• Kolom
  • SUBALTERN #6: Bahasa Inggris sebagai Bahasa Global dan Pengaruhnya di Indonesia

SUBALTERN #6: Bahasa Inggris sebagai Bahasa Global dan Pengaruhnya di Indonesia

Demi mengikuti perkembangan politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dunia, Indonesia tunduk pada hegemoni kultural dunia barat dalam penggunaan Bahasa Inggris.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Seorang murid berjalan keluar dari ruang kelasnya di SDN 025 Cikutra, Kota Bandung, Selasa (2/5/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Mei 2023


BandungBergerak.id - Globalisasi seringkali dianggap sebagai cara negara-negara barat menancapkan wacana atau hegemoninya di dunia timur. Anthony Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial yang terjadi di seluruh dunia, yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang pada awalnya terpisah sehingga fenomena lokal bisa disebabkan oleh fenomena global dan begitu pula sebaliknya. Melalui definisi dari Giddens tersebut, kita akan melihat bagaimana Inggris menghubungkan seluruh dunia melalui salah satu wacana mereka, yaitu penyebaran bahasa. Hampir seluruh dunia saat ini menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa yang diakui dan digunakan sebagai bahasa di bidang ekonomi, politik, di fasilitas publik seperti bandara, rumah sakit, hotel, dan sekolah, serta bahkan di dunia digital seperti website dan media sosial.

Perkembangan Bahasa Inggris secara global harus dilihat dari berbagai aspek seperti definisi dari global language, sejarah, serta kebutuhan di balik terbentuknya bahasa global. Bahasa global sebetulnya tidak memiliki definisi khusus, tetapi secara esensi, yang dimaksud dengan bahasa global adalah bahasa yang dipelajari dan digunakan secara masif oleh berbagai negara di dunia, terlepas dari native speakers ataupun secondary speakers. Bahasa global juga dapat dipahami sebagai bahasa resmi yang digunakan oleh organisasi internasional atau dalam hubungan dpilomatik. Bahasa global bisa dipahami juga sebagai bahasa yang mampu meleburkan identitas seperti etnis, ras, agama, bahkan bangsa seseorang saat dia berkomunikasi dengan orang lain.

Kedua, secara historis, bahasa global adalah bahasa yang digunakan oleh pemilik kekuasaan. Bahasa pada dasarnya tidak pernah bisa berdiri sendiri, bahasa selalu membutuhkan subjek yang menggunakan bahasa tersebut pada berbagai bidang. Seperti kita ketahui bersama, Inggris adalah salah satu kerajaan yang mampu menguasai dunia. Pada tahun 1607, Inggris membuat settlement di New World (selanjutnya dikenal sebagai Amerika) yang diberi nama Jamestown. Selain itu, ada Commonwealth Realm yang tersebar di berbagi benua di dunia, mulai dari Asia, Afrika, hingga bahkan Amerika yang pada awalnya merupakan jajahan Inggris hingga pada akhirnya memerdekakan diri melalui perang sipil.

Di abad 20, Bahasa Inggris semakin tersebar melalui Amerika yang menjadi pemenang perang dunia ke-2. Dua kenyataan historis tersebut adalah bukti bahwa bahasa selalu berkaitan dengan power. Hal ini juga sejalan dengan teori discourse dari Michael Foucault yang berbicara mengenai relasi antara kekuasaan dan wacana. Bagi Foucault, wacana diciptakan dan dihidupkan oleh pihak yang ada di dalam kekuasaan dan menguasai alat komunikasi. Alat komunikasi yang dimaksud tentu bukan hanya alat komunikasi yang kita kenal seperti sekarang ini, bahasa adalah alat komunikasi yang sangat mendasar. Selain Foucault, kita dapat menggunakan teori hegemoni kultural dari Antonio Gramsci yang mengatakan bahwa kekuasaan diperoleh dan dipertahankan lewat gagasan dan wacana kultural yang menjadi legitimasi hubungan superioritas dan inferioritas.

