SAWALA DARI CIBIRU #22: Lagi-lagi Komodifikasi Pendidikan
Era kapitalisme lanjut membuat komodifikasi pendidikan tidak bisa dihindarkan. Entah itu berupa klaim sebagai kampus terbaik, atau slogan untuk dimunculkan ke publik
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
17 April 2023
BandungBergerak.id – Saat ini, saya mengajar di sebuah kampus swasta di Bandung Timur. Lokasinya cukup jauh dari rumah, bisa memakan waktu sekitar 1 jam menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, saya diperintah untuk mengajar secara hybrid, padahal sistem belajar mengajar seperti ini cenderung tidak memuaskan. Dalam urusan hak, gaji saya sering ditangguhkan selama dua bulan. Meskipun pada saat bersamaan kampus masih membuka penerimaan mahasiswa baru di kala Ujian Tengah Semester sedang berlangsung. Ketika peluang kerja untuk didapatkan semakin sulit, pihak kampus justru memanfaatkan momen ini untuk menarik calon mahasiswa, dengan dalih bisa lulus sarjana secara cepat.
Saya jadi ingat bahwa beberapa waktu silam kawan saya pernah mendiskusikan ihwal komodifikasi pendidikan. Pola diskursus yang hanya menguntungkan kampus secara materi tanpa mendorong mahasiswanya untuk andil dalam pengetahuan, tentu sudah lazim ditemui. Memang, semakin hari kian banyak slogan-slogan yang muncul dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Baik kampus yang sudah mapan, maupun kampus-kampus yang masih merintis dari awal. Untuk kampus negeri sendiri memang sudah dari dulu mensyaratkan sistem Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) sebagai pintu untuk memasuki lembaga pendidikan tersebut secara formal. Namun, di luar itu, banyak kampus berkepentingan dalam menonjolkan kuantitas agar dapat dinilai dengan mata terbuka oleh masyarakat tanpa memperhatikan kualitas mahasiswanya yang kini semakin merosot. Dengan banyaknya mahasiswa yang masuk melalui tahap seleksi dianggap telah mewakili kualitas kampus yang berprestasi.
Bagi kampus-kampus besar di Indonesia, world class university selalu menjadi tujuan tak terhindarkan dalam mencapai peringkat unggulan. Tetapi pada kenyataannya, perguruan tinggi di Indonesia rata-rata hanya menduduki peringkat ratusan. Terbukti pada tahun 2022 beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia menempati peringkat nomor 231 (UGM), 235 (ITB), dan peringkat 248 (UI) (kompas.com 10 Juli 2022). Kendati demikian, hal ini bagi kampus-kampus yang masuk pada peringkat dunia itu justru menjadi bekal untuk mendorong calon-calon mahasiswa, sehingga hadirlah apa yang dinamakan dengan istilah kampus favorit.
Peringkat unggulan memang senantiasa meyakinkan mereka yang tertarik untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Baik untuk skala nasional maupun internasional, peringkat unggulan akan menghasilkan mitos baru bagi kampus yang memperoleh peringkat terbaik.
Meski begitu, kualifikasi seperti ini bisa saja tidak sejalan dengan iklim diskursif yang minim sebagai penilaian. Taruhlah misalnya di UIN Bandung. Sebagai tempat saya menempuh sarjana, saya sangat senang melihat kampus UIN Bandung selalu mendapat predikat nomor satu dalam 10 kampus PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) di Indonesia. Belakangan, pada bulan Februari 2023, UIN Bandung kembali memperoleh peringkat nomor wahid dari 10 PTKIN versi Webometrics Ranking of World Universities. Tentu saja ini membanggakan sekaligus menimbulkan kecurigaan dalam benak saya. Sebab, saya sendiri mempertanyakan ihwal posisi kampus UIN Sunan Kalijaga dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang seketika berada di bawah peringkat UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Padahal untuk urusan literasi, keduanya jelas lebih unggul dari kampus UIN Bandung yang baru berbenah akhir-akhir ini. Itu pun saya kira, baru di bidang infrastruktur, belum merambah pada peningkatan peran mahasiswa dalam memelihara pentingnya pengetahuan.
