CERITA GURU: Anak Bukan Investasi Orang Tua
Tugas orang tua hanya mendidik hingga anak-anak mandiri dan bisa melanjutkan kehidupan dewasanya dengan baik.

Marlina
Seorang guru BK, pendidik, dan penggiat kurikulum pendidikan inklusi. Bisa menghubungi saya di Instagram @linamansyur_
31 Desember 2025
BandungBergerak.id – Keluarga merupakan tempat paling aman dan nyaman untuk semua anak, di ruang keluarga anak bisa mengekspresikan diri sesuai dengan jati dirinya sendiri. Sangat besar pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang memiliki peran pembentukan dan perkembangan kepribadian anak adalah pola asuh yang diterapkan orang tua (Brown,1961: 76). Perilaku keluarga khususnya orang tua dalam menerapkan pola asuh akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak, terutama dalam membentuk kepribadian anak. Setiap orang tua memiliki pola asuh tersendiri dalam mendidik dan ini mempengaruhi perkembangan anak.
Berhati-hatilah jika hukuman yang keras menjadi cara utama untuk mendisiplinkan anak tanpa memberikan penjelasan terhadap anak tentang alasan hukuman atau kesalahannya. Apalagi terbiasa menerapkan komunikasi satu arah dan tidak memberikan ruang pada anak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Atau orang tua yang sepenuhnya mengatur keputusan penting maupun hal kecil dalam kehidupan anak dari mulai memilih teman, menentukan keinginannya hingga menentukan hobi atau cita-cita. Jangan heran ketika anak kemudian akan cenderung meniru perilaku keras yang mereka terima sehingga mereka bisa menjadi agresif secara fisik dan psikis. Kurangnya komunikasi dan empati dari orang tua membuat anak menjadi sulit mengekspresikan perasaannya.
Tindakan serta kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, ditiru, dan diperhatikan oleh anak lalu semua itu secara sadar atau tidak sadar akan menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya. Karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengidentifikasi orang lain. Dan dengan demikian, maka konsep diri anak dapat terbentuk dimulai dari pengaruh orang tuanya, saat anak masih berada dalam pengasuhan orang tua.
Hubungan orang tua dengan anak menjadi aspek yang sangat penting melalui tipe pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Kita tidak bisa mengatur anak kita sesuai ekspektasi karena anak memiliki haknya untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Orang tua perlu memberikan kepercayaan yang penuh pada anak, karena setiap kesempatan dan kepercayaan yang diberikan akan membuat anak akan merasa dihargai dan diterima.
Baca Juga: CERITA GURU: Transformasi Peran Guru di Era Akal Imitasi
CERITA GURU: Ketika Guru Honorer Kalah Bersaing
CERITA GURU: Educationalization, Catatan Pendidikan Tahun 2025
Anak sebagai Investasi?
Pandangan ”anak sebagai investasi” memiliki dua sisi: investasi dunia dan investasi akhirat. Investasi dunia berfokus pada pendidikan dan bekal agar anak dapat hidup mandiri di masa depan dan dapat mendukung orang tua dimasa yang akan datang. Namun, perlu diperhatikan agar tidak memberikan tekanan berlebihan yang berdampak negatif pada kesehatan mental anak. Lalu, investasi akhirat dengan mengajarkan anak nilai agama dan moral agar tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain dan memiliki akhlak yang baik. Mengapa dengan menganggapnya sebagai investasi masa depan malah mengabaikan peran anak dalam proses perkembangannya?
Anak dikonstruksikan secara relasional dan diasosiasikan dengan karakteristik tertentu seperti tidak dewasa, minim pengalaman, dan labil. Orang dewasa dikonstruksikan kebalikannya, yakni individu yang lebih matang, stabil, dan berpengalaman. Matthew (1994) dan Gopnik (2009) berpandangan anak-anak sebagai filsuf karena tingginya keingintahuan yang dimiliki anak.
Kita harus memahami bahwa anak memiliki kapasitas dan pengalaman unik dibandingkan orang dewasa dan dapat menggunakannya dalam konteks demokrasi dengan pemikiran dan cara yang berbeda dari orang dewasa. Inilah yang sering gagal disadari oleh orang dewasa.
Saat ini banyak contoh kebijakan yang diterapkan orang dewasa terhadap anak yang justru tidak ramah terhadap pemenuhan hak dan kebutuhannya. Hal ini terjadi salah satunya karena pengucilan anak dari ruang publik oleh pembuat kebijakan yang meniadakan pandangan anak atau pendapat anak untuk didengarkan, dihargai, dan dipertimbangkan. Sering kali orang dewasa berpikiran: “Memangnya anak bisa apa? Ngapain sih anak-anak ikut urusan orang dewasa?”
Hukum internasional menjamin pelaksanaan hak dan partisipasi anak-anak terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Sementara, orang dewasa tidak benar-benar berpikir, merasakan, dan melihat kehidupan dari sudut pandang anak-anak. Apa yang dipikirkan orang dewasa hanya sebatas asumsi atau kemungkinan dari apa yang sebenar-benarnya dibutuhkan anak.
