Sirkus Maling dan Dramaturgi Para Bangsat
Kekuasaan dalam pertunjukan teater Sirkus Maling menjadi sesuatu yang dijalankan sekaligus dipentaskan. Sindiran pada dunia politik Indonesia.

Wanda Rahmad Putra
Aktor, Musisi, dan Akademisi.
30 Desember 2025
BandungBergerak.id – Jumat, 28 November 2025; cuaca Bandung relatif tenang, tidak terlalu dingin, meskipun udaranya terasa lengket. Sebentar lagi, pertunjukan Sirkus Maling karya/sutradara Irwan Jamal akan dipentaskan dalam program Invitation To The Theatre ke-9, Jurusan Teater ISBI Bandung. Saya hendak bersiap menonton pertunjukan ini, meskipun di titik yang sama, saat saya melangkah menuju Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sumatra kampung halaman saya tengah digempur bencana alam: banjir bandang, longsor datang silih berganti. Bencana yang sebagaimana kita tahu bersama, bukan hanya “musibah alam”, melainkan buah dari keputusan politik yang memberi izin pada perusahaan-perusahaan untuk memperkosa hutan dalam skala besar.
Ironi itu mengendap sampai saya duduk di dalam gedung. Tepat pukul delapan malam, lampu-lampu dipadamkan, dan pertunjukan produksi Kelompok Aktor Piktorial ini dimulai. Beberapa nama aktor muncul di atas panggung; Harya G. Benu, Mita S. Kultsum, Mikail Zidane, Syam Muhammad, M.Malik Fajar, Ahmad Rosidin, Aris.DW, Hikari, M.Rifaldi, Charlie Laurencius, Alif Hamdu, Mufi, Bryan. Aktor-aktor yang sepertinya sudah sangat siap jadi badut, maling, atau malah bangsat sekalipun.
Pertunjukan dimulai, dan saya langsung disergap oleh dunia visual yang dibangun dengan sangat cermat. Muncul seorang pemain sirkus dengan akrobat unicyle, adegan demi adegan didominasi palet warna-warna sirkus–merah menyala, kuning kusam, biru, hijau, bertabrakan menjadi latar bagi para pemain. Ada sebuah properti tunggal, satu pohon tanpa daun yang selama pertunjukan digeser-geser, yang menjadi saksi bisu sebuah dunia yang absurd. Pohon itu, entah kenapa, langsung mengingatkan saya pada batang-batang kayu yang tersisa setelah hutan-hutan di Sumatra dilalap konsesi. Sebatang pohon tanpa daun di tengah dunia sirkus mungkin saja sekadar estetika, atau malah isyarat ekologis? Pertunjukan tidak menjawab secara eksplisit, tetapi justru karena itu, ia membuka kemungkinan tafsir yang jauh lebih luas.
Baca Juga: Mamma Mia The Musical Re-run, Merayakan Teater Musikal Sebagai Seni Pertunjukan Komersial
Jejak Jakob Sumardjo, dari Ruang Akademik hingga Panggung Pertunjukan
Menguak Tabu Lewat Panggung Teater Samana, Adaptasi Novel Duri dan Kutuk
Perjalanan Sindikat Bangsat
Pertunjukan Sirkus Maling secara umum mengikuti perjalanan sekelompok maling kecil bernama Sindikat Bangsat. Mereka bukan pencuri besar–setidaknya pada awalnya. Mereka malah terlihat seperti para “maling recehan”, orang-orang pinggir, tersingkir yang beroperasi di celah-celah kota, dan memutuskan untuk memanggungkan hidup mereka sendiri sebagai sebuah pertunjukan.
Sejak menit pertama, pertunjukan ini tak ingin berjalan linear atau realistis. Dalam adegan pembuka, Doski–sosok yang tampak ambisius itu rupanya sudah jengah pada kepemimpinan Charlie, lalu secara brutal membunuh pemimpin kelompok itu. Ribut-ribut terjadi, dan Doski melayangkan beberapa tusukan di perut Charlie, naskah direbut, lalu peran sutradara sukses diambil paksa. Saya mulai agak tersenyum getir melihatnya, adegan ini tampak sebagai mini kudeta, yang menjadi metafora vulgar tentang bagaimana kekuasaan sering berganti: bukan lewat legitimasi, melainkan lewat perebutan paksa.
