SUBALTERN #5: Hak Asasi Manusia dan Diskriminasi
Apakah hak asasi itu benar-benar dapat melindungi seseorang? Bahkan lebih jauh kita perlu bertanya, apakah hak asasi tidak mengandung unsur diskriminatif?
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
27 April 2023
BandungBergerak.id – Ketika berhadapan dengan diskriminasi, entah itu diskriminasi agama, ras, budaya, dan lain-lain, biasanya kita mencoba kembali kepada hak asasi manusia. Misalnya, ketika kita menemukan fenomena persekusi atas kelompok keagamaan tertentu, kita akan mengatakan bahwa tindakan persekusi tidak dapat dibiarkan, karena hal tersebut bertolak belakang dengan hak asasi manusia; yang dalam hal ini misalnya adalah hak kebebasan beragama. Begitu juga ketika kita melihat ada orang yang kebebasan bicaranya dirampas oleh orang lain. Kita pun biasanya kembali kepada hak asasi manusia: hak untuk berekspresi secara bebas.
Hak asasi di sini hadir sebagai sebuah fondasi atau basis untuk melindungi seseorang dari tindakan-tindakan yang bisa dibilang dapat merugikan seseorang. Hak asasi juga nampak seperti penentu nasib seseorang. Namun kita perlu bertanya lebih jauh, apakah hak asasi itu benar-benar dapat melindungi seseorang? Bahkan lebih jauh kita perlu bertanya, apakah hak asasi, dalam konteks diskriminasi, tidak mengandung unsur diskriminatif?
Pertanyaan inilah yang menjadi poin utama bahasan dari tulisan ini. Namun ada yang perlu dijadikan catatan, bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk “menolak total” hak asasi manusia, karena usaha tersebut membutuhkan ruang khusus. Tulisan ini hanya ingin membedah asumsi dari hak asasi manusia; yang kemudian akan saya tunjukan bisa menjadi potensi diskriminasi. Secara spesifik, tulisan ini akan mengeksplorasi persoalan tersebut dalam aras filosofis, dan secara khusus saya akan menggunakan perspektif Max Stirner.
Baca Juga: SUBALTERN #4: Memahami Perbedaan lewat Prinsip Kosmopolitanisme
SUBALTERN #3: New Age Spiritualism, Subaltern di Tengah Hegemoni Sains
SUBALTERN #2: Dari Mana Diskriminasi Muncul?
SUBALTERN #1: Mengapa Tidak Ada Seniman Perempuan yang Hebat?
Kritik Stirner atas Esensi Manusia
Kritik atas hak asasi manusia, bisa dilakukan dengan meminjam perspektif Max Stirner. Stirner sendiri adalah seorang filsuf yang pemikirannya dinamai sebagai anarkisme egois. Pikiran Stirner sendiri sebetulnya tidak hanya bermaksud untuk menolak negara atau otoritarianisme an sich (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum anarkis lainnya), akan tetapi Stirner juga berhasil menunjukan asumsi-asumsi otoritarian yang selama ini tidak disadari oleh para anarkis.
Stirner sendiri terkenal dengan karyanya The Unique and Its Property (2017). Dalam karya tersebut Stirner memang tidak secara langsung mengkritik hak asasi manusia (terkhusus tentang hak asasi manusia sebagaimana yang kita pahami sekarang), akan tetapi Stirner telah mengantisipasi kritik atas hak asasi manusia itu sendiri. Kritik tersebut bisa ditemukan dalam kritik atas Ludwig Feuerbach, salah satu tokoh yang ia kritik habis-habisan, di dalam karyanya yang cukup terkenal itu.
Singkatnya Stirner tidak sepakat dengan Feuerbach dalam konteks proyeknya tentang pembebasan manusia. Feuerbach percaya bahwa manusia hanya bisa dibebaskan dari keterasingan, apabila manusia bisa “melepaskan” dirinya dari Tuhan. Tuhan bagi Feuerbach adalah sumber dari alienasi manusia, karena Tuhan bagi Feuerbach adalah wujud sifat-sifat manusia yang tereksternalisasi, kemudian dianggap sebagai suatu hal yang terlepas dari diri manusia itu sendiri. Dalam momen itulah Tuhan menjadi sosok yang terpisah dari manusia, yang padahal bagi Feuerbach Tuhan adalah proyeksi manusia itu sendiri.
Feuerbach kemudian menawarkan pandangan bahwa manusia mesti menarik segala sifat-sifat yang tereksternalisasi itu ke dalam dirinya, sehingga manusia menjadi bebas. Dari titik inilah Feuerbach percaya bahwa sifat-sifat tersebut adalah suatu hal yang inheren dan esensial bagi diri manusia. Stirner kemudian mengomentari bahwa pada titik itulah Feuerbach berhasil menemukan Manusia (dengan “M” besar), dan Feuerbach percaya bahwa hanya dengan cara itulah pembebasan manusia bisa dilakukan.