Kegagalan orang dewasa dalam memahami anak bukan karena keinginan atau kebutuhan anak yang sulit dipahami, melainkan merupakan hasil dari ekspektasi dan penolakan untuk mendengarkan suara anak itu sendiri. Konsep partisipasi anak di ruang publik adalah konsep yang dibutuhkan untuk menghadirkan kebijakan yang lebih ramah dan mendukung pemenuhan hak dan kebutuhan anak.
Ekspektasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan masalah harga diri pada anak. Jika kita berpikir bahwa anak adalah investasi semua orang tua, itu salah. Karena tugas orang tua hanya mendidik hingga mereka mandiri dan bisa melanjutkan kehidupan dewasanya dengan baik. Bukan malah menuntut untuk meminta kembali imbalan, dengan alasan itu adalah sebuah bakti mereka. Anak tidak harus membalas atau menebus jasa orang tuanya, karena itu adalah bentuk amanah dari Sang Pencipta untuk orang tuanya, di samping anak memberi sesuatu berupa material atau hal apa pun itu adalah berupa bentuk cinta dari mereka.
Menghargai Anak
Kita tidak bisa membentuk anak sesuai keinginan kita, karena ada ruang yang perlu kita hargai dari anak yaitu suaranya. Orang dewasa perlu melihat anak dari sudut pandang mereka, karena sudut pandang anak ketika mereka melakukan atau berpikir sesuatu itu sangat berbeda. Setiap langkah atau perilaku anak adalah sebuah eksplorasi. Dan kita sebagai orang tua banyak menciptakan ekspektasi yang besar. Mereka hanya menikmati proses pertumbuhannya, setiap langkah mereka adalah belajar. Dan seharusnya orang dewasa menjadi fasilitator untuk kebutuhan setiap pertumbuhan mereka. Bukan menuntut, memaki, dan lain-lain.
Nyatanya yang paling pemaaf itu adalah anak-anak kita, kita pernah marah ke anak, lalu beberapa kemudian anak datang memeluk kita seolah tak terjadi apa-apa. Itu bukan karena mereka lupa, tapi karena hati mereka terlalu murni untuk menyimpan dendam. Anak-anak adalah makhluk paling pemaaf dari Sang Pencipta. Hati anak sangat lembut, mereka menangis sebentar, tapi setelahnya tetap ingin duduk di pangkuan kita. Mereka di marahi, tapi tetap memanggil,”Ibu peluk.” Sementara kita orang dewasa, sering menyimpan amarah yang sudah lama berlalu. Mereka tidak butuh penjelasan yang rumit. Karena fitrah anak itu sangat baik. Anak-anak tak menuntut penjelasan panjang kenapa kita marah, mereka hanya butuh satu hal: kedekatan kembali. Ketika kita menunduk dan berkata, ”Maaf ya, tadi Ibu marah,” anak akan langsung memeluk tanpa bertanya-tanya lagi. Itu cara mereka berkata, ”Aku udah maafin, Bu.” Tapi hati lembut itu bisa tumpul jika terlalu sering mereka terluka. Jika marah jadi kebiasaan kita pada anak, jika kata keras jadi suara sehari-hari, maka perlahan anak akan belajar untuk menjauh, bukan memeluk. Ia tak berhenti mencintai, tapi mulai takut mendekat. Itulah kenapa kelembutan orang tua adalah penjaga hati anak.
Anak mengajarkan kita tentang maaf yang tulus. Kita belajar memaafkan dengan logika, tapi anak memaafkan dengan cinta. Tak pernah ada dendam kepada kita walaupun kita memarahi anak berkali-kali. Mereka tetap bisa tersenyum dan menangis, namun begitu melihat kita tersenyum, semua luka itu luruh. Saat anak datang memeluk setelah kita keras padanya, jangan buru-buru merasa layak atas maaf itu. Peluklah dalam-dalam dan bisikkan, ”Terimakasih ya Nak, udah maafin ibu.” Karena di situlah Sang Pencipta sedang menunjukkan betapa luasnya kasih, lewat hati kecil yang tak pernah menolak kita.
Tanda hati anak masih hidup itu adalah jika selama anak masih mau mendekat setelah ia merasa terluka, itu tanda hatinya belum keras, fitrahnya belum rusak, dan pintu maaf bagi kita masih terbuka. Anak adalah cermin kasih Allah yang tak lelah memberi kesempatan kedua. Mungkin hari ini kita merasa gagal menjadi orang tua yang sabar. Tapi setiap pelukan anak setelah amarah, adalah cara Allah berkata: ”Aku masih percayakan anak ini padamu, jangan ulangi kesalahan yang sama ya.” Jagalah hatinya, karena hati anak adalah taman kecil tempat cinta Allah pertama kali tumbuh.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

