PULIHKAN LUKA TAK KASAT MATA: ChatGPT sebagai Tempat Curhat di Saat Mendesak, Mengapa Bantuan Profesional Tetap Dibutuhkan?
Ketika teman tak merespons dan malam terlalu larut, Arunika memilih kecerdasan buatan untuk mendapatkan pendengar yang cepat, sambil tetap menyadari batasannya.
Penulis Fitri Amanda 31 Desember 2025
BandungBergerak - Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, rasa lelah sepulang kerja masih tersisa. Lampu kamar sengaja dimatikan menyisakan cahaya yang hadir dari gawainya. Dengan sisa-sisa tenaga, malam itu kedua jari jempolnya mengetikan pesan demi pesan di aplikasi ChatGPT. Arunika, 23 tahun, biasa mengeluarkan semua perasaan dan pikirannya ke perangkat lunak chatbot AI sebelum tidur.
Arunika menggunakan ChatGPT sebagai opsi terakhir untuk tempat bercerita. Ia memilihnya ketika membutuhkan respons dan pendengar dengan cepat, terutama saat teman-temannya tidak membalas pesan atau ketika larut malam—waktu yang tidak menjamin semua orang masih terjaga dan bisa merespons.
Di ChatGPT, Arunika menceritakan berbagai hal, mulai dari persoalan pekerjaan hingga hal-hal personal seperti rasa khawatir dan beban pikiran. Meski demikian, Arunika menyadari bahwa bantuan terbaik tetap datang dari tenaga profesional, seperti psikolog. Namun, dalam situasi mendesak, ChatGPT menjadi pilihan yang ia anggap paling memungkinkan saat itu.
“Aku tahu jawabannya ya pasti cuma ngevalidasi perasaan aku aja, tapi seenggaknya bisa bikin aku tenang dulu saat itu,” ungkap warga Bandung ini.
Belakangan ini isu kesehatan mental memang semakin mendapat perhatian, terutama di kalangan Generasi Z. Mereka semakin sadar akan pentingnya menjaga kondisi psikologis di tengah dunia yang serba cepat dan tekanan sosial yang kian meningkat.
Bercerita atawa curhat diyakini menjadi pilihan terbaik untuk meringankan beban mental. Beberapa Gen Z seperti Arunika kemudian memilih jalur nonprofesional untuk curhat, dengan cara ngechat ke ChatGPT.
Regine Larasati, 28 tahun, konselor mental, menilai pilihan curhat ke chatbot AI yang dilakukan Gen Z didorong oleh kebutuhan dasar akan rasa aman, kendali, dan respons cepat. Banyak individu yang merasa lebih aman curgat ke AI karena mereka bisa mengontrol apa yang diinginkan selama curhatnya tanpa waswas dengan stigma, penghakiman, atau penilaian.
Namun, Regine mengingatkan untuk tidak berlarut dalam rasa aman dan nyaman tersebut. Bagaimanapun chatbot AI tidak mampu menggantikan peran psikolog. teknologi kecerdasan buatan tersebut hanya merespons arahan atau prompt yang diberikan.
“Memang nggak bisa digantikan sama teknologi,” tandas Regine.
Sejumlah penelitian turut membahas fenomena curhat ke AI, salah satunya berjudul “Menemukan Kenyamanan dalam Algoritma: Fenomena Curhat ke AI dalam Era Digital”, jurnal yang ditulis Ade Nurkhairani, Dedy Arwansyah, dan Rahmanita Ginting.
Ade dkk menunjukkan bahwa motivasi utama individu curhat ke chatbot AI berakar pada tiga faktor: dukungan emosional, anonimitas, serta kenyamanan dan aksesibilitas. Penelitian tersebut mengacu pada Teori Kebutuhan Sosial Maslow yang menyebutkan kebutuhan akan rasa memiliki, diterima, dan dipahami menjadi faktor pendorong yang kuat individu untuk memilih medium tanpa risiko sosial.