Kondisi politik dan ekonomi dunia yang sudah semakin terbuka dengan adanya hubungan diplomatik antarnegara dan kebijakan free trade, ditambah lagi dengan hadirnya organisasi internasional yang menaungi berbagai macam negara seperti PBB, OKI, Uni Eropa, NATO, dan perusahaan-perusahaan multinasional, membuat manusia semakin membutuhkan sebuah bahasa yang bisa dipahami bersama. Saat itu pula lah Inggris dan Amerika sebagai pemilik power menentukan Bahasa Inggris sebagai standar bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Penentuan satu bahasa global juga mengarah pada tujuan bersama negara-negara tentang perdamaian, karena dengan bahasa yang sama, perbedaan pengertian jadi lebih mudah diatasi. Meskipun pada kenyatannya, banyak peperangan yang terjadi dalam lingkup bahasa yang sama seperti perang sipil antara Inggris dan Amerika, perang sipil di Vietnam, dan perang-perang sipil lainnya.

Baca Juga: SUBALTERN #5: Hak Asasi Manusia dan Diskriminasi
SUBALTERN #4: Memahami Perbedaan lewat Prinsip Kosmopolitanisme
SUBALTERN #3: New Age Spiritualism, Subaltern di Tengah Hegemoni Sains

Mimikri, Ambivalensi, dan Hibriditas

Fenomena wacana Bahasa Inggris dapat dilihat menggunakan teori “ruang ketiga” dari Homi Bhaba. Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga proses dalam “ruang ketiga” yang terbentuk akibat wacana poskolonial yang dilakukan oleh negara-negara barat. Tiga proses tersebut adalah mimikri (mimicry), ambivalensi (ambivalence), dan hibriditas (hybridity). Mimicry adalah sebuah proses kaum terjajah meniru penjajahnya. Dalam kasus bahasa, Bangsa Indonesia memang tidak meniru Belanda. Indonesia justru mengikuti hegemoni kultural yang dijalankan oleh Inggris dan Amerika. Dengan alasan demi mengikuti perkembangan politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dunia, Indonesia tunduk pada wacana tersebut sehingga meniru dunia barat dalam penggunaan Bahasa Inggris. Proses meniru ini dapat dilihat dari aksen khas orang Indonesia dalam berbicara Bahasa Inggris. Tidak seperti bangsa lain yang memiliki aksen sendiri (Singapura atau Malaysia misalnya), Indonesia justru dengan bangga meniru aksen American, Australian, atau British English.

Proses kedua adalah ambivalence. Bangsa Indonesia telah mencapai kesadaran berbangsanya melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang merupakan kristalisasi dari kesadaran geografis, identitas, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda pula yang membuat Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara ini. Namun pada perkembangannya, kesadaran tersebut harus berbenturan dengan kondisi dunia yang membawa wacana mengenai bahasa global. Di satu sisi, orang Indonesia merasa enggan atau bahkan benci menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari (entah karena sulit, tidak bisa, atau tidak terbiasa), tetapi di sisi yang lain, mereka sebetulnya mencintai bahasa tersebut, apalagi generasi muda. Kecintaan itu bisa dilihat dari merek-merek produk ekonomi kreatif yang justru muncul dalam Bahasa Inggris. Bahkan tidak sedikit keluarga muda di Indonesia yang mulai menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung.

Proses ketiga adalah hybridity. Proses ini adalah sebuah pencampuran kultural melalui dua proses sebelumnya yaitu mimicry dan ambivalence. Proses ini bisa dilihat secara nyata melalui pendidikan Bahasa Inggris yang ada di Indonesia. Melalui peniruan dan ambivalensi tersebut, pemerintah melihat bahasa inggris sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi akademisi-akademisi Indonesia.

