Merayakan Keberagaman, Menumbuhkan Ruang Dialog di Tengah Stigma Intoleransi
Layaknya sepiring salad, keberagaman menghadirkan warna dan rasa yang memperkaya kehidupan bersama.

Dini Laila Syifa Az Zahra
Peserta Kelas Liar
14 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Jawa Barat akhir-akhir ini dicap sebagai salah satu provinsi paling intoleran. Cap tersebut juga disebutkan pada artikel Bandung Bergerak yang membahas provinsi-provinsi paling intoleran di Indonesia. “Jawa Barat masih memuncaki daftar pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama (KBB), berdasarkan penelitian terbaru SETARA Insitute tahun 2024. Ada 38 peristiwa pelanggaran KBB sepanjang tahun 2024, meski dibandingkan tahun sebelumnya angka tersebut menurun, yakni 47 kasus.” demikian dikutip dari artikel BandungBergerak 30 Mei 2025, diakses Minggu 5 Oktober 2025. Stigma itu seakan diperkuat dengan sejumlah peristiwa, termasuk kasus perusakan sebuah vila di Cidahu, Cianjur, beberapa bulan lalu karena dianggap mendirikan rumah ibadah yang ternyata hanya mengadakan kegiatan retret anak-anak. Peristiwa ini menyisakan luka sekaligus pengingat bahwa intoleransi itu masih nyata di sekitar kita.
Di tengah situasi itu, Kelas Liar #7 menawarkan ruang belajar bersama tentang keberagaman. Bertempat di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, acara ini menghadirkan dua sesi utama: Cafe Religi yang dipandu komunitas Jakatarub, dan sesi interseksionalitas oleh Dian Andriasari, dosen Fakultas Hukum Unisba sekaligus anggota IsForb (Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief).
Sesi pertama dibuka dengan nuansa yang hangat. Tidak seperti ceramah yang hanya bersifat satu arah, suasana dibuat menyerupai obrolan cafe. Kami diberi kesempatan untuk berdialog serta berinteraksi langsung dengan pemeluk agama minoritas dan kelompok kepercayaan, mulai dari Baha’i, agnostik, Kristen, Konghucu, hingga Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan tersebut, saya mendapat kesempatan untuk dibacakan tarot oleh seorang pemeluk agnostik. Hal itu justru membuat percakapan semakin cair, membuka jalan untuk melihat bahwa spiritualitas bisa hadir dalam beragam wajah.
Dalam materi bertajuk “Indonesia Itu Salad, Bukan Gado-gado”, fasilitator menjelaskan bagaimana era Orde Baru pernah memaksakan penyeragaman budaya, seakan keberagaman harus dilebur menjadi satu. Padahal, teori salad bowl justru menekankan bahwa setiap elemen budaya dan keyakinan dapat hidup berdampingan tanpa kehilangan identitasnya, sekaligus saling melengkapi dalam satu wadah yang sama. Misalnya, pada masa orde baru warga keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti nama mereka agar terdengar lebih “Indonesia” atau juga pelarangan penggunaan jilbab bagi perempuan pemeluk agama Islam yang terjadi di awal masa Orde Baru karena dianggap sebagai ancaman. Kedua contoh tersebut mencerminkan logika gado-gado: semua dilebur dalam satu rasa. Namun setelah terjadi reformasi, kebijakan-kebijakan tersebut dicabut dan masyarakat leluasa untuk menggunakan nama asli serta bisa menggunakan jilbab di ruang publik. Contoh ini membuat saya memahami mengapa teori salad bowl terasa relevan; perbedaan tidak perlu dihapus, justru dipelihara agar setiap identitas bisa saling melengkapi tanpa kehilangan keaslian.
