CERITA GURU: Transformasi Peran Guru di Era Akal Imitasi
Guru ideal masa kini adalah arsitek kesadaran yang merancang pengalaman belajar bermakna. Ia berperan sebagai kurator informasi, penjaga nilai, dan pemandu refleksi.

Mugi Muryadi
Pegiat literasi, pemerhati sosial dan pendidikan, serta pendidik.
3 Desember 2025
BandungBergerak.id – Perkembangan akal imitasi (AI) telah memasuki ruang pendidikan secara masif, menjadikan layar gawai sebagai ruang kelas baru dengan “guru” yang selalu tersedia dan memberi umpan balik instan. Penggunaannya meningkat pesat. Gallup (2025) menemukan bahwa enam dari sepuluh guru telah memakai alat AI dan tiga dari sepuluh menggunakannya tiap minggu. Metaanalisis tentang intelligent tutoring systems pun menunjukkan peningkatan capaian dan motivasi belajar siswa ketika AI dirancang dan diterapkan dengan tepat.
UNESCO mengingatkan bahwa adopsi cepat ini melampaui kesiapan kebijakan, pelatihan, dan kerangka etik yang diperlukan. Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran baru tentang kualitas pembelajaran, kesenjangan akses, dan integritas akademik. Lalu, sejauh mana peran guru dapat digantikan AI, dan aspek kemanusiaan apa yang tetap harus dijaga dalam pendidikan?
Akal Imitasi muncul sebagai entitas digital adaptif yang mampu memberikan materi secara personal kepada siswa. AI bukan hanya alat bantu teknis, tetapi sudah hadir sebagai “guru digital” dengan avatar, karakter dan ekspresi emosional sintetis. Para siswa bisa memilih figur sesuai preferensi psikologisnya. Fenomena ini menandakan pergeseran besar dalam paradigma pendidikan.
Meskipun efisiensi sangat menjanjikan, penggunaan AI berpotensi mengikis esensi guru sebagai pembentuk karakter dan pembimbing moral. Guru secara perlahan dapat tereduksi menjadi pengawas materi, bukan lagi pencipta pengetahuan atau pembangun kesadaran. Karena itu, proses pendidikan berisiko berubah menjadi transaksi informasi linear, yaitu input, proses otomatis, output nilai.
Baca Juga: CERITA GURU: Data Pendidikan yang Menganggur
CERITA GURU: Siapa yang Memilih Buku untuk Anak Kita?
CERITA GURU: Pengabdian Guru Swasta atau Semata Mesin Produksi?
Perkembangan AI di Dunia Pendidikan
Akar fenomena tersebut terletak pada revolusi teknologi yang tak bisa dibendung. AI generatif berkembang sangat cepat dengan kemampuan memproduksi teks, suara, dan simulasi adaptif dalam hitungan detik. Penelitian menunjukkan bahwa generasi Alpha cenderung memilih alat digital dalam proses belajar karena antarmuka konsisten dan cepat dibandingkan umpan balik manusia. Hal ini memperkuat peran AI dalam pembelajaran personal.
AI dalam pendidikan juga mampu membaca ekspresi wajah siswa, memonitor tingkat stres atau kebosanan melalui sensor, dan menyesuaikan gaya bicara atau tempo materi secara real-time. Sementara itu, laporan UNESCO mengingatkan bahwa meskipun AI bisa mentransfer informasi dan meningkatkan efisiensi, tetapi ia tetap tak memiliki kesadaran atau konteks emosional lokal seperti guru.
Dalam tradisi klasik pendidikan, guru dipandang sebagai pembimbing jiwa bukan sekadar penyampai informasi. Misalnya, menurut pemikiran Émile Durkheim, guru harus melakukan sosialisasi nilai dan membentuk individu yang selaras dengan norma sosial. AI memang kuat dalam transfer informasi, tetapi lemah dalam membangun empati otentik dan pengalaman hidup yang jadi landasan kearifan.
Data global menunjukkan bahwa integrasi AI dalam pendidikan semakin masif. UNESCO mencatat konsep “guru AI” memicu hambatan sosial seperti penurunan interaksi sosial natural siswa. Hal ini menciptakan risiko murid menjadi learners in isolation yang mahir secara kognitif, tetapi miskin keterampilan sosial dan empati.
Dengan kondisi demikian, peran guru harus mengalami transformasi. Guru bukan lagi pemilik tunggal pengetahuan, karena informasi sudah tersebar di mana-mana. Guru ideal masa kini adalah arsitek kesadaran yang dapat merancang pengalaman belajar bermakna. Ia harus berperan sebagai kurator informasi, penjaga nilai, dan pemandu refleksi, kualitas yang tak bisa diprogram dalam algoritma mana pun.
Teori perubahan paradigma yang dijelaskan oleh Jack Mezirow dalam transformative learning memberi konteks penting, yaitu hadirnya AI sebagai disorienting dilemma memaksa pendidik mempertanyakan ulang definisi belajar dan memahami. Apakah belajar hanya menguasai fakta atau melibatkan transformasi diri? Guru sejati bisa menciptakan pengalaman reflektif yang menggugah pertanyaan batin murid.
Guru dan AI
Akal Imitasi, meskipun sangat canggih, tetap tidak memiliki kekuatan eksistensial untuk menggugah kegelisahan batin manusia. Buku Life 3.0 oleh Max Tegmark atau novel Origin oleh Dan Brown menyampaikan bahwa manusia menghadapi era di mana kecerdasan buatan bisa meniru, tapi tidak bisa menggantikan seluruh dimensi kemanusiaan. Teks ini menegaskan bahwa manusia tetap perlu menjaga otonomi mereka di tengah kehadiran AI yang semakin melekat secara personal.
Oleh karena itu, model sinergi antara guru dan AI muncul sebagai solusi yang elegan. Dalam model itu, AI menangani data, simulasi dan pengalaman interaktif, sedangkan guru berfokus pada pembentukan karakter, penguatan empati dan penanaman nilai hidup. AI menjadi mitra strategis, bukan pengganti. Pendidikan ideal adalah integrasi antara kecerdasan komputasional dan kebijaksanaan manusia.
Kita hendaknya memahami bahwa masa depan pendidikan ditentukan bukan oleh kecanggihan teknologi semata, tetapi oleh pilihan moral umat manusia. Sesuatu yang diingatkan dalam pedoman UNESCO bahwa teknologi harus memperkuat human agency, bukan menghapusnya.
Peran guru tetap tak tergantikan sebagai penjaga makna dan nurani. Akal imitasi boleh terus berkembang, avatar digital boleh semakin realistis, tetapi jika guru mampu berubah menjadi pemimpin kesadaran, penggerak nilai, AI akan mempercepat kemajuan tanpa menggantikan jiwa pendidikan. Pendidikan masa depan hendaknya menyinergikan algoritma dan nurani, efisiensi teknologi, dan kemuliaan akhlak.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

