SAWALA DARI CIBIRU #25: Yang Natural adalah yang Kultural?
Argumen yang disodorkan kaum konservatif untuk membuktikan ketidaknaturalan kaum homoseksual tidak lain hanyalah justifikasi sentimen mereka tentang homoseksualitas.
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
11 Mei 2023
BandungBergerak.id – Penolakan tentang eksistensi LGBTQ+ biasanya didasarkan pada argumen tentang kenaturalan. Kenaturalan ini merujuk pada persoalan apakah eksistensi mereka itu memang merupakan sifat alami dari alam, atau bukan sama sekali. Dalam konteks ini, maka orientasi seksual manusia, dicari justifikasinya pada alam, seperti apakah ada hewan yang melakukan hubungan seksual sesama jenis? Atau apakah ada hewan yang berganti jenis kelaminnya?
Tapi menurut Patrick D. Hopkins dalam Naturalizing Homosexuality: Biology, Sexual Orientation, And The Nature/Culture Distinction dalam “Queer Philosophy: Presentation of the Society for Lesbian and Gay Philosophy, 1998-2008”, argumen tentang problem kenaturalan ini perlu dicurigai, bahwa sebetulnya apa yang dianggap natural itu sendiri sebetulnya bukan “nature” itu sendiri. Hopkins justru curiga bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai suatu hal yang natural, sebetulnya berjangkar pada sentimen kultural; atau dalam bahasa lain yang natural merupakan suatu hal yang kultural.
Hal tersebut terbukti dari argumen yang disodorkan oleh kaum konservatif untuk membuktikan ketidaknaturalan kaum homoseksual. Jika mengacu pada Hopkins, argumen kenaturalan itu sendiri hanyalah selubung dari sentimen mereka tentang homoseksualitas. Untuk membuktikan hal tersebut Hopkins mengulas dua argumen yang dilayangkan oleh kaum konservatif.
Pertama, kalau pun memang ada hewan yang melakukan hubungan seksual dengan sesamanya, persentase mereka sedikit, alias tidak banyak. Sehingga dengan demikian, keberadaan mereka merupakan deviasi, alias penyimpangan dari hukum alam itu sendiri. Karena ia menyimpang, maka manusia sendiri tidak boleh mengikuti penyimpangan tersebut. Hal ini juga memang disebut juga oleh ilmuwan seperti Dean Hamer, sebagaimana dikutip oleh Hopkins, ia mengatakan:
“Human sexual orientation is variable. Although most people exhibit a heterosexual preference for members of the opposite sex, a significant minority display a homosexual orientation. This naturally occurring variation presents an opportunity to explore the mechanisms underlying human sexual development and differentiation”
Homoseksualitas itu memang sedikit keberadaannya di alam, namun persoalannya adalah, apakah yang secara persentase kecil keberadaannya berarti bahwa ia tidak natural? Menurut Hopkins tentu saja tidak, karena jika argumen tentang kecilnya persentase dapat membuktikan penyimpangan dari sesuatu, maka orang-orang yang mulia mestinya dianggap sebagai sebuah penyimpangan, karena mereka adalah orang-orang yang jarang sekali muncul dari sejarah. Tetapi selama ini mereka diterima dengan baik, meskipun dalam beberapa momen awal juga mereka kerapkali dimusuhi oleh banyak orang.
Belum lagi dengan hewan-hewan yang memiliki organ yang berbeda daripada hewan umumnya, apakah mereka lantas disebut sebagai penyimpangan? Tentu saja tidak. Mereka bahkan sering kali dianggap sebagai hewan yang unik.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #24: Mengakrabi Kemacetan
SAWALA DARI CIBIRU #23: Filsafat ke Semua Arah
SAWALA DARI CIBIRU #22: Lagi-lagi Komodifikasi Pendidikan
Sentimen Kultural pada Homoseksualitas
Kedua, fungsi organ. Kaum konservatif juga biasanya mendasarkan argumen untuk menolak homoseksualitas pada argumen kesalahan penggunaan atau memfungsikan organ yang dimiliki oleh tubuh manusia. Mereka yakin bahwa organ yang dimiliki oleh tubuh manusia itu, seperti organ genital, hanya digunakan untuk memiliki keturunan. Sehingga, apabila ada seseorang yang tidak menggunakan organ tubuh mereka demi tujuan itu, maka orang tersebut adalah menyimpang, dan karenanya bermasalah. Namun apakah demikian?
Hopkins juga keberatan dengan argumen tersebut, ia memberi ilustrasi tentang kaki. Kaki manusia itu digunakan untuk apa? Kita bisa menjawab bahwa kaki digunakan untuk berdiri, berjalan, atau berlari. Namun kaki sendiri bisa kita gunakan untuk menendang barang, atau bahkan bisa digunakan untuk berkelahi. Tapi berdasarkan hal tersebut, apakah artinya jika ada seseorang yang menggunakan kaki tersebut untuk berkelahi maka orang tersebut menjadi menyimpang? Tentu saja tidak. Atau misalnya, apabila ada seseorang yang menggunakan kakinya untuk bermain permainan tertentu, apakah artinya orang tersebut menjadi menyimpang, dan karenanya tidak boleh ada? Jawabannya adalah tidak.
Dua keberatan tersebut, yang kemudian digunakan sebagai argumen untuk menolak keberadaan homoseksualitas tentu menjadi bermasalah dalam pandangan Hopkins. Karena sering kali memang argumen kenaturalan itu merupakan selubung dari sentimen kultural.
Representasi sentimen kultural itu bisa dilihat pada Louis Sheldon saat ia di interview. Seorang pewawancara pernah bertanya padanya, pertanyaan seperti ini, “Apakah kamu akan mengubah pikiranmu apabila dapat dibuktikan bahwa homoseksualitas itu disebabkan oleh faktor biologis?” Sheldon kemudian menjawab:
“No, the feelings would not change on my part. Because if people have the propensity to be homosexual from some reason, or like alcoholic problems that arise from some kind of propensity for that, you still cannot justify the lifestyle.”
Dalam arti itu, maka argumen tentang kenaturalan tersebut sering kali digunakan hanya sebagai justifikasi saja. Argumen tersebut tidak benar-benar diposisikan sebagai sikap percaya atau sikap yang mendasarkan diri pada bukti-bukti saintifik.
Bahkan kalau pun memang argumen kenaturalan itu digunakan, lanjut Hopkins, persoalannya ada pada pemisahan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. David Hume pernah mengatakan bahwa apa yang ada itu tidak bisa dikaburkan dengan apa yang seharusnya. Misalnya disebutkan bahwa manusia itu bisa memakan daging, namun persoalannya apakah seluruh manusia harus memakan daging? Jawabannya tentu tidak juga. Manusia tidak seharusnya memakan daging, meskipun secara natural manusia bisa melakukannya.
Lebih jauh Yuval Noah Harari pernah menjelaskan, dalam presentasinya di dalam debatnya dengan Slavoj Zizek berjudul Should We Trust Nature More Than Ourselves?, bahwa apapun yang eksis di alam, maka ia merupakan suatu hal yang natural. Karena kalau ada sesuatu yang tidak natural, maka ia tidak mungkin eksis di dalam alam. Sehingga apabila kita berpijak pada argumen Harari, maka adalah aneh rasanya apabila kita mengatakan bahwa sesuatu itu tidak natural, tapi ada di alam. Karena tidak akan ada suatu hal pun yang mungkin hadir, tapi bertolak belakang dengan hukum alam (kenaturalan alam).
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)