PELAJAR BERSUARA: Bullying, Sebuah Cerita Batin
Bullying bukanlah masalah kecil yang bisa kita biarkan berlalu begitu saja. Dalam bentuk terburuknya, ia mampu merenggut nyawa.

Jeihan Amadea
Pelajar SMA Pasundan 8 Bandung. Aktif di Pers Pelajar DELAPENA.
29 Desember 2025
BandungBergerak.id – Seharusnya kita sudah memahami, bahwa dunia ini tidak pernah sepenuhnya bebas dari kasta. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus garis pemisah itu, manusia tetap hidup dalam bayang-bayang perbedaan: antara mereka yang memiliki dan mereka yang kekurangan; antara yang kuat dan yang rapuh. Mungkin ini adalah naluri kuno yang masih diwariskan–pemahaman lama bahwa yang kuat layak menjadi pemenang, sementara yang lemah harus menerima posisi yang diberikan dunia.
Bullying, pada dasarnya, adalah tindakan melukai atau merendahkan seseorang secara berulang-ulang. Luka itu tidak selalu terlihat; terkadang ia hadir dalam kata-kata yang menusuk, tatapan yang meremehkan, atau tindakan yang sengaja mengecilkan. Pelaku bisa menyerang secara verbal, fisik, atau psikologis–semuanya demi menciptakan ilusi kuasa.
Fenomena ini dapat muncul di mana saja: di ruang kelas, ruang kerja, bahkan di ruang digital yang tak bertubuh dan tanpa wajah. Dampaknya pun tidak sederhana. Ia dapat menciptakan tekanan, trauma, dan rasa tak berdaya; perlahan mengikis kesehatan mental, bahkan fisik.
Namun, bagi saya pribadi, bullying memiliki ruang yang sedikit rumit–kadang ia bersifat subjektif. Ada situasi di mana suatu tindakan tidak dianggap sebagai serangan, melainkan candaan biasa–dan kedua pihak memahami konteksnya tanpa luka di dalamnya. Beberapa orang memiliki daya tahan mental, ketangguhan yang membuat mereka tidak tumbang oleh ucapan atau sikap tertentu. Berbeda halnya bagi mereka yang merasa terancam, tertekan, atau tidak dihargai. Karena pada akhirnya, bullying bukan hanya tentang tindakan tetapi bagaimana tindakan itu diterima oleh hati seseorang.
Mari kita berbicara tentang mereka yang menjadi korban. Tentang jiwa-jiwa yang terluka dalam diam, yang suaranya tenggelam sebelum sempat mencapai permukaan.
Kita seharusnya lebih peka–lebih pelan dalam menilai, lebih lembut dalam memahami. Sebab sering kali yang diserang bukan tubuhnya melainkan hatinya. Pelaku tidak selalu menggunakan tangan untuk melukai; kadang, kata-kata jauh lebih tajam dari pisau mana pun. Ketakutan, tekanan, kecemasan–itulah senjata yang membuat korban tunduk. Terkurung bukan oleh ruangan, melainkan oleh rasa tidak berdaya.
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Kaburnya Batas antara Pakar dan Pemengaruh
PELAJAR BERSUARA: Kritik Seksis pada Politisi Perempuan dan Pelanggengan Budaya Patriarki
PELAJAR BERSUARA: Surat untuk Ibu Dewi Sartika
Dampak Bullying
Bullying bukan sekadar air mata, tetapi ada yang perlahan menjauh dari dunia, menarik diri dari pertemanan, percakapan, bahkan dari diri mereka sendiri. Kepercayaan diri merosot, keberanian menghilang, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di atas kaca–takut pecah, takut salah, takut dinilai.
Dalam kasus yang paling gelap–kita pernah menyaksikan tragedi. Kasus Timothy, misalnya, meninggalkan jejak pahit: seorang anak memilih mengakhiri hidupnya karena luka yang tak terlihat oleh mata. Di sisi lain, ada kisah yang jauh lebih getir–mereka yang suatu hari kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai api yang membalas dunia. Seperti tragedi pengeboman SMAN 72 Jakarta oleh seseorang yang katanya pernah menjadi korban bullying.
Dua ujung ekstrem dari rasa sakit yang sama: yang satu menghabisi diri sendiri, yang lain mencoba menghabisi dunia.
Mungkin sebagian dari kita pernah bertanya, “Mengapa mereka tidak melawan? Mengapa mereka tidak melapor?”