Kehadiran Bahasa Inggris memang tidak menegasi eksistensi Bahasa Indonesia di bidang pendidikan. Pelajaran Bahasa Indonesia pun hadir di seluruh jenjang. Namun, Bahasa Inggris mendapatkan privilege yang sama karena mulai diajarkan sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di Indonesia. Di sini lah proses hibriditas itu terjadi. Kedua bahasa itu dinilai sama pentingnya. Bahasa Indonesia dijaga atas nama identitas kebangsaan, Bahasa Inggris diajarkan atas nama globalisasi dan perkembangan jaman. Hibriditas ini juga secara tidak langsung membentuk identitas baru bagi masyarakat Indonesia. Identitas ini embedded pada orang-orang yang mampu berbahasa Inggris. Di satu sisi mereka adalah orang Indonesia dengan segala kriteria yang menempel pada dirinya, tetapi di sisi lain mereka menjadi “orang asing” di negaranya sendiri, terutama saat berbicara Bahasa Inggris di ruang publik.

Selain di dunia pendidikan, kehadiran Bahasa Inggris juga membentuk paradigma di masyarakat mengenai superioritas dan inferioritas. Bahasa Inggris seringkali dianggap lebih keren, modern, dan up to date dibandingkan Bahasa Indonesia. Tidak sedikit musisi-musisi independen memilih untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam membuat lirik dari lagu-lagu mereka. Bukan hanya soal gaya hidup, Bahasa Inggris seringkali dianggap lebih rasional secara struktur dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Sifat Bahasa Inggris yang kategoris dianggap lebih cocok untuk penulisan naskah-naskah akademis seperti jurnal atau tesis. Karena Bahasa Inggris membuat distingsi yang sangat jelas dalam perbedaan makna setiap kata. Contoh, sebuah kata kerja bisa berubah secara bentuk saat dipertemukan dengan konteks waktu tertentu (past, present, future), perubahan bentuk seperti inilah yang menjadi salah satu alasan Bahasa Inggris dianggap lebih mampu menjelaskan fenomena atau realitas secara singkat, padat, dan jelas.

Superioritas dan inferioritas itu sangat terasa di beberapa daerah di Jakarta, tepatnya Jakarta Selatan yang belakangan ini mengalami sebuah fenomena unik. Kelompok masyarakat muda di sana sering menggunakan Bahasa Inggris yang bercampur dengan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari mereka. Kata-kata seperti “which is” atau “at least” seringkali terselip dalam percakapan yang sebetulnya lebih didominasi oleh Bahasa Indonesia. Padahal, Bahasa Indonesia juga memiliki padanan kata untuk kata-kata yang sama. Kata “yang mana” dapat digunakan untuk mengganti “which is”, atau “setidaknya” bisa dipakai sebagai substitusi dari “at least”. Namun kesadaran akan kata-kata dalam Bahasa Indonesia itu sepertinya hilang begitu saja, entah karena alasan gaya hidup, sekadar ingin disebut keren, atau memang penggunaan dua frasa tersebut dirasa lebih mampu menjelaskan hal yang mereka bicarakan.

Sebuah kenyataan yang ironis! Bahasa Inggris menjadi salah satu standar dari kecerdasan siswa di sebuah negara yang tidak menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama, bahkan tidak dijajah oleh Inggris. Terlebih, kelompok masyarakat urban mulai menganggap bahwa bahasa itu jauh lebih rasional, bahkan lebih cocok dengan gaya hidup. Namun, itulah yang disebut sebagai wacana poskolonial dan globalisasi yang dilancarkan lewat bahasa oleh negara yang memiliki kuasa atas ilmu pengetahuan. Hampir semua buku-buku baik novel, sastra, maupun buku-buku akademik memiliki versi dalam Bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa inggris dalam sumber-sumber pengetahuan membuat Bahasa Inggris memiliki power lebih besar dibandingkan bahasa-bahasa lain. Bisa dibilang, Bahasa Inggris adalah bahasa yang menguasai ilmu pengetahuan, oleh karena itu sangat wajar bila ia digunakan oleh barat untuk menjalankan wacana dan menancapkan hegemoninya di dunia timur.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//