Di tangan Doski, Sindikat Bangsat berubah bentuk. Jalan gelap mereka melesat dari maling gembel menjadi maling kelas kakap, lalu melompat ke dunia politik sebagai “maling di Senayan”. Dengan nada satire yang tebal, Irwan Jamal seperti ingin menunjukkan bahwa transformasi itu bukan saja mungkin, tetapi biasa terjadi. Yang membedakan cuma panggung tempat para maling itu berdiri: dari pinggir-pinggir kota ke ruang-ruang parlemen.
Saya merasa pertunjukan menempatkan absurditas sebagai motor dramaturgis. Seekor binatang berubah menjadi manusia, atau sebaliknya; arwah Charlie menghantui Doski meski dibunuh berkali-kali; paranoia merajalela, hingga ada adegan Doski menembaki foto-foto tokoh sutradara teater terkemuka, mulai dari Arifin C. Noer, W. S. Rendra, Teguh Karya, Putu Wijaya, dan Rachman Sabur; realitas panggung, realitas cerita, dan bahkan realitas riil dibenturkan satu sama lain hingga membentuk semacam inter-tekstualitas.
Dalam bingkai meta-teater pertunjukan Sirkus Maling ini, para aktor tidak hanya bermain, tetapi juga dimungkinkan mengomentari permainan mereka sendiri, bahkan sutradara Irwan Jamal itu sendiri tak luput jadi sasaran komentar. Mungkin mereka sadar sedang berada dalam pertunjukan. Mereka menyadari bahwa hidup mereka sedang ditulis ulang. Mereka mempertanyakan struktur panggung, bahkan struktur cerita.
Estetika meta-teater hadir sebagai konsep pertunjukan, dan sekaligus strategi politis: ia menelanjangi konstruksi kekuasaan sebagai sesuatu yang performatif dan bisa dipertunjukkan. Kekuasaan, dalam Sirkus Maling, menjadi sesuatu yang dijalankan, sekaligus dipentaskan. Dan pikir saya, bukankah itu yang kita lihat hari-hari ini? Politik yang lebih mirip sandiwara; pemimpin yang tampil lebih sebagai artis konten; pejabat yang sibuk membangun citra ketimbang membangun rumah warga; kunjungan-kunjungan ke lokasi bencana, lengkap dengan rompi taktis dan adegan angkat karung beras yang lebih berfungsi sebagai materi kampanye dibanding sebagai komitmen penyelesaian. Bagi saya, pertunjukan ini sedang menyindir dunia politik Indonesia, bahwa siapa pun bisa berubah bentuk kapan saja–asal punya akses, dana, panggung, dan skenario dramaturgi yang tepat.
Naiknya Sindikat Bangsat ke Senayan adalah satire paling telak dalam pertunjukan ini. Ia tidak disampaikan melulu lewat ceramah, tetapi lewat peragaan dan visual. Bagaimana sebuah kelompok marginal bisa lompat ke pusat kekuasaan? Bukan karena mereka berubah menjadi baik, tetapi karena politik mengizinkan, bahkan memfasilitasi kejahatan skala besar. Inilah relevansi pertunjukan dengan realitas Indonesia hari ini: pejabat yang menunggangi bencana untuk pencitraan, kebijakan yang didorong oleh kepentingan oligarki, hutan-hutan yang digunduli demi industri, bencana ekologis yang direspons dengan konferensi pers dan bukan penataan ulang sistem, korupsi yang tidak pernah benar-benar selesai karena sistemnya sendiri yang koruptif. Sindikat Bangsat sukses memperlihatkan versi karikatural dari kenyataan hidup yang ternyata jauh lebih gelap.
Selain itu, pohon tanpa daun yang saya singgung di awal menjadi pilihan estetika yang sangat kuat. Ia mengingatkan saya pada pohon dalam naskah Waiting For Godot karya Samuel Beckett, yang fenomenal itu. Pohon itu, digunakan berulang-ulang sebagai latar, dipindah-pindahkan untuk berbagai adegan sebagai penanda bahwa apa yang terjadi dalam pertunjukan bukan terjadi dalam ruang hampa. Pohon itu dapat dibaca sebagai Jejak ekologis dari politik para maling, juga ruang yang kering, tanah yang tandus, dan masa depan yang tak menjanjikan. Kesaksian bisu yang melihat setiap kudeta, setiap penindasan, setiap kebohongan panggung menjadi metafora artistik tentang bagaimana estetika sirkus berdiri di atas kekacauan. Lalu ketika Sumatra sedang dilanda bencana, pohon itu menjadi simbol yang secara emosional menghantam, setidaknya bagi saya. Bahkan jika Irwan Jamal tidak meniatkannya demikian, namun konteks sosial membuatnya bekerja sebagai metafora ekologis yang pahit.
Kudeta Kejam pada Penonton
Irwan Jamal dan Kelompok Aktor Piktorial berhasil menata pertunjukan ini dengan kedisiplinan visual yang kuat. Pilihan warna, ritme adegan, gestur tubuh yang meledak-ledak, dan detail kecil dalam blocking panggung menjadikan Sirkus Maling menjadi pengalaman sensorik yang matang. Estetika sirkus yang “berisik” dengan ledakan adegan, ekspresi tubuh yang liar, dan penggunaan properti, serta desain visual tidak pernah kehilangan fokus. Di sisi lain, ada keheningan-keheningan yang ditempatkan tepat pada waktunya, menciptakan ketegangan sekaligus kerentanan yang memikat.
Namun, kekuatan pertunjukan ini juga membawa risiko. Pada beberapa titik, dramaturgi yang terlalu padat bisa membuat penonton kehilangan pijakan. Ada adegan-adegan yang terlampau menumpuk, sehingga lapisan metaforik yang ingin ditonjolkan menjadi tidak semuanya tertangkap. Tetapi ini bukan kelemahan yang merusak, bisa saja ini kelebihan yang melimpah.
Terakhir, yang menarik perhatian saya adalah adegan ketika para anggota sindikat akhirnya memberontak dan memaku Doski hidup-hidup ke dalam peti mati. Bagi saya ini juga menjadi salah satu momen terkuat. Bukan hanya karena intensitas adegan dan visualnya, tetapi lebih dari itu, karena ia menegaskan bahwa kekuasaan yang dibangun atas kekerasan akan jatuh lewat kekerasan, tidak ada tirani yang benar-benar aman, yang dipentaskan di panggung adalah versi mini dari apa yang selalu terjadi dalam sejarah politik, begitu juga absurditasnya.
Tetapi yang lebih menarik, adegan penutup itu sekaligus juga melakukan kudeta kejam terhadap penonton. Penonton dipaksa berhenti tertawa. Dipaksa berhenti menikmati sirkus. Dipaksa melihat konsekuensi dari tawa-tawa yang mereka lontarkan sebelumnya. Di titik itulah pertunjukan ini berhenti menjadi satire politik, tetapi menjelma peringatan darurat.
Pertunjukan selesai, lampu mati, dan kemudian tepuk tangan meledak, saya keluar dari gedung, sembari membawa ingatan tentang pertunjukan, sekaligus juga pada Sumatra kampung halaman saya itu. Pada banjir bandang. Pada longsor. Pada Ibu dan Bapak. Pada hutan tanpa daun. Pada pejabat yang datang membawa kamera. Pada bantuan politisi yang sekadar konten. Pada rakyat yang mengerang menunggu tanpa kepastian. Dan saya bertanya dalam hati: Apakah saya benar-benar menonton Sirkus Maling? Ataukah saya malah hidup di dalamnya? Entah, namun satu hal yang pasti: selama para maling besar terus mempertunjukkan diri mereka sebagai pahlawan, dan selama publik terus memakluminya sebagai hiburan, sirkus itu tidak akan pernah selesai. Sementara di luar gedung teater, pohon-pohon tanpa daun itu terus berdiri, bahkan mungkin lebih lama dari kehidupan manusia itu sendiri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