Jawabannya tidak sesederhana itu. Ketika emosi memuncak dan ketakutan menguasai, logika perlahan mati–tenggelam oleh rasa cemas, panik, dan tekanan yang membungkam. Banyak korban bullying merasa terperangkap dalam ketidakberdayaan; tubuh ingin bergerak, mulut ingin bersuara, namun pikiran justru membeku. Dalam keadaan seperti itu, diam sering kali menjadi satu-satunya bentuk pertahanan yang mampu mereka lakukan–meski bukan itu yang mereka inginkan.
Dan lalu, ada kalian–para saksi yang memilih bungkam. Kalian yang turut menyaksikan luka, tetapi tak tahu harus berbuat apa.
Sebenarnya, kalian adalah pintu keluar yang mungkin tidak dimiliki korban. Saya sadar, rasa takut juga hidup dalam diri kalian: takut menjadi sasaran berikutnya, takut terlibat, takut dianggap ikut campur. Namun, terkadang satu suara dari seseorang yang berani bersuara lebih lantang daripada bisikan ribuan rasa takut. Bukti yang kalian pegang, kata-kata yang kalian sampaikan, bisa menjadi pelindung bagi mereka yang sudah kehilangan kekuatan untuk membela diri. Maka, tumbuhkanlah empati. Karena kadang, keberanian seseorang lahir bukan untuk dirinya–melainkan untuk menyelamatkan orang lain yang tak lagi mampu berdiri.
Kemudian, mari kita berbicara tentang pelaku. Ada keyakinan bahwa seseorang yang melukai harus menerima hukuman sepadan. Saya pun setuju–karena tanpa konsekuensi, bagaimana mereka bisa benar-benar menyadari luka yang telah mereka tinggalkan di tubuh dan batin orang lain? Kita bisa melihat contoh dari dokumenter Kids Behind Bars: Life or Parole–di mana beberapa pelaku, setelah dewasa, berkata bahwa mereka menyesal. Mereka menangis dan memohon kesempatan kedua.
Namun pertanyaannya: apakah penyesalan dapat menghapus luka? Apakah mereka pantas kembali ke masyarakat ?
Dan jika diberi kesempatan apa jaminannya bahwa mereka tidak akan mengulanginya?
Tetapi di sisi lain–ada sesuatu yang lebih rumit.
Karena kadang, pelaku bukanlah monster, melainkan bekas korban yang tak pernah sempat sembuh. Mungkin sejak kecil mereka hidup di rumah yang penuh aturan, tekanan, dan suara yang membungkam. Mereka tak diberi ruang untuk memilih, hanya diperintah. Tak diberi kasih, hanya tuntutan. Lalu saat mereka bertemu seseorang yang lebih lemah–mereka melampiaskan rasa sakit yang tak pernah bisa mereka ucapkan.
Ada pula pelaku yang justru tumbuh dalam sorotan: anak emas, anak kebanggaan, pusat perhatian. Kadang bullying bagi mereka bukan pelampiasan, tapi panggung. Cara agar dunia kembali memperhatikannya, memujanya, atau sekadar membisikkan namanya.
Di titik ini, kita harus berbicara tentang solusi–bukan hanya hukuman.
Jika akar masalah ditarik hingga ke dasarnya, mungkin bukan hanya pelaku yang sembuh–tetapi juga rantai korban berikutnya. Maka, pelaku harus diajak melihat dirinya yang paling dalam: bagian yang terluka, bagian yang marah, bagian yang ketakutan. Lalu konsekuensi diberikan–bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan bahwa tindakan mereka tidak bermoral dan tidak manusiawi. Karena pada akhirnya, ketika seorang anak sudah mampu melukai tanpa ragu–mungkin itu bukan sekadar kejahatan. Mungkin itu adalah tanda–bahwa empati di dalam dirinya telah mati sebelum sempat tumbuh.
Di sini, mungkin kita mulai mengerti bahwa bullying bukanlah masalah kecil yang bisa kita biarkan berlalu begitu saja. Dalam bentuk terburuknya, ia mampu merenggut nyawa–atau mengubah seseorang menjadi sesuatu yang ia sendiri benci. Maka tolonglah: lihat sekelilingmu. Tanyakan kabar mereka yang diam terlalu lama. Perhatikan mereka yang tertawa terlalu keras untuk menutupi luka. Bantu sebelum terlambat.
Dan pada akhirnya, pertanyaannya masih menggantung: Siapa yang benar-benar bersalah? Pelaku–yang melukai? Atau dunia–yang membentuknya begitu?
Jawabannya, mungkin bukan milik saya. Mungkin bukan milik korban, atau pelaku. Mungkin jawabannya, milik siapa pun yang berani memikirkannya.
***
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara

