Fenomena Urbanisasi ke Kota Bandung karena Pembangunan di Jawa Barat tidak Merata
Dalam dua tahun terakhir pendatang di Kota Bandung kira-kira berjumlah 4.200 orang. Pemerataan pembangunan mendesak dilakukan di Jawa Barat.
Penulis Awla Rajul6 Mei 2023
BandungBergerak.id - Kota Bandung masih menjadi primadona bagi para perantau untuk mengadu nasib, mendapatkan pekerjaan layak, dan menaikkan taraf hidup. Hal ini dapat dilihat dari angka perkiraan kedatangan arus balik lebaran kemarin ke Kota Bandung yang mencapai 22.825 orang.
Data Disdukcapil Kota Bandung menyebutkan, rata-rata dalam dua tahun terakhir pendatang di Kota Bandung kira-kira berjumlah 4.200 orang. Data per Maret 2023, ada sekitar 1.500 pendatang yang tercatat sebagai penduduk nontetap atau sementara di Kota Bandung.
Artinya, penduduk yang datang ke Bandung tersebut mencari kesempatan pekerjaan di Bandung. Jika tidak, mereka akan menjadi penyumbang angka pengangguran. Para pendatang tersebut berasal dari luar Kota Bandung, seperti berbagai daerah di Jawa Barat (Jabar) maupun dari luar Jabar.
Kota Bandung menarik bagi kaum urban di antaranya karena dianggap menjanjikan harapan lebih baik. Maklum, kota berpenduduk hampir 2,5 juta jiwa ini merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Surabaya.
Di sisi lain, banyaknya kaum urban yang datang ke Kota Bandung menunjukkan belum meratanya pembangunan di Jawa Barat. Kota Bandung mendapatkan lebih banyak perhatian dan pembangunan ekonomi bila dibandingkan dengan pedesaan di Jawa Barat. Sehingga lapangan kerja menumpuk di perkotaan dan perdesaan relatif tertinggal.
Masalah tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu gencar melakukan pemerataan pembangunan.
Menurut data Data Jawa Barat dalam Angka 2023 yang diakses Sabtu (6/5/2023), jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat di tahun 2022 sebanyak 49,40 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,33 persen.
Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat dalam tiga tahun terakhir memang mengalami penurunan. Angka pengangguran terbuka Jawa Barat tahun 2020 berjumlah 10,46 persen, lalu turun di 2021 menjadi 9,82 persen, dan di angka 8,31 persen di tahun 2022.
Jika dirunut menurut kabupaten/kota, Kota Bogor menduduki peringkat pertama dengan angka pengangguran terbuka tertinggi. Disusul Kota Cimahi, Kabupaten Bogor, Karawang, Kuningan, Bandung Barat, serta Kota Bandung menduduki peringkat kelima. Adapun Pangandaran merupakan kabupaten dengan angkat pengangguran terendah yaitu 1,56 persen.
Di luar penurunan angka pengangguran di Jawa Burat, jangan lupa penduduk usia kerja di provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum ini terus meningkat, Pada Agustus 2022, teradapat sebanyak 38,66 juta orang usia kerja di Jabar, naik 0,57 juta orang dibandingkan Agustus 2021 yang berjumlah 38.09 juta orang.
Sesuai dengan angka-angka tersebut, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di tahun 2022 naik menjadi 66,15 persen, di mana di tahun 2021 berjumlah 64,95 persen. Penduduk yang bekerja di Jabar sebanyak 23,45 juta orang, jumlah ini meningkat sebanyak 1,14 juta orang dari periode Agustus 2021. Jika difokuskan sesuai kelompok umur, penduduk yang bekerja berada pada kelompok umur 25-29 tahun yang berjumlah 3,03 juta jiwa.
Angka-angka ini menunjukkan kabar baik, angka pengangguran menurun dibarengi dengan kenaikan partisipasi angkatan kerja jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi dalam arti lain, provinsi Jawa Barat, khususnya Kota Bandung, dituntut menyediakan lapangan kerja untuk menghadapi naiknya jumlah angkatan kerja tersebut.
Jika dilihat dari jenis pekerjaan, tampak profesi yang banyak digeluti di Jabar masih bersifat perkotaan, yakni perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebanyak 5,4 juta pekerjaan, pertanian-kehutanan-perikanan diurutan kedua sebanyak 4,5 juta pekerjaan, dan industri pengolahan sebanyak 3,5 juta pekerjaan.
