• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Hakim Bukan Corong Undang-Undang

MAHASISWA BERSUARA: Hakim Bukan Corong Undang-Undang

Aturan tertulis sering kali tidak mampu menangkap kompleksitas persoalan manusia yang datang ke pengadilan.

Pernando Philip Aigro Simbolon

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Sengketa perkara hukum di pengadilan. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 Desember 2025


BandungBergerak.id – Hakim bukan corong undang-undang, melainkan penentu keadilan yang bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari setiap putusan yang dijatuhkan kepada masyarakat. Praktik peradilan menunjukkan bahwa putusan yang hanya berpegang pada bunyi pasal sering kali gagal menjawab rasa keadilan publik karena hukum tertulis tidak selalu mengatur secara jelas kondisi konkret yang dihadapi para pihak dalam suatu perkara. Karena itu, hakim dituntut tidak hanya menerapkan aturan yang berlaku, tetapi juga mempertimbangkan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusan benar-benar membawa manfaat nyata bagi para pencari keadilan (Simandjuntak et al., 2024).

Ketika aturan tertulis tidak memadai untuk menjawab persoalan konkret, hakim perlu menafsirkan ketentuan hukum secara bertanggung jawab dengan memperhatikan fakta, duduk perkara, dan keadaan para pihak agar putusannya tetap selaras dengan prinsip keadilan. Tanpa pertimbangan tersebut, putusan pengadilan berisiko hanya terlihat rapi secara hukum, tetapi tidak sungguh-sungguh dirasakan adil oleh masyarakat yang justru datang ke pengadilan untuk mencari perlindungan dan keadilan.

Hakim tidak dapat difungsikan sebagai corong undang-undang karena banyak aturan yang tidak lengkap, tidak jelas, atau tidak memadai sehingga perkara-perkara tertentu justru membutuhkan penilaian hakim untuk memastikan aturan tidak diterapkan secara kaku dan mengabaikan keadilan. Kondisi ini terlihat ketika norma hukum tidak menyediakan jawaban yang cukup bagi persoalan konkret dan hakim harus menafsirkan ketentuan yang ada agar putusan tidak merugikan para pihak. Pada situasi seperti ini, hakim dituntut menggali nilai keadilan yang hidup di masyarakat supaya penerapan hukum tetap sesuai dengan tujuan dasarnya yaitu sebagai alat untuk menyeimbangkan kemanfaatan dan kepastian. Gambaran tersebut tampak ketika suatu perkara mengandung persoalan sosial dan moral yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan membaca aturan secara formal. Dengan demikian, peran hakim menjadi penting untuk menyesuaikan penerapan hukum dengan konteks perkara sehingga keadilan yang dihadirkan tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga benar-benar dirasakan oleh para pihak yang berperkara.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Suara Formalitas Mahasiswa di Senayan, Krisis Politik Mahasiswa dalam Bayang-bayang Oligarki
MAHASISWA BERSUARA: Kenapa Hukum di Indonesia Buruk?
MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum Pengadaan Kesempatan Kerja untuk Penyandang Disabilitas

Peran Hakim Menentukan Arah Keadilan

Ketika ketentuan hukum tidak memberikan jawaban yang memadai, hakim berperan menentukan arah keadilan melalui penafsiran yang mempertemukan aturan tertulis dengan moralitas, kemanfaatan, serta nilai sosial yang tampak dalam perkara yang ditanganinya. Dalam praktik peradilan, banyak kondisi menunjukkan bahwa norma yang berlaku tidak menyediakan kejelasan yang cukup sehingga hakim perlu menelusuri nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat agar putusannya selaras dengan kebutuhan masyarakat dan situasi nyata para pihak. Upaya penafsiran hukum ini menjadi penting karena persoalan yang muncul di pengadilan sering kali memuat fakta dan kondisi yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh aturan hukum yang ada. Seperti yang ditegaskan oleh Yanto Jaya, hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat karena teks undang-undang tidak selalu mampu menggambarkan kondisi konkret perkara (Hakim & Jaya, 2024). Atas dasar itu, hakim harus menelaah konteks sosial dan keadaan para pihak, misalnya ketika ada ketimpangan posisi, ketika salah satu pihak berada dalam situasi yang lebih lemah, atau ketika terdapat fakta penting yang tidak tercakup dalam aturan tertulis agar putusan yang dijatuhkan benar-benar mencerminkan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Pandangan yang menempatkan hakim sebagai corong undang-undang keliru karena inti dari keadilan bergantung pada keberanian hakim menggunakan integritas dan kebijaksanaan moralnya untuk menilai apakah penerapan aturan tertentu benar-benar adil bagi para pihak yang berperkara. Banyak aturan hukum yang tidak sepenuhnya jelas, misalnya aturan yang hanya mengatur hal-hal umum tanpa memberi petunjuk ketika muncul kondisi khusus seperti ketimpangan posisi para pihak atau adanya fakta penting yang tidak dicantumkan dalam pasal sehingga hakim tidak bisa hanya mengulang bunyi pasal, tetapi harus menangkap nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat agar putusannya tidak menyakiti pihak yang seharusnya dilindungi. Di titik inilah integritas dan moralitas menjadi sangat menentukan karena tanpa pegangan moral yang kuat putusan hanya menghasilkan kepastian formal yang tampak rapi namun gagal memberi rasa adil bagi orang yang datang ke pengadilan. Situasi seperti ini tergambar ketika aturan diterapkan secara kaku dan justru menekan pihak yang lemah, padahal hakim dapat menafsirkan ulang aturan dengan mempertimbangkan siapa yang dirugikan dan apa dampak sosialnya. Pada akhirnya, putusan hakim tidak boleh berhenti pada aturan tertulis, tetapi harus memastikan bahwa keputusan tersebut membawa manfaat dan keadilan yang dirasakan masyarakat.

Kedudukan hakim sebagai penentu keadilan di ruang sidang jauh melampaui peran sebagai corong undang-undang karena hukum baru memperoleh maknanya melalui cara hakim menerapkannya dalam perkara nyata. Peran ini menuntut hakim untuk membaca nilai-nilai keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat sebab aturan tertulis sering kali tidak mampu menangkap kompleksitas persoalan manusia yang datang ke pengadilan, seperti ketimpangan posisi para pihak, perbedaan latar sosial, serta fakta penting yang tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Dalam situasi seperti itu, hakim dituntut membaca realitas sosial dan nilai keadilan yang hidup di masyarakat agar putusan tidak berhenti pada kebenaran formal, tetapi benar-benar menjawab rasa keadilan publik.

Tanpa keberanian moral dan integritas hakim dalam menafsirkan hukum, putusan pengadilan mudah terjebak menjadi prosedur yang sah secara hukum, namun kehilangan makna keadilannya bagi masyarakat. Pada titik ini hakim berperan sebagai penentu keadilan karena melalui pertimbangan yang bertanggung jawab putusan hukum berubah dari sekadar aturan tertulis menjadi perlindungan nyata yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//