Penemuan Feuerbach atas esensi manusia ini disebut sebagai humanisme. Humanisme sendiri merupakan sebuah konsep yang kemudian mengilhami hak asasi manusia. Mengapa? Karena dengan humanisme, manusia dijadikan sebagai pusat dari realitas. Bahwa manusia memiliki status yang “spesial” dibandingkan dengan entitas-entitas lainnya. Manusia menjadi alat ukur “segala sesuatu”. Humanisme jugalah yang menjadikan hak asasi manusia bermakna.
Tentu dengan hal ini saya tidak memaksudkan bahwa hak asasi manusia di inspirasi hanya oleh pemikiran Feuerbach. Tapi pemikiran Feuerbach di dalam tulisan ini sengaja disajikan sebagai sebuah titik pijak untuk mengkritik hak asasi manusia dalam perspektif Stirner. Karena menurut saya saat Stirner mengritik Feuerbach, ia juga sedang sekaligus mengkritik hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia dan Kritik Stirner
Stirner sendiri tidak sepakat dengan hal gagasan Feuerbach, karena bagi Stirner, penegasan atas esensi Manusia justru mengulang jebakan yang hendak dilampaui oleh Feuerbach. Karena pada saat Feuerbach menegaskan esensi manusia, tepat pada momen itulah manusia lagi-lagi mengalami alienasi. Hanya bedanya ia teralienasi oleh dirinya sendiri. Bagaimana bisa?
Humanisme sendiri mengandung gagasan bahwa manusia memiliki berbagai daya yang inheren terhadap manusia itu sendiri. Daya tersebut adalah rasionalitas, kehendak bebas, dan tentu saja hak, properti, berikut juga berbagai hal lainnya. Bagi Stirner, hal ini bermasalah. Mengapa? Karena dalam penegasan tersebut selalu akan ada mekanisme eksklusi terhadap unsur apapun yang dianggap tidak sesuai dengan esensi manusia itu sendiri.
Dalam proses penegasan atas esensi manusia, akan selalu terdapat gambaran tentang manusia yang ideal. Manusia yang konkret dengan demikian diwajibkan untuk mengaktualisasikan dirinya untuk mencapai kondisi manusia yang sempurna. Manusia dengan demikian hadir sebagai sebuah konsep.
Akan tetapi Stirner bertanya, bukankah konsep sama sekali tidak merepresentasikan “manusia” yang konkret? Jawabannya adalah ya. Konsep tentang manusia itu tidak konkret, alias tidak merepresentasikan manusia yang riil. Stirner percaya bahwa manusia atau yang kemudian ia sebut sebagai sang-unik, tak dapat dikonsepsikan dengan konsep apa pun. Bahkan di setiap tumpukan konsep tentang manusia, akan selalu ada konsep yang tidak mampu merangkum kondisi konkret dari manusia itu sendiri.
Misalnya, manusia selalu dikonsepsikan sebagai makhluk yang bisa mengaktualisasi nalarnya. Namun, bagaimana dengan manusia yang memilih untuk tidak mengaktualisasikan daya tersebut? Lalu bagaimana dengan manusia yang tidak memutuskan untuk menyerahkan segala properti yang dimilikinya? Jawaban atas persoalan tersebut adalah, bahwa manusia-manusia tersebut akan dianggap sebagai manusia yang tidak ideal; bahkan bukan manusia sama sekali.
Hal ini juga berlaku dalam konteks hak asasi manusia. Hak asasi adalah sebuah konsep, yang dalam perspektif Stirner bisa jadi tidak pernah bisa merepresentasikan manusia-manusia yang konkret. Karena bagaimana apabila ada orang yang tidak “tunduk” pada kehendak hak asasi manusia? Apakah dia tidak lagi dianggap sebagai manusia? Misalnya, terdapat bahwa setiap individu dianggap sebagai individu yang otonom, yang dengan demikian memiliki hak atas dirinya sendiri. Namun, bagaimana dengan orang yang enggan didefinisikan dengan cara itu?
Mestinya, dengan logika tersebut, ketika ada seseorang yang tidak tunduk pada aturan main hak, maka seseorang tersebut berhenti menjadi manusia. Dengan demikian ada seseorang yang tereksklusi dari definisi atau konsep tentang manusia yang ideal menurut hak asasi manusia. Lalu apa nama dari mekanisme eklusi tersebut selain diskriminasi?
*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi