• Opini
  • Pasifisme dan Prasyarat Kedamaian

Pasifisme dan Prasyarat Kedamaian

Ketika pasifisme didefinisikan sebagai anti-perang, kita mau tidak mau harus mendefinisikan konsep perang.

R.H. Authonul Muther

Mahasiswa, Penulis Esai.

Warga berkumpul untuk berdoa dan menunjukkan pembelaan bagi perdamaian dalam Aksi 1.000 Lilin di depan Gedung Sate Bandung Kota Bandung, Sabtu (13/5/2017) selepas magrib. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Desember 2023


BandungBergerak.id – Sejarah manusia punya satu fakta yang tak bisa disanggah: sejak era Yunani Kuno hingga abad 21, setiap era selalu punya peperangan dengan adegan saling bunuh. Meskipun perang dapat dihentikan melalui kesepakatan sementara (juga dikenal sebagai modus vivendi), misalnya dalam bentuk gencatan senjata atau rekonsiliasi, tapi diam-diam politik tetap menyimpan dendam kesumat. Tentu saja, dendam kesumat ini hanya menunda perang ke masa depan dan kedamaian sejati seolah-olah menjauh dari takdir manusia.

Sementara itu, ketika perang usai dan mencapai modus vivendi, suasana yang sudah kembali normal juga punya tragedinya sendiri: korban yang trauma, tindakan balas dendam kepada para pelaku kejahatan, ekonomi yang ambruk dan, konsekuensinya, krisis kemanusiaan. Meski demikian, usaha menciptakan perdamaian sejati tetap dilakukan, yakni sebuah konsep yang sering dikenal sebagai pasifisme.

Sejak era pencerahan Eropa, konsep pasifisme mempunyai pengaruh politik yang cukup besar. Para pemikir pasifis awal, sekitar abad ke-17 dan 18, membangun konsep pasifisme didasarkan pada gagasan bahwa kekuasaan politik harus dialihkan pada kedaulatan rakyat. Hal ini dilakukan agar kekuasaan monarki yang bengis tumbang dan membangun sebuah republik yang penuh kedamaian. Meski pada akhirnya sistem monarki tumbang dan republik dinyatakan berdaulat, di abad-abad berikutnya peperangan juga tak pernah berakhir. Mengapa perang tak pernah absen dalam sejarah manusia? Jika tak pernah absen dalam sejarah, mungkinkah kedamaian dicapai dan semua. orang hidup tanpa dendam?

Baca Juga: Animal Symbolicum dan Hermeneutika Pancasila: Dialektika Panjang Menuju Perdamaian
Sistem Cewers sebagai Resolusi Konflik Pertambangan sebagai Upaya Pencegahan The Sixth Estinction pada Spesies di Papua
Mbaru Gendang sebagai Ruang Publik dalam Menyelesaikan Konflik Tanah di Manggarai

Pasifisme dan Usaha Merengkuh Kedamaian

Pasifisme secara sederhana didefinisikan sebagai antonim dari perang atau kekerasaan. Dengan demikian, pasifisme secara sederhana dipahami sebagai anti-perang atau anti-kekerasan. Terdapat dua konsep dalam mengartikulasikan kedamaian: kedamaian negatif dan kedamaian positif. Pertama kedamaian negatif, yakni kedamaian sebagai "tidak ada kekerasan", "tidak ada perang", "jangan membunuh", dan "tidak ada konflik". Kedua, konsep kedamaian positif, yakni kedamaian sebagai hubungan yang kooperatif dan harmonis. Dengan demikian, kedamaian negatif adalah absennya kekerasan atau perang; sedangkan kedamaian positif adalah kondisi sosial yang kooperatif, tenang, dan harmonis (Fox, 2014, p.32).

Ketika pasifisme didefinisikan sebagai anti-perang, kita mau tidak mau harus mendefinisikan konsep perang. Perang pada umumnya dipahami sebagai kekerasan antar negara, atau lebih luas, antar komunitas politik. Namun di sisi lain, perang juga bisa diaplikasikan pada konflik kekerasan antar individu misalnya seperti adigium terkenal Hobbes dalam Leviathan, natur manusia adalah peperangan; manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) yang berakhir menjadi perang semua melawan semua (bellum umnium kontra omnes). Persis di titik ini, pasifisme berusaha untuk melampaui natur kekerasan dalam diri manusia dan menciptakan suasana tenang, harmonis, tak ada perang, dan tak ada kekerasan. Dengan kata lain, sebuah dunia yang tak saling memangsa, sebuah dunia yang tak dibangun di atas rasa takut; sebuah dunia yang tak patuh pada traktat Hobbesian.

Kekerasan secara normatif bermakna "mencederai atau menyebabkan kerusakan fisik". Paradoksnya, dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti dalam teori-teori perang, kekerasan dapat dibenarkan. Di sini, tindakan kekerasan apakah dapat dibenarkan atau tidak, tetap lamur dan sangat terbuka untuk dipertanyakan. Namun satu hal yang pasti, para pasifis menolak secara total kekerasan yang menimbulkan kerusakan fisik maupun mental. Dalam esai Perjalanan Menuju Dunia Tanpa Kekerasan (Journey to Nonviolence), misalnya, Martin Luther King Jr. menyatakan bahwa komitmen terhadap dunia tanpa kekerasan mensyaratkan kita untuk mengatasi "kekerasan internal", seperti kebencian dan rasa marah, dan menggantinya dengan cinta dan belas kasih (King, 1986, p.46).

Meski tampak tak ingin menggunakan kekerasan, para pasifis tidak bertindak pasif (diam) di hadapan iblis bengis bagaimanapun, pasifisme bukanlah pasif-isme, melainkan sebuah tindakan aktif melawan kejahatan tanpa melakukan tindakan kekerasan. Dalam tradisi Kristiani, hal tersebut sudah tertuang dalam Injil ketika Yesus berkhotbah di Bukit Tengkorak (Golgota): "Jangan melawan mereka yang berbuat jahat" dan "cintai musuhmu dan berdoalah untuk mereka yang menganiaya dirimu" (Matius 5:39 dan 5:44; Luke 6:27-30). Di titik ini, pasifisme berkelindan erat dengan diskursus teologis.

Kedamaian bisa terjadi melalui kepatuhan pada kekuasaan, dan adapun dalam perang, kedamaian terbentuk jika dari salah satu pihak menyerah tanpa syarat. Namun, Rousseau menyebut kedamaian seperti itu hanya sekadar "kedamaian Ulysses dan para kameradnya, mereka dipenjara di Gua Cyclops dan menunggu giliran untuk dilahap" (Rousseau, 1917, p.125). Kedamaian yang berasal dari kepatuhan pada mandat dari atas, setali tiga uang dengan ketidakadilan. Bagi Rousseau, ketenteraman dalam Gua Cyclops yang patuh pada kekuasaan bukanlah kedamaian, melainkan justru berada dalam kondisi perang

Di sisi lain, kedamaian juga bisa tercipta dari Perang Dingin, sebuah perang tanpa senjata. Perang bisa tak terjadi karena kedua belah pihak sama-sama menahan diri karena takut terjadi pertarungan dalam skala besar. Beberapa pihak mengklaim, berdasarkan dengan fakta tersebut, bahwa kedamaian bisa terwujud jika terdapat beberapa kekuatan maha hebat misalnya memiliki senjata pemusnah massal dengan daya hancur global seperti Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Namun, kedamaian yang didasarkan pada rasa takut seperti itu, meminjam perkataan Raymond Aron, hanya sekadar "kedamaian impoten" (Aron, 1966, p.159).

Immanuel Kant juga menolak kedamaian seperti ini, karena bagi Kant, kedamaian haruslah "sebuah akhir untuk seluruh pertempuran" (Kant, 1991, p.93). Tak heran jika Kant mempertahankan prinsip pertama bahwa kedamaian abadi terjadi ketika negara "tidak membuat bubuk mesiu secara diam-diam untuk perang di masa depan" (p.93). Para pasifis pada umumnya sepakat dengan Kant, bahwa modus vivendi bukanlah kedamaian yang sebenarnya, karena pertempuran bisa terjadi kapan pun; di sisi lain, membuat senjata pemusnah massal untuk dalih kedamaian, hanya akan mempersiapkan perang paling brutal di masa depan. Para pasifis, sama seperti Kant, berusaha untuk membentuk kedamaian abadi tanpa pertempuran atau senjata; dan juga berusaha membangun dunia bukan dari rasa takut, tapi dari kesadaran moral dan suara hati.

Namun, kedamaian yang paling masuk akal adalah kedamaian putih atau kedamaian positif. Para pemikir yang mengadopsi konsep kedamaian putih, seperti Jhon Galtung misalnya, menawarkan bahwa kedamaian bukan hanya kedamaian tanpa peperangan, melainkan juga tidak adanya kekerasan struktural. Konsep tentang kekerasan struktural, kita tahu, berhubungan dengan rasisme, seksisme dan lain-lain. Oleh karena itu, kedamaian putih berusaha untuk membangun "kedamaian emansipatoris"; sebuah kedamaian yang terbebas dari kekerasan struktural dan membentuk masyarakat setara. Di sisi lain, para pasifis kedamaian putih juga berusaha memberi resolusi tanpa konflik kekerasan dan menegakkan dengan terang traktat keadilan. Namun, karena gagasan kedamaian putih jauh lebih luas yang meliputi kesetaraan, keadilan ekonomi, ketahanan lingkungan, dll., kedamaian putih jauh dari konsep inti kedamaian sebagai anti-perang dan anti-kekerasan. Meskipun, kedamaian putih akan sangat berguna ketika kekerasan langsung (kekerasan fisik) sedang tak terjadi. Satu hal yang perlu diingat, kedamaian putih benar-benar menolak secara tegas kekerasan langsung.

Pertanyaan pentingnya adalah, apa sebenarnya prasyarat kedamaian? Mungkin ataukah tidak mungkin kedamaian sejati bisa berdaulat? Martha Nussbaum, filsuf perempuan dari Chicago dan seorang pasifis kontemporer, dengan karya masyhurnya yang terbit tujuh tahun lalu berjudul Anger and Forgiveness (2016), punya satu tawaran menarik tentang konsep amarah dan pemaafan. Di akhir buku Amarah dan Pemaafan, Nussbaum menulis dengan lantang bahwa tujuannya menulis buku ini adalah "...agar pembaca melihat irasionalitas dan kedunguan dari amarah" (Nussbaum, 2016, p.249). Nussbaum menganggap bahwa amarah punya dua peran destruktif: di satu sisi, membuat dunia dipenuhi rasa sakit; dan di sisi lain, menciptakan perang tak habis-habis. Adapun pemaafan adalah hukum pertama dari mandat moral.

Martha Nussbaum: Amarah Sudah Selalu Problematik dan Irasional

Drama trilogi tragedi Orestia karya Aeschylus, Furies yang pada mulanya adalah dewa "tak manusiawi, obsesif, dan haus darah" berubah menjelma dewa "yang menerima akal sehat, lemah lembut, bebas dan serba terukur" (Nussbaum, 2016, p.3). Transformasi dari jahat ke baik dewa Furies ini, bagi Nussbaum, harus menjadi mandat moral baik bagi individu maupun struktur sosial: karena "marah sudah selalu, secara normatif, problematik" (p.5).

Konsep tentang amarah sudah selalu mengandung "ide tentang balas dendam dalam berbagai macam bentuk, seberapa pun subtilnya" (p.15). Bagi Nussbaum, struktur dasar dari amarah adalah "target" dan "fokus". Target adalah seseorang yang menjadi titik tumpu amarah akan dilontarkan; sedangkan fokus adalah tindakan membahayakan yang diarahkan pada target. Dengan demikian, amarah "dimulai dari tindakan merusak yang dilakukan oleh target (bisa juga dikatakan pelaku per) dan walhasil, membuat seseorang marah" (p.15). Adapun dalam menyikapi amarah, terdapat dua bentuk: pertama adalah jalan pengembalian (road of payback), yakni "mengembalikan kerusakan kepada target (atau pelaku) sebagai cara untuk mengurangi rasa sakit" (p.24); dan kedua adalah jalan status (road of status), atau jalan identitas yang menganggap diri sebagai korban dan berada dalam posisi relatif. Dua sikap dalam menanggapi amarah ini, bagi Nussbaum, irasional.

Pertama, jalan pengembalian itu irasional, karena "Mengapa orang yang cerdas harus berpikir bahwa menyakiti pelaku bisa meredakan rasa sakit?"; kedua, jalan status itu juga irasional, karena ia narsistik dan seolah- olah membuat "Dunia harus berputar sesuai hasratnya sendiri, dan (mereka yang memilih sikap ini) cenderung berusaha untuk mendominasi dan mengontrol" (p.24-29). Meski demikian, ada satu respons emosional yang tidak problematik, Nussbaum menyebutnya sebagai transisi-marah. Di dalam transisi-marah, subjek merespons rasa sakit dengan pernyataan, "Sungguh keterlaluan! Sesuatu harus dilakukan dengan hal ini" (p.35). Tipikal marah seperti ini

tidak berhasrat membalas dendam maupun fokus pada status. Meskipun tak problematik, Nussbaum berpendapat bahwa transisi-marah cukup langka, karena dalam beberapa kasus, subjek justru terjebak memikirkan cara terbaik membalas dendam (p.36). Transisi-marah langka, bagaimanapun juga, karena mensyaratkan jika disakiti tak menuntut balas dendam dan ketika menjadi penyintas ia tak narsistik.

Dari sini kita tahu bahwa amarah yang berujung balas dendam adalah hal yang narsistik dan irasional. Oleh karena itu, Nussbaum menawarkan satu hal yang harus kita ingat, yakni transisi. Transisi adalah momen ketika, di satu sisi, kita sadar bahwa amarah itu irasional; dan di sisi lain, transisi juga berarti mengganti amarah dengan "memikirkan masa depan yang sejahtera" dan "harapan penuh belas kasih" (p.31). Nussbaum berusaha menyatakan, dengan elegan dan berwibawa, bahwa dunia akan jauh lebih baik dan kedamaian bisa tegak jika dendam kesumat lenyap dan amarah bisa diredam. Bagi Nussbaum, dendam lenyap dan amarah bisa diredam jika (dan hanya jika?) melalui aktus pemaafan.

Bagi Nussbaum, setidaknya ada enam kriteria agar seseorang bisa dikatakan kandidat pemaaf: (1) subjek bertanggung jawab; (2) mengakui (confession) dosa yang diperbuat; (3) menyatakan penyesalan; (4) bertaubat melalui kata-kata dan tindakan; (5) sadar kerugian yang diterima oleh korban, (6) dan menjelaskan bahwa kesalahan yang ia perbuat bukan cermin dari totalitas kepribadiannya (p.57). Meski demikian, enam kriteria kandidat pemaaf ini, kata Nussbaum, hanya sekadar "pemaafan transaksional" (p.58). Pemaafan transaksional ini terikat pada suatu ruang, suatu waktu, dan sekadar menyatakan janji. Sementara itu, pemaafan yang paling elementer adalah pemaafan yang didasarkan pada pertaubatan dengan kesadaran moral. Dalam Islam, pertaubatan yang didasarkan pada moral ini dikenal sebagai taubat nasuha, sebuah taubat yang tak akan pernah mengulangi lagi perlakuan bebal dan mohon ampun murni hanya pada Tuhan dan dalam tradisi agama Abrahamik lain seperti Yahudi, sering dikenal sebagai teshuvah. Dalam diskursus teologis, pemaafan menjadi diskursus yang elementer, terutama tentang konsep taubat dan pemaafan Tuhan. Berbeda dengan pemaafan transaksional, pemaafan Tuhan tak terjebak pada pemaafan yang terikat pada suatu ruang dan waktu, melainkan pemaafan yang tak bersyarat, sebuah unconditional forgiveness. Sebuah momen, mengutip Nussbaum, "Ketika Tuhan marah dan menanggalkan amarahnya" (p.75).

Problemnya, manusia bukanlah Tuhan yang pengasih-Nya tak tertandingi, dan manusia tetap terikat dalam suatu ruang politik yang tak ajek. Semua serba mungkin di masa depan. Meski demikian, satu hal yang pasti, kita berhak marah, tetapi dengan satu kesadaran bahwa marah sudah selalu irasional dan problematik apa yang disebut Nussbaum sebagai transisi-marah. Dengan kesadaran ini, kita tak berani berbuat kekerasan; mampu terlepas dari balas dendam; dan, yang paling penting, pemaafan tak bersyarat menjadi mungkin. Adapun terhadap instansi politik, bagi Nussbaum, seharusnya mengikuti bagian ketiga dari trilogi tragedi Oresteia, yakni Eumenides: "...fokus pada kesejahteraan sosial dan menjauhi sikap amarah pada masa lalu" (p.172).

Kita tak butuh dunia yang tak punya kesadaran moral. Dunia tak harus dibangun di atas rasa takut dan intimidasi, melainkan dari sikap menahan amarah dan tak menuntut aksi balas dendam. Sebuah dunia yang tahu cara memaafkan, di sini kedamaian dan keadilan sejati setidaknya bagi Nussbaum bisa berdaulat. Akhirnya, pada mulanya adalah maaf, dan maaf itu pada saat yang sama juga berarti kedamaian.

* Esai ini memiliki judul asli "Pasifisme dan Prasyarat Kedamaian: Maksim Pertama adalah Amarah Sudah Selalu Problematik dan Irasional" merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//