• Buku
  • RESENSI BUKU: Dari Suku Anak Dalam, Butet Manurung Mengajarkan Kita Arti Sebenarnya Merdeka Belajar

RESENSI BUKU: Dari Suku Anak Dalam, Butet Manurung Mengajarkan Kita Arti Sebenarnya Merdeka Belajar

Pendidikan yang memerdekakan hanya bisa terjadi jika pengajar mau melepaskan arogansi intelektualnya, belajar dari kearifan lokal murid-muridnya.

Sampul buku Sokola Rimba karya Butet Manurung (Penerbit Buku Kompas). (Foto: Aldi Alfaridzin/BandungBergerak)

Penulis Aldi Alfaridzin21 Desember 2025


BandungBergerakIsu sentral dalam pendidikan Indonesia sering kali berputar pada pertanyaan mendasar, apakah sistem kita dirancang untuk menyatukan atau untuk menyeragamkan? Bagi sebagian besar dari kita yang mengenyam pendidikan formal dengan kurikulum seragam dan birokrasi yang kaku, kita tumbuh dalam sistem yang cenderung memaksakan keseragaman dalam perbedaan identitas dan nilai.

Dalam konteks ini, ‘Sokola Rimba’ (Sekolah Rimba) karya Butet Manurung hadir bukan hanya sebagai memoar, melainkan sebagai jejak rekam yang mempertanyakan premis sentralistik. Melalui kisah perjuangannya dengan Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi, Butet secara eksplisit menunjukkan konsekuensi fatal dari pemaksaan kurikulum yang buta terhadap heterogenitas budaya. Buku ini bukan hanya tentang kemerdekaan belajar, namun sebagai cermin reflektif untuk melihat seberapa jauh masyarakat perkotaan yang kaya akan pusat perpaduan budaya telah gagal melindungi pluralisme pendidikan dari desakan penyeragaman budaya.

Sokola Rimba merupakan kumpulan catatan harian Butet Manurung selama ia ‘berjuang’ memberikan pengalaman belajar dan mengajar di Rimba. Sembari mengikuti petualangan Butet yang kerap dikejar hewan-hewan buas, berlalu-lalang di hutan rimba, sampai dikecam masyarakat Rimba akan idenya yang ingin memberikan pendidikan, kita juga akan diberi pencerahan tentang pentingnya menjunjung nilai budaya, perjuangan, serta pengabdian yang nyata.

Butet pun berusaha mendefinisikan ulang tentang makna keberhasilan dan menantang para pembaca untuk memikirkan kembali tentang konsep ‘merdeka belajar’, apakah memang sudah benar-benar diterapkan hingga ke pelosok.

Ketika Kurikulum Pusat tak lagi Relevan

Kita sering menggaungkan slogan “Merdeka Belajar”, tapi apakah kita benar-benar memahami arti kata kemerdekaan itu? apakah hanya diartikan kita terlepas dari penjajah? Membaca kisah perjuangan Butet tentang mengajar suku Anak Dalam ia tidak hanya menorehkan jejak pendidikan alternatif melainkan justru mengajarkan kita arti sebenarnya nilai dari ‘Merdeka Belajar’.

“Membaca tulisan Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh, saya merasa tercerahkan. Selamat atas tulisan ini. Semoga Orang Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Aamiin,” tulis Iwan Fals (Pujian hal. iii).

Buku ini mempunyai 348 halaman, memuat berbagai foto, dan sampul gambar buku memperlihatkan seorang perempuan yang sedang mengajar anak laki-laki dengan papan tulis kapur yang sederhana. Dengan tutur kata yang sedikit mengerutkan dahi kita.

Melawan Penipuan dengan Literasi

Poin krusial dalam Sokola Rimba adalah pembalikan logika pendidikan bukan untuk menjadi ‘modern’, melainkan untuk bertahan hidup. Dalam bab ‘Jangan Usik-usik Adat Kami!’, Butet merekam ketakutan purba Suku Anak Dalam terhadap orang luar yang datang membawa “pendidikan”.

“Kalau mereka memang menipu kami, biarlah Tuhan yang menghukum mereka!” (halaman 60).

Ucapan ini menegaskan bahwa bagi orang Rimba, ancaman terbesar bukanlah “kebodohan” akademik, melainkan manipulasi sistematis oleh Orang Terang (Orang luar yang bukan penduduk Rimba). Di sini, Butet membuktikan bahwa pendidikan literasi menjadi senjata perlawanan agar mereka tidak mudah ditipu dalam sengketa lahan. Ini sebagai kritik telak bagi sistem nasional yang sering menggunakan pendidikan untuk alat asimilasi, padahal yang dibutuhkan oleh masyarakat adat berfokus pada perlindungan atas keseragaman hak-hak mereka.

Kritik terhadap kurikulum nasional semakin tajam ketika Butet membenturkan metode pengajaran formal dengan realitas rimba. Kegagalan metode konvensional memaksa Butet untuk menata kembali cara mengajarnya. Esensi ini tertangkap kuat dalam bab yang berjudul “Muridku Guruku” (hal. 110). 

Butet menyadari bahwa memaksakan kurikulum nasional yang penuh dengan objek asing (gedung atau kereta api) adalah kesia-siaan. Sebaliknya, ia menjadikan hutan sebagai ruang kelas dan fenomena alam bagian dari materi pengajaran. Pergeseran peran ini menunjukan bahwa pendidikan yang memerdekakan hanya bisa terjadi jika pengajar mau melepaskan arogansi intelektualnya serta merendahkan hati untuk belajar dari kearifan lokal murid-muridnya.

Baca Juga:RESENSI BUKU: Menolak Sejarah yang Disunting Kekuasaan
RESENSI BUKU: Wabi Sabi, Izin untuk Tidak Sempurna
RESENSI BUKU: Perempuan Melawan Arus Tradisi Kawin Tangkap 

Sebuah Tampara dari Rimba

Kejujuran naratif Butet memuncak pada pengakuan bahwa dalam hierarki kehidupan, “orang kota” tidaklah lebih superior daripada “orang rimba”. Satir ini diringkas dengan sempurna dalam kutipan Peniti Benang yang diabadikan di sampul belakang buku:

“Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tidak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca tulis,” (blurb).

Kalimat satir ini meruntuhkan klaim kemajuan modernitas. Ia menegaskan bahwa kemampuan baca-tulis-hitung (produk pendidikan formal) ternyata tidak sebanding dengan kemampuan menjaga kelestarian ekologis. Melalui autokritik ini, Butet menantang pembaca terutama kita yang bermukim di kota-kota besar acap kali menganggap sebagai pusat peradaban untuk bertanya kembali, apakah sistem pendidikan kita sudah mencetak manusia yang bijak, atau hanya sekadar manusia yang pintar secara teknis namun destruktif terhadap alam?

Informasi Buku

Judul: Sokola Rimba

Penulis: Butet Manurung

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Jumlah Halaman: 348 halaman.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//