Tugas Pemprov Jabar selain melakukan pemerataan pembangunan adalah meningkatkan keahlian warganya. Jika dilihat dari jenis-jenis pekerjaan tersebut, jelas banwa keahlian menjadi kunci.
Pengkaji budaya populer dari Universitas Pasundan (Unpas) Idi Subandy Ibrahim mengatakan, perantau harus memiliki kemampuan, keahlian, serta daya tahan untuk dapat bertahan di kota besar.
Menurutnya, kota besar seperti Bandung bukan hanya menjanjikan impian dan harapan. Di balik itu, ada kehidupan yang keras yang bisa melibas siapa pun yang tidak memiliki keahlian.
"Hanya orang berpendidikan dan memiliki keahlian yang kemungkinan bisa tinggal dan bertahan di kota. Kalau tidak, dikhawatirkan menumpuk di slum area (permukiman kumuh)," lanjut Idi Subandy Ibrahim, dikutip dari laman Unpas, Sabtu (6/5/2023).
Baca Juga: Pemkot Bandung Menghadapi Masalah Penganggur Usia Produktif
HUT Jawa Barat, dari Masalah Pengangguran hingga Lingkungan Menjadi Sorotan
Mayoritas Penganggur Terbuka di Kota Bandung Lulusan SMA
Tak Cukup sekadar Imbauan
Pelaksana Harian (Plh) Kota Bandung Ema Sumarna berpesan kepada masyarakat pendatang ke Kota Bandung agar tidak sekadar berniat mengadu nasib saja. Ia menyebutkan bahwa pendatang harus bisa mengukur kemampuan diri untuk bertahan hidup di Kota Bandung.
"Prinsipnya Kota Bandung itu kota yang terbuka. Namun, perlu disadari juga, pendatang ini kami harapkan harus skillfull. Jangan hanya berharap-harap tanpa kepastian,” pesan Ema, dikutip dari siaran pers Kamis (27/4/2023).
Ema juga menghimbau kepada pendatang agar melaporkan diri segera ke pihak RT dan RW tempat bahwa ia tinggal sementara. Ema meminta kepada pejabat kewilayahan, camat dan lurah agar segera berkoordinasi dengan RT/RW untuk mencatat para pendatang agar tercatat dalam administrasi.
Kendati demikian, Idi Subandy Ibrahim memandang pemerintah tidak cukup memberikan himbauan untuk tidak membawa keluarga yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bersaing di kota. Pemerintah harus mengidentifikasi kelompok masyarakat yang masuk ke kota, serta daerah yang menyuplai urbanisasi. Hal ini perlu ditanggulangi sebab alasan setiap perantau pastilah berbeda-beda.
Selain itu, untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat ini, pemerintah disarankan memiliki alat dan perangkat yang memadai. Identifikasi tidak bisa dilakukan parsial apalagi fenomena urbanisasi pascalebaran sudah menjadi tradisi dan terus berulang.
"Ketika kaum urban sampai di kota, peraturan melapor di tingkat RT/RW saya rasa hanya basa-basi saja, karena tidak bisa dilarang dan tidak berefek. Beban kehidupan dan sosial baru dirasakan ketika ingin menata kota. Seharusnya dari puluhan tahun lalu bisa diantisipasi," ungkapnya.
Idi menjelaskan, momen lebaran memang menjadi kesempatan untuk melakukan urbanisasi sekaligus ajang mengajak anggota keluarga untuk datang ke kota. "Ketika seseorang berhasil membawa keluarganya ke dalam kehidupan yang lebih baik, kota-kota besar seakan memiliki sihir," kata Idi.
Idi juga mengingatkan urbanisasi bisa memberikan dampak frustasi maupun stres bagi masyarakat perdesaan karena perbedaan dinamika sosialnya. Masyarakat perkotaan cenderung individualis, impersonal, dan egois. Sehingga menurut Idi, masyarakat desa tidak selalu siap dengan dinamika yang terjadi di perkotaan.
Kuncinya, lagi-laki pemerataan pembangunan agar pekerjaan tidak menumpuk di perkotaan. Tanpa pemerataan pembangunan, urbanisasi akan menambah angka pengangguran.
Menurut Badan Pusat Statistik, pengangguran di Kota Bandung mengalami penurunan dari tahun 2021 ke tahun 2022. Pada tahun 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka berjumlah 11,19 persen. Angka ini kemudian naik sebesar 11,46 persen pada tahun 2021, salah satunya penyebabnya karena pandemi Covid-19. Angka ini lantas turun di tahun 2022 berjumlah 9,55 persen.