Jika ditinjau output-nya, ada banyak tokoh-tokoh nasional yang kerap muncul dari kedua kampus Islam itu. Sebut saja misalnya, mendiang Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat dan Nadirsyah Hosen dari UIN Jakarta. Lalu dari UIN Kalijaga Yogyakarta ada M. Amin Abdullah dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai penulis filsafat yang sangat produktif. Itulah mengapa kecurigaan saya timbul ketika melihat peringkat UIN Bandung yang naik secara terus-menerus. Padahal saya merasakan betul bagaimana kondisi mahasiswa di kampus itu kini kurang menaruh perhatian besar terhadap kegiatan literasi seperti diskusi atau kajian ilmiah. Ditambah dorongan dosen yang ogah terlibat lansung dalam setiap kegiatan diskursif menjadikan tradisi literasi di kampus UIN Bandung dapat dikatakan sangat kurang.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #21: Konsumerisme di Bulan Ramadan
SAWALA DARI CIBIRU #20: Filsafat pada Generasi Kini
SAWALA DARI CIBIRU #19: Ngareuah-Reuah Milangkala
SAWALA DARI CIBIRU #18: Menjadi Seorang Intelektual
Komodifikasi di pergurun tinggi
Dari kasus ini kita bisa menganggap bahwa komodifikasi pendidikan memang tidak bisa dihindarkan. Entah itu berupa klaim-klaim sebagai kampus terbaik, atau bisa juga terkait dengan slogan-slogan untuk dimunculkan ke publik. Hal inilah dalam tradisi Marxisme biasa disebut sebagai fetisisme komoditas, yakni suatu komoditas yang menyihir dengan beragam entitas yang melekat di dalamnya. Jean Baudrillard, misalnya, seorang filsuf asal Perancis itu menjelaskan jika pada era kapitalisme lanjut telah terjadi peralihan dalam proses konsumsi. Semula proses konsumsi bercokol dari nilai guna ke nilai tukar (use value-exchange value), tetapi kini berubah menjadi nilai simbol ke nilai tanda.
Dalam dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi, kampus seolah tidak lagi menekankan mahasiswanya ke dalam kerja-kerja literasi yang membutuhkan proses penalaran kuat. Apalagi kampus kerap kali menyoroti kegiatan mahasiswa yang hanya menguntungkan. Umpamanya, seorang mahasiswa telah didaulat menjadi duta baca di suatu kota. Karena dinilai menguntungkan, para pengelola kampus kemudian membuat poster digital dan juga baliho besar agar diketahui oleh masyarakat lebih luas. Bukan hanya itu, saat penerimaan mahasiswa baru dibuka, foto sosok duta baca itu ditempel dalam sebuah poster iklan, sebagai bukti bahwa kampus tersebut memiliki keunggulan di bidang literasi kendatipun pada kenyataannya, tradisi literasi yang berkembang sangat minim.
Saat poster itu mencuat sebagai simbol, kita memperoleh tanda yang berkutat dalam pikiran dan juga merujuk pada sosok duta baca yang dihubungkan dengan kampus unggulan dalam bidang literasi. Di sisi lain, proses kerja tanda seperti ini, saya kira, merupakan bagian dari komoditas yang menyihir serta mendorong pembaca untuk masuk ke dalam lubang tanda itu. Sosok duta baca dalam baliho yang terbentang di depan kampus, misalnya, adalah nilai simbol dari komoditas itu, sementara kampus unggulan dalam bidang literasi berjalin berkelindan dengan simbol tersebut. Maka orang akan terbuai dengan adanya tampilan baliho itu dengan memperoleh tafsir bahwa kampus tersebut tampak berkualitas dari segi literasi. Itulah yang saya sebut sebagai komodifikasi dalam dunia pendidikan. Karena komodifikasi jelas berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat kita sekarang ini. Sementara menurut Baudrillard, konsumsi berada di bawah kontrol kapitalisme dan menciptakan suatu hal yang didapatkan oleh massa yang bisa dieksploitasi (Ritzer, 2008).
*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)