Sesi kedua menghadirkan nuansa berbeda. Dalam pemaparannya, Dian Andriasari membahas konsep interseksionalitas, gagasan yang pertama kali dikenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada 1989 untuk memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang saling bertumpuk. Beliau mencontohkan, seorang perempuan dari keluarga miskin tidak hanya mengalami kerentanan karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena kondisi ekonomi, pendidikan yang terbatas, hingga aturan adat dan posisi hukumnya. Salah satu poin penting yang beliau tekankan adalah bahwa aturan hukum sering kali terlihat netral di permukaan, tetapi dalam kenyataannya justru bisa memperparah ketidakadilan yang dialami kelompok marginal.
Baca Juga: Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman
Pameran Seniman Muda di ArtSociates dan Hybridium, Mengekspresikan Keberagaman Imajinasi
Merayakan Keberagaman di Festival HAM 2025, Menyuarakan Hak-hak Kelompok Terpinggirkan
Ketidakadilan Sosial Tidak Pernah Berdiri Tunggal
Sebagai peserta yang awam dengan keberagaman dan teori sosial, materi kedua ini terasa cukup berat. Materi kedua ini terasa seperti mengikuti kuliah dua SKS. Namun, sesi ini membuka wawasan baru bahwa ketidakadilan sosial tidak pernah berdiri secara tunggal. Seperti yang dipaparkan Dian, ketidakadilan sosial itu memiliki berbagai spektrum tergantung dari latar belakang dan bagaimana dinamika sosial di sekitarnya. Di sinilah peran pendamping hukum masyarakat maupun organisasi akar rumput menjadi penting, agar kelompok rentan tetap punya akses terhadap keadilan. Hal ini menunjukkan mengapa penting bagi kita untuk memahami interseksionalitas. Sebab, keadilan yang dialami seseorang bisa datang dari berbagai arah. Dengan memahami kerumitan ini, kita bisa lebih bijak dalam melihat sebuah fenomena sosial, sekaligus mencegah diri dari sikap menyederhanakan masalah yang sejatinya kompleks. Pada akhirnya, cara pandang ini menolong kita untuk mencari solusi yang lebih adil dan menyeluruh.
Dua sesi ini, meskipun memiliki perbedaan gaya, keduanya terdapat benang merah: keberagaman harus dirawat, bukan dipaksakan. Dialog lintas iman di Cafe Religi mengajarkan bahwa mendengar langsung cerita dari berbagai kelompok minoritas jauh lebih menyentuh ketimbang sekadar membaca teori. Sementara, diskusi interseksionalitas menekankan pentingnya memahami bahwa diskriminasi bersifat kompleks dan berlapis.
Bagi saya pribadi, Kelas Liar bukan sekadar forum diskusi publik. Ia melanjutkan proses belajar yang sebelumnya saya temukan di ruang kuliah. Semester lalu, saya mengikuti mata kuliah Fenomenologi Agama dan menikmati tiap diskusi yang terjadi. Sejak saat itu, saya mulai menyadari bahwa lahir dan tumbuh sebagai bagian dari kelompok mayoritas membuat hidup saya relatif lebih mudah, sebuah kenyamanan yang tidak selalu dimiliki oleh mereka yang berbeda keyakinan atau identitas. Kesadaran tersebut mendorong saya untuk terus belajar, bukan hanya lewat bacaan dan diskusi di kelas, tetapi juga langsung dari pengalaman nyata di tengah masyarakat.
Kesadaran tersebut semakin meneguhkan pandangan saya bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sumber kekayaan bersama. Apalagi setelah muncul kasus intoleransi seperti perusakan di Cidahu, ruang ini terasa seperti oase kecil yang memberi harapan. Harapan bahwa sikap intoleran bisa dilawan dengan percakapan jujur dan ruang dialog yang setara.
Bagi saya, memilih iman memang penting, tetapi menghidupi iman yang sudah kita pilih sambil menghargai keyakinan orang lain adalah perjalanan seumur hidup. Layaknya sepiring salad, keberagaman menghadirkan warna dan rasa yang memperkaya kehidupan bersama. Di tengah bayang-bayang intoleransi, ruang-ruang dialog seperti ini menjadi pupuk yang menumbuhkan optimisme akan hadirnya masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB