktik keagamaan (perilaku keagamaan seperti beribadah, berdoa, mengikuti aturan diet tertentu, atau berziarah).

Dialog antara iman mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta di Ashram Narayana Smriti, Yogyakarta. (Foto: Dokumen Dr. Suyanto)
Dialog antara iman mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta di Ashram Narayana Smriti, Yogyakarta. (Foto: Dokumen Dr. Suyanto)

Dialog Antar Iman: Perjumpaan pada Wilayah Onto-Teologis

Berkaitan dengan persoalan toleransi, umumnya, kita jarang melihat kebenaran faktual dari masing-masing agama. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal agama lain dari narasi atau story sebagaimana sebagaimana Allende, itu pun diperoleh dari sumber sekunder. Perjumpaan antar umat beragama selama ini cenderung berada pada wilayah praktis, yaitu aktivitas makan, gotong royong, kerja bakti, atau wilayah etis, yakni ditunjukkan dengan perilaku baik, misalnya suka menolong, berbagi, berempati, dan seterusnya. Perjumpaan pada wilayah onto-teologis masih jarang terjadi. Ketiadaan perjumpaan pada wilayah ini mengkreasi jurang ketidakpahaman onto-teologi masing-masing agama, dan pada tataran interaksi kehidupan sosial keagamaan situasi ini berpotensi menumbuhkan klaim dan ego sektoral bahwa onto-teologinya sendiri yang lebih benar, dan onto-teologi yang lain sebagian saja yang benar, atau onto-teologi agamanya saja yang paling benar, dan onto-teologi agama lainnya salah. Klaim-klaim pada tataran ini pada akhirnya dapat memicu konflik di tengah masyarakat. Alih-alih menjadi menjadi sumber perdamaian dan kehidupan, agama justru menjadi kekuatan yang mematikan (a lethal force) (Kimball, 2011), atau dalam istilah Juergensmeyer (2017) bahwa agama memiliki perwajahan ganda atau sikap yang mendua, yakni agama di satu sisi sebagai sumber moral namun pada sisi lainnya agama menjadi alasan di balik peristiwa immoral.

Dialog antar iman dalam konteks ini dipahami sebagai bentuk tindakan komunikatif. Cara yang ditempuh dengan membangun tata kelola hidup bersama melalui kekuatan komunikatif yang legal pada masyarakat plural yang berbasis pada komunikasi yang diskursif. Metode ini memungkinkan tumbuhnya saling pengertian di antara masyarakat (Habermas, 2001). Dialog antar iman pada dasarnya tidak mencari benar atau salah, atau yang lebih benar atau yang lebih salah tetapi untuk membuka cakrawala dalam rangka mengetahui onto-teologi agama lain dan memahami maknanya. Dengan memahami onto-teologi agama lain, kita juga sekaligus dapat memahami onto-teologi kita sendiri.

Bentuk operasional dari kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan dialog antar iman, salah satunya dapat diselipkan dalam kurikulum-kurikulum pendidikan formal, yang bentuk kegiatannya dapat diadaptasi sesuai jenjang pendidikan. Kegiatan ini merupakan ikhtiar untuk memburu kebenaran faktual dari sumber-sumber primer, sekaligus media verifikasi dari narasi yang berkembang dari pihak-pihak sekunder. Dengan demikian diperoleh pemahaman yang mendekati objektif, membiasakan melihat perbedaan, menumbuhkan penghargaan dan mereduksi prasangka.

Kegiatan Live in Mahasiswa Fakultas Teologi Weda Bhakti Universitas Sanatana Dharma Pada 10 s.d. 18 November 2018, di Ashram Narayana Smriti, Yogyakarta. (Foto: Dokumen Dr. Suryanto)
Kegiatan Live in Mahasiswa Fakultas Teologi Weda Bhakti Universitas Sanatana Dharma Pada 10 s.d. 18 November 2018, di Ashram Narayana Smriti, Yogyakarta. (Foto: Dokumen Dr. Suryanto)

Live in: Internalisasi Kebenaran Faktual

Live in dalam konteks ini berarti seseorang atau kelompok hadir pada sebuah komunitas iman tertentu, dan turut menyaksikan praktik-praktik keagamaan, dan dilanjutkan dengan dialog yang berisi penjelasan atas Teologi, etika dan Ritual keagamaan yang telah disaksikan. Sebagai contoh pada gambar di bawah ini, kegiatan Live in “Kajian Agama-agama dan Dialog” mahasiswa fakultas teologi “Weda Bhakti” Universitas Sanatana Dharma di Ashram Hindu Narayana Smriti, Yogyakarta, pada 10 s.d. 18 November 2018. Selama kegiatan, para mahasiswa larut dalam aktivitas keagamaan, seperti: hadir dalam kegiatan persembahyangan pagi, pelaksanaan Japa (pengucapan nama suci Tuhan), Kirtanam (menyanyikan pujian-pujian kepada Tuhan), Sravanam (mendengarkan kotbah atau kajian kitab suci), memasak, menyiapkan sarana persembahan, menikmati prasadham (makanan sisa persembahan), dan sebagainya.

Kegiatan ini lebih mendalam dari kegiatan yang pertama (dialog antar iman), pada kegiatan live in ini, kita tidak hanya berikhtiar kebenaran pada sumber primer, tetapi juga melangkah lebih jauh untuk sebisa mungkin memahami dan merasakan apa yang dilakukan oleh iman yang lain. Analogi sederhananya mungkin dapat digambarkan ketika kita menunjukkan empati kepada saudara atau teman kita yang dirundung duka. Kehadiran itu dalam rangka menggapai sejauh mungkin perasaan terdalam dari pihak yang berduka. Dengan demikian, tidak hanya pengetahuan yang bersifat teoritis yang hendak kita dapatkan, tetapi juga memahami sejauh mungkin “rasa” keagamaan orang lain, dengan demikian diharapkan akan tumbuh toleransi dan penghargaan yang tulus.

SIMPULAN

Intoleransi dapat dipicu oleh kesalahpahaman. Kesalah paham terjadi karena seseorang belum pernah sampai pada kebenaran faktual dan sekadar narasi atau cerita dari pihak-pihak sekunder yang kredibilitasnya masih diragukan, terlebih di era informasi digital sekarang ini. Karenanya, diperlukan upaya lebih dalam untuk menemukan kebenaran faktual untuk mengatasi persoalan toleransi di Indonesia. Esai ini menawarkan dua hal, yakni: Pertama, dialog antar iman, yakni perjumpaan pada wilayah onto-teologis sebagai upaya untuk memperoleh cahaya kebenaran pada wilayah gagasan keagamaan, dan Kedua, Live in, internalisasi kebenaran faktual, sebagai satu tindakan konkret untuk menemukan kebenaran pada level penghayatan pada wilayah praktik keagamaan.

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori The Best pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//