Anonimitas menjadi alasan mengapa sebagian orang merasa lebih mudah bercerita pada mesin daripada manusia. Anonimitas ini memberi ruang bagi mereka yang sering kali menahan diri ketika berhadapan dengan manusia lain.
“Tidak seperti manusia, AI tidak memiliki bias pribadi atau prasangka yang dapat memengaruhi responsnya terhadap curahan hati seseorang. Pengguna dapat berbicara tentang berbagai masalah tanpa khawatir bahwa AI akan menilai mereka,” tulis Ade dkk, dalam penelitian yang dipublikasikan Mei 2025.
Selain rasa aman, aspek kecepatan dan kemudahan akses pertimbangan utama. Chatbot AI terbuka 24 jam dan mudah dichat oleh siapa pun. Gen Z yang terbiasa dengan respons cepat dari internet sering kali menginginkan hal yang sama dalam dukungan emosional. Keberadaan chatbot AI yang selalu siaga itulah yang membuat ia dipilih sebagai solusi.
Baca Juga: Tanda Bahaya Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia
Darurat Kesehatan Mental: Tragedi Banjaran dan Peran Penting Masyarakat sebagai Sistem Pendukung
Kekosongan Emosional pada AI
Penelitian berjudul The Role of Chatbots in Mental Health Interventions: User Experiences yang ditulis Seyed Amir Saadati dan Seyed Milad Saadati menjelaskan bahwa para pengguna AI mengaku adanya peningkatan refleksi diri, penurunan kecemasan, dan perasaan didukung setelah berinteraksi dengan AI. Teknologi tersebut dianggap memberikan semacam empati kepada para penggunanya dan bahkan beberapa pengguna mengaku seperti memiliki teman yang selalu tersedia untuk mereka, terutama pada saat-saat mereka merasa kesepian atau tidak memiliki seseorang untuk diajak bicara.
Namun penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa AI tidak benar-benar memahami emosi penggunanya, kekosongan emosional ini disebut “emotional disconnect”, yaitu perasaan yang didengarkan tetapi tidak sepenuhnya dipahami karena terdapat hambatan dan keterbatasan yang dimiliki AI.
“An Emotional Disconnect was occasionally felt due to the ‘Lack of human empathy’ and ‘Perceived insensitivity’ (‘Emotional Disconnect’ kadang-kadang dirasakan akibat kekurangan empati manusia dan kekurangan empati yang dirasakan),” demikian penelitian tersebut.
Batas-batas ini juga disoroti oleh Regine bahwa AI tidak dapat melakukan observasi mendalam, tidak dapat menilai situasi emosional penggunanya secara komperhensif, dan tidak memiliki kapasitas untuk menilai risiko.
“Karena kan psikolog asesmennya banyak ya, nggak cuma sekadar dengerin curhat dan (cuma) iya-iya, gitu ya,” ucap Regine yang sudah menjadi konselor selama dua tahun ini. Ia menegaskan bahwa AI hanya mampu merespons sesuai keinginan penggunanya.
Regine juga memandang fenomena ini mungkin terjadi akibat dari hambatan dalam mengakses bantuan professional. Faktor biaya kerap menjadi pertimbangan, mengingat layanan psikolog belum sepenuhnya ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan dianggap mahal.
Namun, Regine menegaskan bahwa kini sudah semakin banyak layanan konseling yang menwarkan harga terjangkau, salah satunya adalah Bloom Under The Sun, yaitu layanan konseling psikologi dengan harga terjangkau yang saat ini sedang dikembangkan oleh Regine sejak Agustus 2025.
Dalam hal ini, kesadaran diri setiap individu menjadi kunci. Menurut Regine, individu perlu sadar kapan dirinya membutuhkan bantuan profesional. Dukungan dari lingkungan sekitar tentu menjadi faktor besar untuk memperkuat proses pemulihan, tetapi keinginan diri tetap menjadi faktor yang paling penting.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

