• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #23: Filsafat ke Semua Arah

SAWALA DARI CIBIRU #23: Filsafat ke Semua Arah

Upaya menghubungkan komunisme dengan agama di Hindia Belanda dilakukan oleh Haji Misbach, seorang propogandis Sarekat Islam Merah.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Buku yang merepresentasikan berbagai pemikiran para filsuf dari aliran strukturalisme hingga posmodernisme. (Foto: Hafidz Azhar/BandungBergerak.id)

27 April 2023


BandungBergerak.id“Adakah corak filsafat yang menyoroti semua lini kehidupan?” tanya seorang teman kepada saya. Pertanyaan ini seolah merefleksikan secara aksiologis ihwal filsafat yang sejauh ini masih cenderung terkotak-kotakan. Kita tahu bahwa karakter filsafat tergantung pada pemikiran yang muncul dari seorang filsuf. Descartes, misalnya, punya anggapan bahwa kehadiran seseorang diindikasikan dengan upaya memungsikan akalnya (rasio). Descartes juga meragukan segala sesuatu, terutama aspek metafisik, untuk meraih kepastian atau kebenaran berdasarkan akalnya. Itulah sebabnya filsafat Descartes dimasukkan pada kategori rasionalisme.

Begitupun dengan filsafat materialisme yang berbicara mengenai determinasi materi. Dalam konteks ini, pemikiran filsafat didasarkan pada semua hal yang dilatarbelakangi oleh kebendaan, entah itu berupa kejadian atau benda-benda yang dianggap mempunyai nilai lebih untuk digunakan.

Sejatinya, akal manusia memiliki batasan. Tidak semua filsuf dapat merespons semua kondisi di sekitarnya, karena mereka terbatas ruang dan waktu. Bagi para filsuf empirisme, umapamanya, pengetahuan mesti berdasar pada observasi empirik atau pengalaman indrawi (Hardiman, 2007: 64). Lalu, bagi ahli linguistik, bahasa menjadi penopang pengetahuan bahkan dapat menjadi sumber persoalan. Artinya, berbagai konteks ini tidak terlepas dari produk pemikiran yang dihasilkan, sejalan dengan apa yang dilihat dan diamatinya.

Saya sendiri, sebetulnya, lebih memilih jawaban yang cenderung memosisikan filsafat sebagai alat untuk berpikir kritis. Meskipun pada sisi lain, corak berpikir kritis kerap diperoleh dari berbagai aliran filsafat. Jadi, terkait jawaban filsafat yang bisa berlaku pada semua arah, bagi saya, tentu disesuaikan dengan posisi filsafat dan juga karakter filsuf melalui corak berpikirnya. Dengan kata lain, filsafat bisa masuk ke semua arah jika yang dibicarakan aksiologi filsafat secara umum. Tetapi bila yang dibicarakan ihwal produk berpikir, tentu ini akan berlainan lantaran memiliki zeitgeist-nya (semangat zaman) masing-masing.

Seperti pada materialisme Karl Marx. Apa yang melatarbelakangi pemikiran Marx tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konteks zamannya pada saat ia masih hidup. Di masa-masa itu industrialisasi semakin berkembang, bahkan banyak memunculkan problem sosial. Problem sosial dalam kategori Marx, dipicu oleh soal-soal material yang dapat mendeterminasi semua arah sehingga melahirkan eksploitasi terhadap kelas tertentu. Ia misalnya, menggambarkan pertentangan kelas antara kelompok buruh dan kaum pemodal (kapitalis) dalam ruang produksi. Adanya kepemilikan yang lebih dominan yang dilakukan kaum pemodal membuat kelompok buruh terus-menerus ditekan dan terampas haknya. Dengan kondisi inilah Marx memandang bahwa kapitalisme merupakan sumber masalah utama yang dipicu oleh determinasi ekonomi. Apalagi pengaruh ekonomi ini bisa merambah pada segala aktivitas kehidupan, sehingga pandangan Marx ini digunakan oleh para pemikir lain seiring dengan zaman yang tengah dihadapinya.

Dalam semiologi, misalnya, kita bisa melihat pemikiran Roland Barthes yang dipertautkan dengan tradisi Marxis. Barthes dalam hal ini, menggunakan persoalan tanda untuk mengamati ideologi di balik semua yang ada di sekitar manusia. Dalam bidang sastra, fokus Terry Eagleton terhadap sastra sering merujuk pada teori-teori Marxis. Bukunya yang berjudul Marxism and Literally Criticism menjadi karya yang cukup komprehensif dalam menjabarkan teori kritik sastra Marxisme. Begitupun dengan bidang kebudayaan, Baudrillard banyak dipengaruhi oleh pola ekonomi Karl Marx, terutama dalam peralihan corak konsumsi yang semula mengandung nilai guna ke nilai tukar menjadi nilai simbol ke nilai tanda.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #20: Filsafat pada Generasi Kini
SAWALA DARI CIBIRU #21: Konsumerisme di Bulan Ramadan
SAWALA DARI CIBIRU #22: Lagi-lagi Komodifikasi Pendidikan

Haji Misbach

Sayangnya, tradisi yang hadir dari pemikiran Karl Marx sampai saat ini tidak begitu mendalam ihwal membicarakan agama. Kendati menyinggung agama sebagai suatu opium, pembahasan tersebut masih tampak berjalin pada relasi ekonomi politik sebagai fokus utama Marx. Marx tidak berbicara bagaimana nilai-nilai spritual dalam agama dapat mendorong umatnya pada aspek yang lebih militan. Sebab, tentu saja, hal ini bersifat metafisis. Ia justru mengkritik agama karena cenderung mengalienasi dan melegitimasi penindasan bercorak material. Meskipun pada masa berikutnya, muncul paham yang berusaha untuk mensintesiskan corak pandang Karl Marx, yaitu komunisme. Komunisme sendiri lahir dengan sejarah perjuangan yang cukup panjang. Komunisme ala Karl Marx merupakan ejawantah dari pengaruh filsafat Hegel. Komunisme ini kemudian dikaitkan oleh salah satu tokoh pergerakan Islam bumiputera di Hindia Belanda dengan agama yang dianutnya. Tokoh tersebut merupakan propogandis Sarekat Islam Merah bernama Haji Misbach.

Sebagai seorang muslim yang sangat taat, Haji Misbach memiliki pandangan bahwa  prinsip komunisme, yakni sama rata sama rasa, sangat cocok dengan semangat ajaran Islam (Shiraishi, 2005:329). Tentu saja dalam Islam sendiri prinsip egalitarian sangat ditonjolkan. Seperti dalam praktik salat yang tidak memandang kedudukan, umur maupun ras, semua sejajar dalam satu barisan. Sementara yang membedakan seseorang paling mulia di hadapan Tuhan hanyalah nilai-nilai ketakwaan. Selain itu, Islam juga menentang segala bentuk diskriminasi. Kemunculan Nabi Muhammad di tengah orang-orang Makkah yang didominasi kaum Quraisy Jahiliyyah, telah mendobrak tradisi penindasan terhadap kaum perempuan dan juga kalangan hambasahaya. Karena sebelumnya orang-orang lemah tersebut kerap menjadi sasaran para petinggi Quraisy untuk disiksa bahkan dibunuh.

Melihat prinsip seperti itu dalam Islam, jelaslah bagi Haji Misbach jika pertautan Islam dengan komunisme akan terasa bersinergi dalam melawan belenggu kolonialisme Belanda. Kendatipun sebagian pihak memandang bahwa prinsip ini terlalu dipaksakan bahkan mengharamkan ideologi komunisme yang tidak seragam dengan ajaran Islam.

Ihwal pertanyaan filsafat yang dapat menjangkau semua aspek kehidupan, saya masih memegang teguh bahwa filsafat ialah semacam metode untuk mengorek problem-problem keseharian kita seakan menjadi masuk akal dan lebih bijak dalam menyikapinya. Adapun terkait produk pemikiran para filsuf itu, tentu saja tidak bisa memberikan solusi pada setiap persoalan yang hadir dalam kehidupan, karena seolah terkondisikan oleh kadarnya masing-masing.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//