• Opini
  • Berburu “Damai” di Dunia Para Serigala

Berburu “Damai” di Dunia Para Serigala

Perdamaian juga adalah masa-masa gencatan senjata yang setiap saat bisa berakhir.

Anindita S. Thayf

Novelis dan esais

Di bawah terik matahari dan lindungan payung, mereka menyimak sejarah perang.

28 Desember 2023


BandungBergerak.id – “Apabila bom atom adalah suatu barang yang mahal dan langka seperti kapal tempur.... ia akan mengakhiri perang skala besar, namun juga akan mengabadikan, ‘perdamaian yang tidak damai," demikian George Orwell menutup esainya, You and The Atomic Bomb, yang dimuat pertama kali di koran Inggris, Tribune, pada 19 Oktober 1945, atau berselang dua bulan sembilan hari dari serangan terakhir bom atom di Hiroshina dan Nagasaki, Jepang.

Perang adalah salah satu cara dunia menghancurkan manusia. lalah mimpi buruk kemanusiaan yang membuat nyawa manusia seolah tanpa harga dan kata "damai" hanya ilusi. Perang mengadudomba sesama manusia atas nama kepentingan masing-masing pihak, entah ekonomi, politik, ras, suku, agama, kelas sosial hingga harga diri. Adapun perdamaian diyakini bisa menghentikannya sebab layaknya nilai-nilai baik-buruk. benar-salah yang berpasangan, keluhuran nilai moral yang positif dipercaya mesti akan selalu menang; satu melampaui yang lainnya. Namun bagaimana halnya jika perdamaian dan perang ternyata berdiri di atas papan permainan yang sama, papan catur milik kelas borjuasi pemegang nilai-nilai aristrokratis? Keduanya hanya bagian dari permainan putih melawan hitam.

Perdamaian Tanpa Damai

Bisakah terjadi perdamaian yang tidak damai? Orwell telah mengisyaratkannya lewat kalimat di atas dan sebagaimana yang kian terkuak akhir-akhir ini. Bahwa pada akhirnya, ketika zaman kejayaan pasar tiba dan masyarakat konsumsi lahir, maka apa pun bisa menjadi komoditi, termasuk perdamaian.

Menurut Karl Marx (2022: 37), komoditi merupakan salah satu wajah kapitalisme. Komoditi diproduksi oleh pemilik modal yang dikerjakan kelas pekerja untuk diperjualbelikan. Karena diperjualbelikan, komoditi harus memiliki nilai pakai. Artinya, ia harus bisa memenuhi kebutuhan hidup manusia. "Senjata misalnya adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat yang doyan perang dan maka itu mengandung nilai pakai dan seterusnya (2022: 37)." Komoditi mesti pula memiliki nilai tukar. Nilai moral tidak dibutuhkan.

Perang bisa dilihat sebagai usaha agar komoditi bisa bergerak di pasar kapitalisme. Perang Irak, misalnya, bukan semata bertujuan menciptakan perdamaian di kawasan Teluk, melainkan ada upaya agar komoditi memiliki nilai pakai. Senjata tidak akan memiliki nilai pakai jika hanya menghuni gudang. Itulah mengapa ia harus digunakan apa pun dalihnya, termasuk perdamaian. Bahwa Sadam Husein memiliki senjata pemusnah massal, Bush berdalih. Bahwa pabrik senjata perlu menjual produknya agar mendapat untung besar dan Amerika Serikat perlu menguasai minyak bumi Irak yang melimpah, adalah rahasia Bush dan para kapitalis. Demi semua kepentingan itu perdamaian yang tidak damai diciptakan.

Kapitalisme bercorak produksi eksploitatif. Ini berarti mereka sanggup mengeksploitasi apa saja demi mengeruk laba, termasuk perdamaian. Jadilah misi-misi perdamaian di berbagai negara di Selatan, seperti Suriah, Syiria, Afganistan, tidak bebas nilai. Serupa yang terjadi sejak zaman kolonial, selalu ada kepentingan modal di balik misi-misi kemanusiaan, entah peradaban, entah perdamaian. Sebab, keluhuran moral positif selalu menyediakan celah yang cukup lebar untuk penyetaraan nilai-nilai yang berlawanan, bahkan pemutarbalikan fakta.

Senjata, berdampingan dengan mikroba dan organisasi politik terpusat, merupakan agen modern penaklukan (2013: 269). Namun kini, seiring kebaruan zaman, pembaruan mutakhir terhadap agen penaklukan juga terjadi. Maka terciptalah apa yang bisa bekerja lebih senyap daripada senjata, lebih mewabah daripada mikroba, lebih mengancam dan personal dari organisasi politik: virus kebencian.

Baca Juga: Mbaru Gendang sebagai Ruang Publik dalam Menyelesaikan Konflik Tanah di Manggarai
Pasifisme dan Prasyarat Kedamaian
Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia

Sentimen yang Berevolusi

Virus kebencian berasal dari sentimen kebencian yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sesuatu yang menjumpai Nietszche saat dia sedang mencari-cari asal-usul kejahatan di balik dunia sambil bertanya- tanya dalam Geneologi Moral, "Di bawah kondisi apa manusia membangun pertimbangan-pertimbangan nilai baik dan buruk?" (2001: 5). Nietzsche menemukan bahwa sentimen kebencian lahir dari jurang kesenjangan sosial dan dibesarkan oleh dikotomi nilai baik dan nilai buruk yang ada di masyarakat.

Setiap manusia memiliki nilai moral yang berbeda tergantung kelas sosialnya. Nilai moral baik diberikan hanya kepada manusia kelas atas, sementara nilai sebaliknya untuk manusia kelas bawah. Manusia kelas bawah memiliki penderitaan yang sangat jauh berbeda dari manusia kelas atas karena selain miskin, ia juga serba kekurangan dalam banyak hal. Kebencian tak berdaya inilah yang kemudian memicu pemberontakan dan melahirkan apa yang disebut Nietszche sebagai manusia resentimen.

Kebencian tanpa batas terhadap hal-hal di luar dirinya adalah ciri manusia resentimen. Didorong oleh naluri mempertahankan diri, orang semacam ini akan menganggap keadaan terbaik orang lain (kebahagiaan, kecantikan, kepandaian, kekayaan, kepopuleran) merupakan bentuk ketidakadilan dunia atas dirinya, sehingga orang itu patut diganjar penderitaan sebagai bentuk kompensasi. Dengan kata lain, manusia resentimen membutuhkan musuh eksternal untuk memberinya sensasi kuasa yang kuat demi menunjukkan eksistensinya dan merasa "lebih baik".

Seiring perubahan zaman, sentimen kebencian merasuki kesadaran modern. Berkat dukungan masyarakat kontemporer yang ahli membangun kekuatan sosial melalui teknologi tinggi, ia lantas berevolusi menjadi virus kebencian yang menyebar lewat internet dan berkembang biak di media-media sosial. Manusia resentimen yang bermain internet dan memiliki akun media sosial-biasanya lebih dari satu dan anonim adalah apa yang kemudian kita kenal sebagai haters alias para pembenci.

Intoleransi, Kekerasan dan Perdamaian Serigala

Adalah seorang filsuf Inggris, Thomas Hobbes, yang memperkenalkan penggalan kalimat epik buah cipta dramawan Romawi, Titus Maccius Plautus, kepada dunia: manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Jika dibawa ke zaman sekarang di mana dunia telah memiliki masyarakat yang jauh lebih maju, mapan, berkemampuan intelektual dan material tinggi, pernyataan ini jelas sangat mengusik. Benarkah manusia sama dengan serigala?

Ketika berbicara tentang intoleransi dalam salah satu esainya, Umberto Eco menemukan bahwa manusia memang serupa binatang pada tahap intoleransi. Insting untuk tidak percaya kepada apa saja di luar dari dirinya telah dimiliki manusia sejak kecil, pun termanifestasikan dalam diri binatang sebagai insting bertahan hidup dan menjaga daerah kekuasaan (Eco, 2001: 128). Namun, melalui pendidikan yang berkelanjutan, manusia belajar menerima perbedaan. Ironisnya, setinggi apa pun intelektualitas seseorang, ia tidak dapat digunakan untuk melawan intoleransi yang tidak terkendali karena itulah saat di mana sisi kebinatangan murni yang irasional mengambil alih.

Dalam bukunya berjudul The Heart of Man, Erich Fromm, psikolog sosial dan psikoanalis asal Jerman. memaparkan gagasannya bahwa manusia mempunyai kehendak, kapasitas dan kebebasan untuk mengubah dunia, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dengan kehendak dan kapasitasnya, manusia bisa menggunakan kekuatan tersebut untuk mencapai tujuan hidupnya. Adapun dengan kebebasannya, manusia mempunyai pilihan, entah untuk menciptakan kehidupan atau menghancurkannya.

Adapun demi menciptakan kehidupan, seorang manusia membutuhkan sejumlah kualitas dan kapasitas tertentu, seperti berpikir rasional, berempati, berperikemanusiaan dan mencintai kehidupan. Sebaliknya, seorang manusia yang memilih menghancurkan kehidupan hanya membutuhkan satu kualitas, yaitu kemampuan penggunaan kekerasan. Manusia semacam ini tidak memiliki kemampuan untuk membayangkan. apalagi merefleksikan akibat dari tindakannya. Erich Fromm menyebutnya manusia tuna daya. Lewat kekerasan, manusia tuna daya merasa lebih kuat dan memegang kendali. Ketunadayaannya seolah tergantikan. Manusia tuna daya Fromm adalah potret sebagian besar masyarakat kita sekarang.

Masyarakat tuna daya merupakan produk sampingan dari kapitalisme, selain masyarakat konsumsi. la terjadi dari hasil pembelahan masyarakat menjadi kelas-kelas sosial: kelas borjuasi dan kelas proletar, termasuk kaum tani dan kaum miskin perkotaan. Sebagai akibat dari kondisi sosial yang terhisap, termarjinalkan dan teraniaya, baik secara kultural maupun struktural, mereka yang menjadi obyek keadaan ini membenci kehidupan dengan cara mereka sendiri. Ketidakmampuan mereka bertindak menyebabkan mereka menderita dan, "penderitaan karena ketunadayaan ini berakar pada fakta bahwa keseimbangan manusia telah diganggu, bahwa manusia tidak bisa menerima keadaan tidak berdaya secara lengkap tanpa berupaya memulihkan kapasitasnya untuk bertindak," (2019: 36).

Apa yang terjadi kemudian adalah masyarakat kontemporer yang tuna daya, produktif, tapi juga destruktif, inilah yang bertanggungjawab atas terciptanya "alat penghancur kekinian" yang tidak terkendali dan sanggup membawa perang ke luar dari medan tempurnya yang berada entah di negara lain, di seberang lautan atau di balik gunung, untuk masuk ke dalam ranah yang lebih sempit dan privat, seperti kantor, sekolah, rumah, bahkan kamar tidur. "Alat penghancur kekinian" ini memainkan perang mental yang berdampak parah, baik fisik maupun psikis, pada korbannya dengan cara bergerilya di dunia maya. Kendati begitu, ia sanggup meracuni kehidupan dunia nyata dan membawa teror layaknya perang, bahkan. menghilangkan nyawa manusia. Ialah pemilik kekuatan yang tak tertandingi sekaligus pemilik kecerdasan yang tiada lawan; si paling kritis, paling diskriminatif, paling egois: haters.

Pada titik ini, kebenaran atas premis homo homini lupus seolah menemukan pembuktian. Sebagai hasil dari permainan kepentingan yang dominan dan tekanan-tekanan yang ada, manusia itu sendiri yang justru memilih untuk menjadi serigala bagi sesamanya. Ketidakmampuannya menghargai dan menghormati, mencintai dan mengasihi, dengan bebas diekspresikan dalam sejumlah ide-ide idealnya, seperti tentang demokrasi, kesetaraan, hingga kesalehan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, bahkan gaya hidup sehari-hari, agar sesuai standar nilai-nilai buatannya. Untungnya, sekarang bukan lagi zaman Kaisar Romawi, Caligula, yang dengan bangga berprinsip. "Aku hidup. Aku membunuh. Aku melatih kemampuan perusak dengan penuh gairah," (2019: 37)." Dengan alasan apa pun, sukarela atau berbayar, kekerasan pasif dari orang-orang lumpuh semacam ini tidak pernah bisa dibenarkan.

Jika satu-satunya bentuk pemberdayaan diri yang dilakukan oleh seorang manusia adalah menghancurkan, lantas apa kabar perdamaian? Alih-alih berpikir soal perdamaian, dengan kekurangmampuan untuk menalar, berempati dan mencintai kehidupan, masyarakat tuna daya mudah menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah, kecuali itu terjadi pada diri mereka. Kekritisan, kepedulian dan kepekaan yang palsu juga mereduksi rasa kemanusiaan mereka hingga nyaris kehilangan rasa bersalah. Kekecewaan pada kehidupan juga membuat orang-orang mudah membenci, dan kebencian itu hendak disebarkan ke mana-mana hingga berujung pada kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Untuk perdamaian secara universal, jelas kini tertampak bahwa ia tiada lain hanya totem buatan otoritas berkuasa yang bisa dibongkar pasang sesuai kepentingan. Perdamaian juga adalah masa-masa gencatan senjata yang setiap saat bisa berakhir. Perdamaian bisa menjadi seperti ini tentu setelah "damai", yang seharusnya merupakan kata kerja aktif, dimandulkan perlahan-lahan: ditaruh dalam akuarium, dibiarkan hidup bersama masyarakat yang sakit, dan sesekali diteriakkan hanya sebagai slogan.

Di ujung semua itu, apa yang hadir di dunia para serigala hanyalah perdamaian yang tidak damai. Perdamaian yang terpelihara berkat ketakutan akan hadirnya suatu ancaman bakal terjadi sesuatu yang bisa membuat dunia kejam ini semakin sulit dijalani, bukan karena kesadaran bahwa kehidupan hanya akan bermakna positif jika kita memberinya makna yang baik. Pun, bahwa sesungguhnya arti penting kehidupan tidak hanya terletak di dalam diri kita sendiri, melainkan juga dalam diri makhluk hidup lain. Itulah kebersamaan.

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori The Best pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//