• Kolom
  • CERITA GURU: Educationalization, Catatan Pendidikan Tahun 2025

CERITA GURU: Educationalization, Catatan Pendidikan Tahun 2025

Praktik educationalization menciptakan ilusi kemajuan sambil mengabaikan ketimpangan sistemik dan struktural yang sesungguhnya.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Pendidikan berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

24 Desember 2025


BandungBergerak.id – Ketika banjir melanda Sumatra beberapa waktu lalu, respons pemerintah adalah tambahkan pendidikan lingkungan ke dalam silabus pembelajaran. Ketika hubungan diplomasi perlu diperkuat, dicanangkan bahasa Portugis masuk ke kurikulum. Di tahun ini pula kasus perundungan marak terjadi dan sekolah diminta untuk mengatasinya. Ditambah masalah sosial seperti kehamilan remaja, bunuh diri, hingga kesejahteraan masyarakat. Seolah-olah, pendidikan adalah obat mujarab untuk segala jenis permasalahan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik.

Pola-pola itu kerap terjadi dan sudah berlangsung lama, baik di Indonesia maupun negara lain. Fenomena ini dinamakan “Educationalization”. Istilah yang digunakan Paul Smeyers dan Sharon Gewirtz ini menjelaskan kecenderungan menjadikan pendidikan sebagai jawaban universal untuk masalah sosial, ekonomi, dan politik. Namun, di Indonesia tahun 2025, pola ini justru semakin menguat.

Tulisan ini adalah refleksi perjalanan akhir tahun terhadap praktik dan kebijakan pendidikan tahun 2025 yang dialami. Tentang bagaimana kebijakan pendidikan berganti begitu cepat di kalangan elite namun sulit berubah di akar rumput. Praktik educationalization menciptakan ilusi kemajuan sambil mengabaikan ketimpangan sistemik dan struktural yang sesungguhnya.

Baca Juga: CERITA GURU: Pengabdian Guru Swasta atau Semata Mesin Produksi?
CERITA GURU: Transformasi Peran Guru di Era Akal Imitasi
CERITA GURU: Ketika Guru Honorer Kalah Bersaing

Educationalization: Dari Teori ke Praktik Indonesia

Paul Smeyers, filsuf pendidikan dari Belgia, bersama Sharon Gewirtz dari King's College London, mengkritisi fenomena ini dalam berbagai publikasi mereka. Mereka menunjukkan bagaimana educationalization menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap sistem pendidikan. Dalam pandangan mereka, ketika setiap masalah sosial diterjemahkan menjadi "masalah pendidikan", maka yang terjadi adalah pengaburan tanggung jawab institusi lain–ekonomi, kesehatan, hukum, dan infrastruktur–yang seharusnya ikut bertanggung jawab.

Paul Bridges, dalam tulisannya "Educationalization: On The Appropriateness of Asking Educational Institutions to Solve Social and Economic Problems", menambahkan dimensi penting: educationalization sering kali menjadi strategi politik yang murah. Lebih mudah bagi pemerintah untuk memasukkan sesuatu ke dalam kurikulum daripada mereformasi sistem ekonomi atau membangun infrastruktur kesehatan yang memadai. Sekolah, dengan jaringannya yang sudah ada di seluruh pelosok negeri, menjadi sasaran empuk untuk implementasi kebijakan yang sebenarnya membutuhkan intervensi multi-sektor.

Di Indonesia tahun 2025, teori ini menemukan wujud konkretnya. Penerjemahan masalah sosial sebagai masalah pendidikan, di tahun 2025 Indonesia ini semakin terlihat dari pola pikir pemerintah dan kebijakannya. Salah satunya adalah program Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Permasalahan karakter dan kebiasaan dimasukkan ke dalam pembelajaran dan memerlukan monitoring yang intens dari guru. Di sisi lain, sekolah memiliki tugas tambahan untuk melakukan sosialisasi kembali kepada orangtua tentang pentingnya membentuk kebiasaan ini.

Padahal, gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat tidak serta merta masalah kebiasaan. Ia juga terselubung permasalahan lain. Seperti Makan makanan sehat dan bergizi. Masalah utamanya adalah akses terhadap makanan sehat yang cenderung lebih mahal dibanding UPF. Belajar di rumah memiliki masalah akses keluarga terhadap sumber pengetahuan dan akses. Bersosialisasi, yang biasanya dilakukan dengan bermain juga memiliki permasalahan ruang terbuka hijau, atau ruang berkumpul warga. Hingga permasalahan orang tua dalam mendampingi anaknya, di mana jam kerja menghabisi waktu segalanya. 

Program lama, di mana sekolah perlu inklusi dan menyediakan berbagai layanan pun masih belum dituntaskan dengan paripurna. Masih banyak jalinan yang belum tersambung antar pemangku kebijakan seperti kerja sama institusi pendidikan dan institusi kesehatan di bawah naungan pemerintah. Masalah ini belum kunjung terselesaikan karena hanya diselesaikan dengan berbagai macam pelatihan kepada guru dan sekolah.

Guru dan sekolah seolah-olah menjadi muara berbagai sumber aliran masalah. Namun, pemerintah mengentaskan masalah melalui berbagai macam pelatihan dan bimbingan teknisnya. Memang, hal ini diperlukan, namun lebih diperlukan lagi peranan pemerintah untuk hadir menyajikan bentuk konkret dari solusi permasalahan tersebut. Minimalnya melalui solusi struktural dan kerja sama.

Ironi Pelatihan Guru hingga Ketimpangan Sistemik yang Diabaikan

Melihat pola educationalization ini, saya teringat pengalaman mengikuti pelatihan guru di tahun ini. Topik kegiatan itu diberi nama-nama yang mencerminkan berbagai macam kebijakan pendidikan tahun 2025. Dimulai dengan Koding, Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, Perkembangan Anak, Pembelajaran mendalam, hingga tentang literasi kepada anak. Perancang acara berkata agar sangat mundel. Entah saya yang bodoh atau mungkin penyelenggara yang tak faham bagaimana cara merancang acara. Kami hanya diberi waktu dua hari untuk menyerap materi-materi tersebut di mana slide-nya pun belum diselesaikan dengan tuntas.

Ironisnya, pelatihan ini penuh kontradiksi. Guru diharapkan mengembangkan kreativitas anak– tapi kreativitas guru sendiri tidak dikembangkan. Guru diminta jadi fasilitator dan membangun lingkungan belajar konstruktivis, tapi tidak diberi ruang untuk bertanya. Guru dituntut merancang pembelajaran sesuai kemampuan anak, tapi guru sendiri diberi tugas di luar kemampuannya.

Kegiatan itu seperti rangkuman kebijakan yang perlu dikerjakan guru di sekolah. Namun, di sanalah letak permasalahannya : ketimpangan akses untuk meningkatkan kompetensi guru.

Setelah pelatihan, guru diminta untuk menyampaikan hasil materi yang diterima selama pelatihan ke daerahnya masing-masing. Idealnya, guru-guru ini mengerti materi yang telah diserap olehnya selama beberapa waktu tersebut. Namun, pada banyak kejadian, pengimbasan hanya sebagai formalitas. Guru hanya menyampaikan “menurut narasumber” tanpa pemahaman yang mendalam yang dilakukan. Itulah yang disayangkan. Pada akhirnya, materi pelatihan ini tidak sampai secara utuh oleh rekan sejawatnya.

Menurut beberapa penelitian, model pelatihan bertingkat semacam ini sering dipakai untuk melakukan reformasi pendidikan dan sosialisasi kebijakan secara cepat. Namun, sistem ini terlalu banyak reduksi yang terjadi.

Hingga suatu hari, rekan sejawat guru rela untuk menyisihkan uangnya untuk mengikuti pelatihan yang sesungguhnya. Ia perlu membayar 2x honor bulanannya untuk mendapatkan akses pelatihan itu. Reduksi inilah yang benar-benar perlu dipertimbangkan ketika menggunakan model pengimbasan. Meskipun model ini adalah model paling murah dalam perubahan kebijakan.

Di sisi lain, akses pengembangan kompetensi yang disediakan oleh dinas juga terbatas. Menurut diagnostik tim RISE (Research on Improving Systems of Education) tahun 2019, terdapat kesenjangan besar dalam alokasi anggaran pengembangan profesional guru di Indonesia. Studi mereka yang melibatkan ratusan kabupaten/kota menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil daerah yang mengalokasikan dana secara serius untuk pengembangan kompetensi guru.

Lebih detail lagi, RISE menemukan bahwa mayoritas kabupaten/kota mengalokasikan kurang dari 5 persen anggaran pendidikan untuk pelatihan dan pengembangan guru. Bahkan di daerah yang mengalokasikan dana lebih besar, distribusinya tidak merata. Sering kali guru di perkotaan berpeluang lebih banyak dibanding guru di pinggiran. Salah satunya disebabkan oleh ketimpangan akses informasi yang disediakan. Sehingga guru yang lebih membutuhkan menjadi terpinggirkan.

Temuan RISE ini mengonfirmasi apa yang terjadi di lapangan. Educationalization sering mengasumsikan bahwa guru (dan orang tua) kurang dalam sisi pengetahuan. Namun, pada kenyataannya selain kurang pengetahuan karena akses, guru juga kurang memiliki mitra untuk berkembang dan bertumbuh. Kalaupun ada, maka waktunya yang terbatas karena beban tugas tambahan, seperti mengerjakan tugas-tugas administrasi yang berkaitan dengan manajerial sekolah.

Kebijakan dan menambahkan program, tidak otomatis memperbaiki pembelajaran. Maka, yang dibutuhkan oleh guru adalah lebih banyak ruang untuk melakukan refleksi dan memahami akar kebijakan. Bukan hanya sebagai eksekutor di lapangan. Perlu juga penghargaan mengenai konteks lokal yang hendak disampaikan 

Sudah saatnya pendidikan membatasi diri dan mengajarkan kerja sama dengan berbagai pihak. Selama ini, pendidikan seperti diberi tugas lebih untuk mengontrol semuanya : mengontrol moral, meningkatkan edukasi kesehatan, kesenjangan digital, masalah ekonomi, hingga memperbaiki keadilan hukum yang tak kunjung adil (?). Selama ini, ekspektasi terhadap lembaga pendidikan begitu tinggi namun tidak diimbangi dengan pemenuhan sarana dan kerjas ama yang memadai antar berbagai pihak.

Pendidikan tidak bisa “diselamatkan” oleh lebih banyak program. Ia hanya bisa berkembang ketika menjalankan sesuai dengan kewenangan dan profesionalitasnya. Pemerintah perlu mendukung dan mulai melihat guru sebagai profesional bukan sebagai eksekutor dari sebuah kebijakan. Guru bukan superman, sekolah bukan obat dari segala macam bentuk penyakit badan hingga penyakit sosial yang bersarang di dalam masyarakat.

 

***

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//